Mohon tunggu...
Andi Chalifa
Andi Chalifa Mohon Tunggu... -

menikmati puisi enaknya sambil minum kopi

Selanjutnya

Tutup

Puisi

kumpulan catatan

19 Oktober 2012   15:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:38 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

angin malam

angin meniup

perahu kertas

melaju tenang

pada malam yang berawan

bulan berbagi terang

kepada pena yang menulis tentang

cahaya mata

menjadi bintang

angin meniup awan. perlahan

perahu kertas melaju tenang

menuju kenangan

saat malam bulan terang

cinta dibandulkan. di langit

bermanik kejora

Debu Karang pada 7 April 2012 pukul 22:40

PUISI

Aku adalah kamu

dalam selembar

kertas tipis

penuh coretanatau

garis-garis

perenungan tak habis

habis

kamu adalah aku

dalam tarian pena

" nakal "

menggoda kata

setiap

dan senja

petang

pagi.

depok, jan 2011

PAGI JAKARTA

pagi jakarta
sebungkus nasi uduk
segelas kopì tubruk
menyalami dari bawah kangkangmu

lihatlah awan mendung

menggembala di langitmu
dan angin susul menyusul
dengan suara bising

kabarkan gaung kotamu
sampai ke ganggang sempit

saling tabrak dengan motor kridit

30 jan 2012

Kotaku menggeliat sudah

belum sempat ia mandi dan cuci muka
Sudah menempel debu debu
disekujur tubuhnya
namun,
apa boleh dikata

Itulah takdirnya.

orang orang melintas cepat
lebih cepat dari
arus air sungai
yang macet
dikolong meja

20 feb 2012

TOPENG KAYU

Dia yang bersembunyi
dibalik wajah kayu

Menari, lakoni hidup
tak bertutur bahasa cuma cuma

Hanya tubuh yang bergerak
elok gemulai


Mengambil alih
semua kata


Dan, kita hanya bisa mengira ngira
Apakah senyum itu dikulum, atau


Tangis ledak.

28 sept 2011

MATA BULAN KEKASIH

untuk kekasih yang matanya seperti

bulan
luruh diperaduan
aku berharap cinta kita seperti pohon besar dan rindang
akarnya kokoh menancap
batangnya besar. tegar menantang badai

rantingnya pun bercabang cabang
daunnya melebat dan hijau.
tempat burung burung bernyanyi..

sambil memadu kasih di pagi hari
lalu membuat sarang tempat ia pulang,

saat senja datang
dan anak anak nya pun riang


ada pula daunnya yang jatuh ke tanah
menjadi suburlah ia karnanya
tempat berteduh bagi para pengembara
sekedar melepas lelah di teduhnya mata air
yang mengenang bening di matamu

11 nov 2011

BULAN DALAM KENANGAN

malam mengalir tenang

setenang awan melayang:

melintasi badai dingin kenangan.

walau tak bersama bulan

malam tetap mengalir, tenang

dalam kebisuan

sementara:

bulan yang menyendiri itu

duduk di atas pucuk-pucuk daun yang tidur pulas

di alas ranting-ranting musim kering. yang dingin

pada rotasi meditasi

pada hening, berpendar

menyusup hingga ke akar nalar, membadai

maka, kenanglah dia dengan wajar

(sebab dia itu hanya kenangan)

dia adalah badai sesaat, datang

pada senja tua, kemudian pergi

ya, pergi

pergi ke setiap daun pintu hati,

dan jendela yang terbuka

sampai kau menutupnya

lalu kau dapati dia duduk di depan perapian

di atas kursi waktu yang bergoyang – goyang

membaca buku tebal berdebu:

kemudian tertidur menopang dagu

maka kenanglah dia sewajarnya

sewajar alam melapukkan kayu

sewajar buku di tutup debu-debu

malam mengalir tenang

awan seperti buih-buih busa, berlarian

dan bulan yang menyendiri:

berenang di ujung-ujung malam

DEPOK 2011

TARIAN LARA BUAT HUJAN

pada sepi, pada hening, dan
pada waktu yang berlari:
di atas daun - daun tengah malam

lara, dia sendirian
membuka hujan

hujan datang sebagai cinta
berdiri di depan jendela
dan dingin,
dan dingin mengembang tangannya
harumnya romansa

lara, dia buka mata
digeraikan rambutnya

menjadi gaun panjang dikenakand
bermanik bunga mimpi kepolosan
lantas:
lara, dia menari
tahun demi tahun
putih, panjang dan sepi

tahun demi tahun yang panjang itu
adalah rambut yang pudar
memucat warnanya
ditulis dalam sebuah buku
yang hampir beku
di karam hati
lara, dia tidak peduli
terus saja menari

terus menari bersama hujan
bersama nyanyian bulan
dan sepi, dan hening,
dan waktu

dan waktu yang berlari itu
tidak akan berhenti
menyerap kisah ini
berlayar bersama mega
dihembus angin bermusim - musim

lara, dia sendirian
membuka hujan
dimatanya

depok 2011

ANAK ANAK HUJAN

ketika hujan datang
membawa banyak uang
payung-payung kecil riang berhamburan
melesak keluar dari sarang-sarang
kardus sempit dan lorong gang
bagai anai-anai menyerbu sipitnya terang
menari telanjang, tarian perang

ketika hujan datang
gemeretak gigi-gigi aspal
gedung-gedung mengigil
dan aku bersembunyi di secangkir kopi
(dan ludah yang sudahbasi ini kutelan lagi)
mereka tetap riang
mereka tetap senang

kulit mereka lebih tebal dari aspal
tulang mereka lebih kokoh dari tiang pancang:
gedung-gedung gendut
yang susah berjalan

amat riang, amat senang, ucapku,”
tidak.! kami sedang bekerja, jawab mereka,”
begitu berwarna, ucapku lagi,”
kami bukan tujuh warna pelangi,
sekali-kali kau tidak akan menghitung
warna, jumblah kami
karena kami anak-anak hujan.

lantas: apa yang bisa kubantu teman
tidak,! kau belum hadi teman kami.”
jawab mereka:
datangkan kepada kami ibu setiap hari
baru kau menjadi teman.

ketika hujan datang
mereka riang, mereka senang
ibu datang,
ibu kami datang

KAU BOLEH PANGGIL DIA AIR

Pagi-pagi sekali dia sudah disini,

tepat tempatnya pada kuku-kuku daun.

Lalu di ajak ibu ke dapur,

berikut tiap lekuk sudut.

Di lain pihak:

juga kutu

juga putrid malu

Tak lama di selang,

Sang pelukis bayang

Bergerak tenang dan perlahan,

dia menuntun humus

Dari pori menuju nadi

dari desir menjadi daging.

Di lain pihak:

dia bersayap, menjadi uap

ditariki lentik jari-jari langit.

Di lain pihak:

dia memadat, melapisi darat.

Di sini, dan di tak berantah

dan di sejak lama,

setia, searah semua,

dia membuka kelas kejelian

Mengabarkan keluwesan - kekuatan,

kesahajaan - keseimbangan,

kerendahan hati - ketekunan,

pengabdian - kesetiaan,

syukur - pengharapan

Lalu: lembaga pendidikan mana mampu

menandingi lulusan terbaik ini?”

(Kau bisa panggil dia “Air”)

DEPOK 2010

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun