Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Menakar Masa Depan Marinus Wanewar di Tengah Kepungan Striker Naturalisasi

26 Februari 2019   19:45 Diperbarui: 27 Februari 2019   08:58 549
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Marinus Wanewar, striker muda Timas U-22 Indonesia| Sumber: Bolasport.com/Ferry Setiawan

Publik penikmat sepak bola Indonesia kembali diperdengarkan dengan kabar adanya proses naturalisasi pemain. Yaitu Silvio Escobar dan Otavio Dutra. Khusus Escobar, pemain ini adalah pemain berposisi penyerang. Sehingga, jika si pemain ini berhasil dinaturalisasi, maka, Indonesia akan memiliki banyak pemain naturalisasi di lini depan.

Jika merujuk pada tingkat usia produktif dan kebugaran pemain, maka Indonesia memiliki Greg Nwokolo, Osas Marvelous Saha, Guy Junior, Ilija Spasojevic, Alberto Goncalves, hingga Herman Dzumafo Epandi. Bahkan, jika merujuk lagi pada keaktifan pemain di berbagai kompetisi sampai saat ini, nama Cristian Gonzales, Sergio van Dijk, dan Johny van Beukering juga masuk ke dalam daftar pemain depan naturalisasi Indonesia.

Memang dua pemain yang terakhir sudah berada pada masa akhir kariernya termasuk di level timnas. Menilik performanya bahkan Sergio van Dijk sampai saat ini tidak tersiar kabar karirnya berjalan dengan baik. 

Begitu pula dengan van Beukering yang hanya berkompetisi di level amatir di Belanda, dan ini pastinya tidak memungkinkan bagi si pemain untuk kembali mengenakan seragam timnas Indonesia. 

Lalu, bagaimana dengan tujuh pemain lainnya?

Greg Nwokolo memang di level klub masih dapat dilihat permainannya. Namun, jika dibandingkan dengan masa awal kedatangannya di liga Indonesia dan termasuk masa-masa awal berseragam timnas, performa Greg saat ini bisa dibilang menurun dan stagnan. Memang secara pengalaman, Greg akan sangat dibutuhkan. Namun, jika harus disandingkan dengan kebutuhan pemain dan level produktivitas pemain depan. Maka, nama Greg dapat disingkirkan.

Apalagi jika disandingkan dengan pemain naturalisasi lainnya yang masih produktif di liga seperti Beto Goncalves dan Guy Junior. Bahkan, Spasojevic juga tampil cukup bagus ketika diberikan kesempatan mengenakan seragam timnas. Sehingga, pilihan di lini depan timnas, kemungkinan besar ada di Beto, Spaso, ataupun Guy Junior. 

Untuk Guy Junior, kesempatan membela timnas memang masih belum didapatkan dengan baik. Sehingga, untuk mengukur kontribusinya terhadap timnas, masih abu-abu. Apalagi Herman Dzumafo yang usianya kini sudah mendekati kepala 4, akan sangat minim peluang si pemain Bhayangkara FC ini untuk membela timnas.

Jika melihat dari segi pengalaman, bagi pemain naturalisasi khususnya di lini depan, memang patut diakui keunggulannya. Namun, dari segi usia, rata-rata pemain naturalisasi tersebut sudah melewati masa-masa kejayaan mereka sebagai pemain. Apalagi sebagai pemain depan. 

Penyerang seperti Alberto Goncalves (Beto) saja yang kini sudah memiliki beberapa caps bersama timnas Merah Putih, juga mulai mengalami penurunan tingkat produktivitasnya di kompetisi domestik. 

Sehingga hal ini kemungkinan juga akan mempengaruhi produktivitasnya di level timnas. Namun, ada kalanya pemain yang mulai menurun di level klub, akan mencoba menunjukkan tajinya di level timnas. Mengingat pertandingan di level timnas lebih bersifat turnamen pendek, dibandingkan kompetisi panjang seperti di klub.

Jika bagi pemain muda, kebutuhan jam terbang akan memengaruhi mentalitas. Sedangkan bagi pemain senior, harus ada sinkronisasi terhadap level kebugaran dengan durasi pertandingan. Sehingga, bermain di kompetisi jangka pendek akan diupayakan lebih maksimal dan efisien dibandingkan mencari kesempatan ataupun pengalaman. 

Biasanya, pemain senior akan benar-benar memaksimalkan peluang mereka untuk menggapai hasil tertinggi. Sehingga, kehadiran mereka diperlukan untuk mendorong lebih lagi untuk menggapai target.

Meski begitu, menit bermain di level klub dan penjagaan kualitas bermain tetap diperlukan bagi pemain senior. Agar mereka tidak kehilangan sentuhannya ataupun gagal memberikan persaingan sengit ke pemain-pemain yang lebih muda---yang biasanya hanya mengandalkan tenaga. 

Di sinilah kemudian muncul persaingan (positif) antara pemain naturalisasi yang sudah berusia matang, dengan pemain murni Indonesia yang masih muda (dan penuh semangat).

Bukan rahasia lagi jika Indonesia sedang krisis pemain depan sejak menurunnya performa Bambang Pamungkas yang kemudian memutuskan pensiun dari timnas. Termasuk sudah berkurangnya panggilan timnas kepada Boaz Solossa ataupun striker naturalisasi yang sukses tampil ciamik di Piala AFF 2010, Cristian Gonzales.

Faktor umur dikabarkan menjadi pertimbangan dari absennya Cristian Gonzales dari timnas sejak beberapa tahun terakhir.

Praktis, timnas kembali bergantung pada pemain murni Indonesia. Meski tetap diakui bahwa timnas masih belum menemukan pemain trengginas dalam urusan mencetak gol. Hal inilah yang kemudian membuat nama-nama naturalisasi seperti yang disebut sebelumnya sempat menjadi pilihan. 

Namun, tetap saja, timnas Indonesia butuh pemain yang segar. Tidak hanya kualitas, namun juga kebutuhan jangka panjang.

Jika berupaya memenuhi target kualitas dan jangka pendek, maka keberadaan pemain naturalisasi akan dapat disebut sebagai pilihan tepat. Namun, bagaimana jika pemain naturalisasi juga tidak bermain bagus? 

Ditambah pula dengan fakta yang tidak bisa dihindari, yaitu faktor usia mereka yang kemungkinan hanya dapat mengabdi 2-4 tahun saja. Maksimal 6 tahun, jika memang ada pemain yang masih mampu menjaga kualitasnya sampai usia paling mentok 36-40 tahun. Karena, rata-rata pemain yang dinaturalisasi sudah menginjak usia 30-an tahun.

Hal ini yang kemudian membuat timnas Indonesia masih membutuhkan pemain depan murni dari tanah air Indonesia. Namun, entah karena faktor kompetisi liga yang memang lebih banyak dikuasai permainannya oleh pemain asing atau kurangnya kompetisi junior yang kemudian membuat regenerasi berjalan lambat atau bahkan tidak ada. 

Selain itu, faktor perbedaan fisik antara pemain depan Indonesia dengan pemain depan asing juga membuat pemain depan Indonesia mulai tersingkirkan.

Memang tidak bisa dihindarkan oleh fakta di lapangan bahwa, pemain depan dari Indonesia cenderung lebih pendek dan kurus, dibandingkan pemain depan asing yang tinggi dan berotot---walau ada pula pemain asing yang posturnya biasa saja. Inilah yang kemudian menghasilkan perbedaan terhadap gaya main dan kualitas. Dua hal ini yang kemudian menentukan kebutuhan pemain bagi timnas (yang harus berkompetisi dengan pemain dari luar negeri).

Di era sepak bola modern yang memang sudah lebih mengutamakan pemain depan yang gesit dan cepat, pemain bertubuh tinggi-besar seperti Herman Dzumafo, akan tersingkirkan oleh pemain cepat seperti Irfan Jaya, Febri Haryadi, Osvaldo Haay, ataupun Riko Simanjuntak. Namun, yang menjadi permasalahan adalah kebutuhan terhadap pemain depan yang mampu mencetak gol. Inilah yang menjadi masalah bagi timnas.

Selambat-lambatnya Gonzales ataupun Bambang Pamungkas, jika keduanya memiliki peluang yang tepat, maka gol dipastikan dapat lahir dari kaki ataupun kepala pemain-pemain ini. Ini yang tidak terjadi ketika Indonesia sudah memiliki pemain depan seperti Lerby Eliandri. 

Bahkan sebelumnya, kita sempat berharap pada masa depan Jajang Mulyana yang secara fisik bertubuh tinggi besar. Sehingga, ada kesempatan bagi Indonesia untuk tidak lagi berkecil hati (atau beralasan kalah duel) ketika ada bola lambung di kotak penalti. Karena, ada pemain bertubuh lebih dari 180 cm di depan gawang lawan. Namun, problemnya tetap sama. Produktivitas gol yang rendah.

Memang, setiap pemain memiliki pasang-surut. Termasuk pemain depan yang dapat mengalami fase penurunan performa dan kemudian mempengaruhi produktivitas golnya. Namun, jika si pemain memang memiliki naluri besar dalam mencetak gol, maka, si pemain pasti cepat/lambat akan kembali menunjukkan ketajamannya. 

Walau memang, kemungkinan untuk menyamai torehan golnya di masa-masa sebelumnya akan sulit. Tapi setidaknya aura 'membunuh' di depan gawang lawan dapat terlihat dan dapat mengintimidasi pertahanan lawan. Inilah yang dibutuhkan bagi pemain depan, dan inilah yang sulit ditemukan di pemain depan Indonesia.

Acapkali ketika timnas menurunkan pemain "murni" di depan, aura ketakutan pemain bertahan lawan mulai berkurang. Bahkan, tingkat kewaspadaan pun berkurang. Karena, tipe pemain depan Indonesia tersebut pun juga bukan pemain yang model menunggu, membuka ruang, ataupun tipikal petarung. 

Biasanya, pemain depan Indonesia itu "ngambang". Disebut petarung bukan, disebut pencari ruang juga bukan, apalagi disebut "pembunuh".

Soal fisik, bukan hanya Jajang Mulyana yang diidamkan dapat menjadi striker masa depan Indonesia. Namun, ada juga pemain depan lainnya yang diharapkan dapat menjadi prospek masa depan timnas, seperti Indra Kahfi ataupun Yongki Aribowo. Namun, ketiga pemain tersebut gagal memenuhi ekspektasi. 

Jajang dan Indra justru kini bertransformasi sebagai bek tengah dan memang kini menjadi pemain andalan tim. Namun, jika pemain depan berganti posisi menjadi bek, artinya si pemain memang sudah tidak memiliki kemampuan mencetak gol lagi. Terlepas dari alasan kebutuhan tim dan juga kebutuhan individu agar tetap dapat bermain.

Begitu pula pada nasib Yongki Aribowo yang hanya minus soal massa otot yang kurang. Namun, pemain ini punya kecepatan, daya jelajah sebagai striker juga bagus, keinginan mengeksekusi bola juga tinggi. Hanya, konsistensi dan semangat berkompetisi dengan pemain lainnya di tim yang kurang bagus. 

Level kebugaran juga tidak baik, sehingga si pemain yang sebenarnya berusia lebih muda dibandingkan Samsul Arif, malah kalah konsisten dengan pemain lokal andalan di setiap tim yang dibela tersebut. Samsul Arif selalu dapat diandalkan, baik saat masih di Persela ataupun kini di Barito Putera.

Tidak bisa dipungkiri bahwa nama Samsul Arif sampai detik ini masih diperhitungkan sebagai pemain lokal yang cukup produktif di kompetisi domestik. Namun, catatan ini kurang menarik perhatian pelatih timnas, yang mungkin sudah merasa berkecukupan terhadap kebutuhan pemain di posisi second striker. Maklum, dengan karakternya sebagai striker yang tidak mau diam di tempat, maka Samsul Arif tidak begitu akrab dengan posisi sebagai target-man. 

Dia lebih cocok sebagai striker yang bermain di formasi klasik, yaitu, formasi yang memasang dua striker di depan. Melalui formasi yang demikian, maka, kemampuan Samsul Arif akan keluar secara maksimal. Namun, di tubuh timna bermain dengan dua striker rupanya jarang dipilih oleh para pelatihnya. Sehingga, nama Samsul Arif tidak menjadi prioritas di lini depan timnas---walau si pemain sudah memiliki caps.

Lalu, bagaimana dengan prospek timnas ke depannya untuk menghadapi bentuk formasi modern yang hanya mengandalkan seorang target-man?

Nama-nama lokal seperti Patrick Wanggai dan Lerby Eliandri sempat dimunculkan ke permukaan. Memang sangat sulit menemukan sosok "murni" yang dapat dijadikan target-man. Karena, prinsip harus terpenuhi, yaitu, kuat berduel dengan pemain bertahan, mampu melindungi bola, dan final touch-nya akurat. Tiga paket komplit yang tidak bisa ditawar-tawar lagi dan inilah yang sering menjadi kendala.

Kedua pemain tersebut dinilai kurang komplit dan inkonsisten. Bahkan, jika melihat menit bermain di level klub (mungkin faktor strategi pelatih di masing-masing klub), kedua pemain ini jarang mendapatkan kesempatan bermain yang banyak. 

Seringkali memulai dari bangku cadangan ataupun pasti ditarik keluar di babak kedua. Artinya, secara kultur di liga, pemain lokal ini gagal bersaing dengan pemain asing. Inilah yang kemudian menjadi sandungan besar bagi perkembangan pemain depan murni Indonesia.

Marinus Wanewar di sesi latihan timnas. (bola.okezone.com)
Marinus Wanewar di sesi latihan timnas. (bola.okezone.com)
Jika kita menengok jauh ke depan, kemungkinan besar, Indonesia akan bertumpu pada Sutan Zico ataupun Bagus Kahfi sebagai target-man. Namun, bagaimana dengan solusi di Piala AFF 2020 nanti?

Nama yang mencuat kemudian adalah Marinus Maryanto Wanewar. Pemain yang musim 2018 membela klub Bhayangkara FC ini---setim Herman Dzumafo, difavoritkan dapat menjadi tumpuan di lini depan timnas senior sesegera mungkin. Banyak pertimbangan dari prediksi tersebut.

Pertama, faktor usia. Pemain ini sudah berusia 21 tahun (2019). Artinya, pemain ini sudah cukup layak untuk dimasukkan ke daftar calon pemain timnas senior di AFF Cup 2020.

Kedua, secara fisik, pemain ini sudah memenuhi dua prinsip yang harus dimiliki seorang target-man, yaitu, kemampuan berduel dengan pemain lawan, dan kemampuan melindungi bola. Berpostur 180-an cm, maka, kebutuhan terhadap dua hal tersebut dapat dipenuhi.

Ketiga, jam terbang. Harapannya selama dua musim kompetisi (2019 dan 2020) nanti, Marinus akan dapat mengembangkan kualitas bermainnya. 

Kita ambil contoh pada masa transisi perkembangan Marinus, yakni pasca membela timnas U-19 dengan saat sudah berada di Bhayangkara FC. Terlihat sekali adanya perkembangan permainan dari Marinus, ketika kita melihatnya bermain lagi di timnas (junior/U-22). 

Artinya, si pemain memiliki kemampuan bagus dalam belajar sepak bola, baik dari segi teknis maupun non-teknis. Sehingga, dapat diharapkan bahwa si pemain akan semakin berkembang dalam kurun waktu dua musim ke depan sebelum AFF digelar.

Keempat, adalah memperhitungkan poin ketiga tersebut, maka harapannya adalah kualitas. 

Kualitas menguasai bola, kualitas membagi bola dan mengeksekusi peluang (final touch) adalah syarat harus dimiliki dan dikembangkan oleh Marinus. Sehingga, potensi membela timnas senior di usia 22 atau 23 tahun nanti, bukan sebuah hal yang gagap bagi Marinus. Apalagi dengan pendewasaan dirinya dalam menyikapi situasi di lapangan yang (seharusnya) kian membaik.

Poin terakhir adalah karakter. Marinus memiliki karakter alami yang kuat sebagai petarung dan ini yang jarang ditemukan di pemain-pemain depan timnas Indonesia. Memang ada konsekuensi dari sifat petarung ini. 

Jika kalah duel akan emosi, jika menang duel akan jumawa. Sungguh dinamis. Namun, tetap saja timnas Indonesia memerlukan pemain seperti ini. Karena, keberadaan Marinus adalah untuk mengintimidasi pertahanan lawan, sehingga lawan tidak mampu keluar dari tekanan. 

Apalagi jika Indonesia masih dapat menikmati kontribusi maksimal dari Evan Dimas yang semakin senior dan Egy Maulana Vikri yang akan semakin matang. Maka, Marinus akan menjadi antagonis yang paling menyebalkan bagi pertahanan lawan dan itu akan sangat merepotkan bagi pertahanan lawan.

Namun, harapan ini sangat bergantung pada beberapa poin penting yang berdiri di antara kaki Marinus dan kaki-kaki lainnya. Kesempatan bermain di level klub dan pembuktian kualitasnya di lapangan. Jika, Marinus dapat tetap low-profile dan bekerja keras, maka, tidak menutup kemungkinan bahwa masa depan Marinus dan timnas Indonesia akan cerah. 

Terlepas dari ada atau tidak adanya pemain naturalisasi. Walau tidak dipungkiri pula bahwa, keberadaan pemain naturalisasi juga penting. Namun, akan semakin penting lagi jika Indonesia menancapkan kuku-kuku tajamnya melalui para pemain asli Indonesia.

Jaya Selalu, Indonesia!

Malang, 25 Februari 2019
Deddy Husein S.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun