Maka, segala keputusan di atas lapangan akan dominan ada di kakinya, termasuk di lini tengah. Kehadiran Ivan Rakitic bahkan masih bisa dikalahkan oleh Modric. Karena, Rakitic seolah-olah terlihat sebagai ajudannya di lini tengah. Melihat situasi seperti itu, tak mengherankan jika Modric bisa menunjukkan kemampuannya secara maksimal. Namun, bagaimana dengan kondisinya di Madrid?
Musim lalu, Madrid masih memiliki CR7 dan para pemain Madrid masih garang dalam bermain. Karena, VAR belum merambah ke kompetisi domestik maupun Eropa.Â
Sehingga, segala drama di atas lapangan sangat dikuasai oleh Madrid dengan seluruh aktor-aktornya. Ramos, Casemiro, Carvajal, dan Ronaldo pun akan mencoba mengambil peran jika mengharuskan dirinya jatuh terguling-guling dan memperoleh penalti. Artinya, situasi Modric pada saat itu, sangat penuh dukungan.Â
Sehingga, dia akan berkonsentrasi menari-nari di lini tengah. Artinya, dia memiliki zona 'kuasa' dan itulah yang membuat Modric dapat mengeluarkan kemampuannya secara maksimal. Inilah faktor keduanya yang melandasi kesuksesannya merengkuh Ballon d'Or; mengalahkan 'alien' dan 'robot'.
Namun, bagaimana dengan saat ini?
Beban yang besar untuk menanggung tim yang bahkan sebenarnya secara prestasi lebih besar Real Madrid dibandingkan Kroasia apalagi Tottenham Hotspur. Maka, ini yang kemudian membuat penampilan Modric di musim ini acapkali tidak stabil, dan imbasnya adalah permainan Madrid pun menjadi buruk.
Cara terbaik untuk mengeluarkan kembali kemampuan Modric adalah Solari harus berani membuat taktik yang kompleks. Tidak hanya fokus ke satu tujuan saja; menang. Mencari kemenangan itu memang sangat wajib bagi tim sebesar Real Madrid.Â
Namun, upaya tersebut harus dipertimbangkan dengan segala hal, termasuk menilai bagaimana cara bertahan yang baik. Ibaratnya kita menggunakan filosofi bermain Jose Mourinho yang pragmatis.Â
Artinya, kunci kemenangan itu bisa didapatkan tidak hanya dengan mencetak gol sebanyak-banyaknya, atau menyerang terus-menerus. Namun, juga bagaimana mengatur tempo dan mencoba menguji kekuatan penyerangan lawan dengan sesekali menunggu serangan lawan. Inilah yang sepertinya tidak ada di pola permainan Madrid saat ini, dan ini yang kemudian membuat Modric seperti 'memikul' Santiago Bernabeu di atas piala FIFA Ballon d'Or-nya.
Tersingkirnya Real Madrid (kalah agregat 5-3 dengan Ajax), juga menjadi bukti bahwa sepakbola sulit diprediksi. Sepakbola adalah permainan taktik dan itu baru dapat ditentukan hasilnya di atas lapangan. Kekalahan dan tersingkirnya Karim Benzema dkk di fase 16 besar tak hanya menjadi pembelajaran bagi Real Madrid, namun juga semua tim yang sedang menjadi unggulan di laganya masing-masing. Kelengahan dan menurunnya performa pemain kunci, dapat menjadi sandungan bagi tim tersebut.
 Apalagi, jika tim tersebut terlalu fokus dengan misinya tanpa dibarengi dengan kewaspadaan dan antisipasi terhadap permainan lawan. Hasilnya?
Isakan tangis suporter-suporter perempuan di Santiago Bernabeu yang jelas sekali menunjukkan bahwa mereka tidak menyangka akan kalah dan terbantai seperti itu.
Semoga lekas bangkit, El Real! Dan,
Semangat Modric!