angin malam
angin meniup
perahu kertas
melaju tenang
pada malam yang berawan
bulan berbagi terang
kepada pena yang menulis tentang
cahaya mata
menjadi bintang
angin meniup awan. perlahan
perahu kertas melaju tenang
menuju kenangan
saat malam bulan terang
cinta dibandulkan. di langit
bermanik kejora
Debu Karang pada 7 April 2012 pukul 22:40
Aku adalah kamu
dalam selembar
kertas tipis
penuh coretanatau
garis-garis
perenungan tak habis
habis
kamu adalah aku
dalam tarian pena
" nakal "
menggoda kata
setiap
dan senja
petang
pagi.
depok, jan 2011
PAGI JAKARTA
pagi jakarta
sebungkus nasi uduk
segelas kopì tubruk
menyalami dari bawah kangkangmu
lihatlah awan mendung
menggembala di langitmu
dan angin susul menyusul
dengan suara bising
kabarkan gaung kotamu
sampai ke ganggang sempit
saling tabrak dengan motor kridit
30 jan 2012
Kotaku menggeliat sudah
belum sempat ia mandi dan cuci muka
Sudah menempel debu debu
disekujur tubuhnya
namun,
apa boleh dikata
Itulah takdirnya.
orang orang melintas cepat
lebih cepat dari
arus air sungai
yang macet
dikolong meja
20 feb 2012
TOPENG KAYU
Dia yang bersembunyi
dibalik wajah kayu
Menari, lakoni hidup
tak bertutur bahasa cuma cuma
Hanya tubuh yang bergerak
elok gemulai
Mengambil alih
semua kata
Dan, kita hanya bisa mengira ngira
Apakah senyum itu dikulum, atau
Tangis ledak.
28 sept 2011
MATA BULAN KEKASIH
untuk kekasih yang matanya seperti
bulan
luruh diperaduan
aku berharap cinta kita seperti pohon besar dan rindang
akarnya kokoh menancap
batangnya besar. tegar menantang badai
rantingnya pun bercabang cabang
daunnya melebat dan hijau.
tempat burung burung bernyanyi..
sambil memadu kasih di pagi hari
lalu membuat sarang tempat ia pulang,
saat senja datang
dan anak anak nya pun riang
ada pula daunnya yang jatuh ke tanah
menjadi suburlah ia karnanya
tempat berteduh bagi para pengembara
sekedar melepas lelah di teduhnya mata air
yang mengenang bening di matamu
11 nov 2011
BULAN DALAM KENANGAN
malam mengalir tenang
setenang awan melayang:
melintasi badai dingin kenangan.
walau tak bersama bulan
malam tetap mengalir, tenang
dalam kebisuan
sementara:
bulan yang menyendiri itu
duduk di atas pucuk-pucuk daun yang tidur pulas
di alas ranting-ranting musim kering. yang dingin
pada rotasi meditasi
pada hening, berpendar
menyusup hingga ke akar nalar, membadai
maka, kenanglah dia dengan wajar
(sebab dia itu hanya kenangan)
dia adalah badai sesaat, datang
pada senja tua, kemudian pergi
ya, pergi
pergi ke setiap daun pintu hati,
dan jendela yang terbuka
sampai kau menutupnya
lalu kau dapati dia duduk di depan perapian
di atas kursi waktu yang bergoyang – goyang
membaca buku tebal berdebu:
kemudian tertidur menopang dagu
maka kenanglah dia sewajarnya
sewajar alam melapukkan kayu
sewajar buku di tutup debu-debu
malam mengalir tenang
awan seperti buih-buih busa, berlarian
dan bulan yang menyendiri:
berenang di ujung-ujung malam
DEPOK 2011
TARIAN LARA BUAT HUJAN
pada sepi, pada hening, dan
pada waktu yang berlari:
di atas daun - daun tengah malam
lara, dia sendirian
membuka hujan
hujan datang sebagai cinta
berdiri di depan jendela
dan dingin,
dan dingin mengembang tangannya
harumnya romansa
lara, dia buka mata
digeraikan rambutnya
menjadi gaun panjang dikenakand
bermanik bunga mimpi kepolosan
lantas:
lara, dia menari
tahun demi tahun
putih, panjang dan sepi
tahun demi tahun yang panjang itu
adalah rambut yang pudar
memucat warnanya
ditulis dalam sebuah buku
yang hampir beku
di karam hati
lara, dia tidak peduli
terus saja menari
terus menari bersama hujan
bersama nyanyian bulan
dan sepi, dan hening,
dan waktu
dan waktu yang berlari itu
tidak akan berhenti
menyerap kisah ini
berlayar bersama mega
dihembus angin bermusim - musim
lara, dia sendirian
membuka hujan
dimatanya
depok 2011
ANAK ANAK HUJAN
ketika hujan datang
membawa banyak uang
payung-payung kecil riang berhamburan
melesak keluar dari sarang-sarang
kardus sempit dan lorong gang
bagai anai-anai menyerbu sipitnya terang
menari telanjang, tarian perang
ketika hujan datang
gemeretak gigi-gigi aspal
gedung-gedung mengigil
dan aku bersembunyi di secangkir kopi
(dan ludah yang sudahbasi ini kutelan lagi)
mereka tetap riang
mereka tetap senang
kulit mereka lebih tebal dari aspal
tulang mereka lebih kokoh dari tiang pancang:
gedung-gedung gendut
yang susah berjalan
amat riang, amat senang, ucapku,”
tidak.! kami sedang bekerja, jawab mereka,”
begitu berwarna, ucapku lagi,”
kami bukan tujuh warna pelangi,
sekali-kali kau tidak akan menghitung
warna, jumblah kami
karena kami anak-anak hujan.
lantas: apa yang bisa kubantu teman
tidak,! kau belum hadi teman kami.”
jawab mereka:
datangkan kepada kami ibu setiap hari
baru kau menjadi teman.
ketika hujan datang
mereka riang, mereka senang
ibu datang,
ibu kami datang
KAU BOLEH PANGGIL DIA AIR
Pagi-pagi sekali dia sudah disini,
tepat tempatnya pada kuku-kuku daun.
Lalu di ajak ibu ke dapur,
berikut tiap lekuk sudut.
Di lain pihak:
juga kutu
juga putrid malu
Tak lama di selang,
Sang pelukis bayang
Bergerak tenang dan perlahan,
dia menuntun humus
Dari pori menuju nadi
dari desir menjadi daging.
Di lain pihak:
dia bersayap, menjadi uap
ditariki lentik jari-jari langit.
Di lain pihak:
dia memadat, melapisi darat.
Di sini, dan di tak berantah
dan di sejak lama,
setia, searah semua,
dia membuka kelas kejelian
Mengabarkan keluwesan - kekuatan,
kesahajaan - keseimbangan,
kerendahan hati - ketekunan,
pengabdian - kesetiaan,
syukur - pengharapan
Lalu: lembaga pendidikan mana mampu
menandingi lulusan terbaik ini?”
(Kau bisa panggil dia “Air”)
DEPOK 2010
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H