Mohon tunggu...
Andi Chalifa
Andi Chalifa Mohon Tunggu... -

menikmati puisi enaknya sambil minum kopi

Selanjutnya

Tutup

Puisi

kumpulan catatan

19 Oktober 2012   15:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:38 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

terus menari bersama hujan
bersama nyanyian bulan
dan sepi, dan hening,
dan waktu

dan waktu yang berlari itu
tidak akan berhenti
menyerap kisah ini
berlayar bersama mega
dihembus angin bermusim - musim

lara, dia sendirian
membuka hujan
dimatanya

depok 2011

ANAK ANAK HUJAN

ketika hujan datang
membawa banyak uang
payung-payung kecil riang berhamburan
melesak keluar dari sarang-sarang
kardus sempit dan lorong gang
bagai anai-anai menyerbu sipitnya terang
menari telanjang, tarian perang

ketika hujan datang
gemeretak gigi-gigi aspal
gedung-gedung mengigil
dan aku bersembunyi di secangkir kopi
(dan ludah yang sudahbasi ini kutelan lagi)
mereka tetap riang
mereka tetap senang

kulit mereka lebih tebal dari aspal
tulang mereka lebih kokoh dari tiang pancang:
gedung-gedung gendut
yang susah berjalan

amat riang, amat senang, ucapku,”
tidak.! kami sedang bekerja, jawab mereka,”
begitu berwarna, ucapku lagi,”
kami bukan tujuh warna pelangi,
sekali-kali kau tidak akan menghitung
warna, jumblah kami
karena kami anak-anak hujan.

lantas: apa yang bisa kubantu teman
tidak,! kau belum hadi teman kami.”
jawab mereka:
datangkan kepada kami ibu setiap hari
baru kau menjadi teman.

ketika hujan datang
mereka riang, mereka senang
ibu datang,
ibu kami datang

KAU BOLEH PANGGIL DIA AIR

Pagi-pagi sekali dia sudah disini,

tepat tempatnya pada kuku-kuku daun.

Lalu di ajak ibu ke dapur,

berikut tiap lekuk sudut.

Di lain pihak:

juga kutu

juga putrid malu

Tak lama di selang,

Sang pelukis bayang

Bergerak tenang dan perlahan,

dia menuntun humus

Dari pori menuju nadi

dari desir menjadi daging.

Di lain pihak:

dia bersayap, menjadi uap

ditariki lentik jari-jari langit.

Di lain pihak:

dia memadat, melapisi darat.

Di sini, dan di tak berantah

dan di sejak lama,

setia, searah semua,

dia membuka kelas kejelian

Mengabarkan keluwesan - kekuatan,

kesahajaan - keseimbangan,

kerendahan hati - ketekunan,

pengabdian - kesetiaan,

syukur - pengharapan

Lalu: lembaga pendidikan mana mampu

menandingi lulusan terbaik ini?”

(Kau bisa panggil dia “Air”)

DEPOK 2010

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun