Mohon tunggu...
debby setya
debby setya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Magister Akuntansi - Universitas Mercu Buana

NIM : 55522110028, Mata Kuliah : Pajak Internasional Magister Akuntansi - Universitas Mercu Buana Dosen Pengampu : Prof. Dr. Apollo Daito, MSi, Ak,

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kuis 13 - Diskursus Semiotika De Saussure pada PMK 127/PMK.101/2016

3 Desember 2023   13:40 Diperbarui: 3 Desember 2023   13:44 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SEMIOTIKA DAN DASAR PEMIKIRAN DE SAUSSURE

Semiotika de Saussure adalah teori semiotik yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure pada abad ke-20. Ferdinand de Saussure adalah seorang ahli linguistik asal Swiss yang dikenal sebagai pendiri strukturalisme dan konseptualis utama dalam studi tanda dan bahasa. Teori ini mengajukan bahwa bahasa adalah sistem tanda yang terdiri dari tanda-tanda linguistik yang terdiri dari kata-kata dan struktur gramatikal yang digunakan untuk berkomunikasi. Pemikirannya membentuk dasar bagi pemahaman kita tentang bagaimana tanda-tanda bekerja dalam konteks budaya dan sosial. Saussure membagi tanda-tanda menjadi dua komponen utama: signifiant (komponen bunyi) dan signifié (komponen makna). Menurut Saussure, hubungan antara signifiant dan signifié bersifat arbitrari, artinya tidak ada hubungan alami antara bunyi dan makna. Dalam karyanya yang terkenal, "Course in General Linguistics," Saussure mengembangkan teori semiotika yang kemudian mempengaruhi banyak disiplin ilmu, termasuk ekonomi.

Dasar pemikiran semiotika Saussure berpusat pada konsep tanda linguistik atau "sign". Saussure membagi tanda menjadi dua komponen penting: "signifier" (penanda) dan "signified" (yang diacu). Penanda adalah bentuk fisik atau suara dari tanda, sedangkan yang diacu adalah konsep atau makna yang dikaitkan dengan penanda. Konsep ini menekankan bahwa hubungan antara penanda dan yang diacu bersifat arbitrari. Artinya, tidak ada hubungan alami antara penanda dan yang diacu, tetapi hubungan ini ditetapkan oleh konvensi sosial. Pemikiran Saussure juga mengajukan konsep "nilai-nilai tanda" (sign values), di mana tanda-tanda mendapatkan makna dari relasinya dengan tanda-tanda lain dalam sistem bahasa. Ia juga menekankan pentingnya konteks dalam memahami tanda-tanda. Dengan pendekatan semiotika Saussure, kita dapat memahami bagaimana bahasa dan tanda-tanda beroperasi dalam komunikasi manusia dan bagaimana mereka membentuk pemahaman dan makna dalam masyarakat.

Pemikiran semiotika Saussure memiliki dampak yang signifikan pada bidang linguistik. Dengan membagi tanda menjadi penanda dan petanda, ia menyoroti sifat arbitrer dari hubungan keduanya. Konsep ini menekankan bahwa hubungan antara penanda dan petanda tidak bersifat alamiah, melainkan dibentuk melalui konvensi sosial. Selain itu, gagasan Saussure tentang nilai tanda dan pentingnya konteks lebih lanjut berkontribusi pada pemahaman kita tentang bagaimana bahasa dan tanda berfungsi dalam komunikasi manusia dan membentuk makna dalam Masyarakat. Kerangka semiotika Saussure telah membuka jalan untuk eksplorasi dan analisis lebih lanjut dalam berbagai disiplin ilmu di luar linguistik. Para ahli telah menerapkan konsep-konsepnya pada bidang-bidang seperti sastra, studi media, dan studi budaya, yang menjelaskan hubungan yang rumit antara tanda dan makna. Dengan mempertimbangkan peran konteks dan interaksi antara penanda dan petanda, kita dapat mempelajari lebih dalam tentang kompleksitas komunikasi dan konstruksi pemahaman bersama dalam masyarakat.

KAITAN SEMIOTIKA DE SAUSSURE DALAM PERPAJAKAN

Sumber : dokpridebs
Sumber : dokpridebs

Pemikiran Saussure tentang semiotika tidak secara langsung berkaitan dengan perpajakan. Pendekatan semiotika Saussure lebih berfokus pada analisis bahasa dan tanda-tanda dalam konteks komunikasi manusia. Namun, jika kita ingin menghubungkannya dengan perpajakan, kita bisa melihat bagaimana tanda-tanda dan simbol-simbol digunakan dalam konteks perpajakan sebagai bentuk komunikasi antara pemerintah dan warga negara.

Dalam hal ini, konsep tanda dan makna dalam semiotika Saussure dapat diaplikasikan untuk memahami bagaimana tanda-tanda perpajakan, seperti formulir pajak, instruksi pembayaran, atau kode-kode dalam sistem perpajakan, berfungsi dalam komunikasi untuk mengkomunikasikan aturan dan kewajiban perpajakan kepada masyarakat. Selain itu, pemahaman tentang nilai-nilai tanda dalam semiotika Saussure dapat membantu kita memahami bagaimana tanda-tanda perpajakan mendapatkan makna dan nilai dalam konteks perpajakan secara keseluruhan. Misalnya, simbol seperti logo pajak atau istilah-istilah khusus dalam perpajakan memiliki nilai-nilai tertentu yang dikaitkan dengan mereka, dan pemahaman tentang nilai-nilai ini dapat mempengaruhi persepsi dan tindakan individu dalam hal perpajakan. Meskipun tidak secara langsung terkait dengan perpajakan, pemikiran Saussure dalam semiotika dapat memberikan wawasan yang berharga tentang bagaimana bahasa dan tanda-tanda digunakan dalam komunikasi perpajakan.

Selanjutnya, pendekatan semiotika Saussure juga dapat menjelaskan dinamika kekuasaan yang terjadi di ranah perpajakan. Dengan meneliti penggunaan simbol dan tanda dalam perpajakan, kita dapat mengungkap bagaimana kelompok atau institusi tertentu dapat memanipulasi tanda-tanda tersebut untuk memperkuat otoritas atau kontrol mereka terhadap sistem perpajakan. Hal ini menyoroti pentingnya menganalisis secara kritis semiotika perpajakan untuk lebih memahami dinamika sosial dan politik yang membentuk struktur pajak kita. Selain itu, perspektif semiotika Saussure dapat membantu kita mengenali peran bahasa dan simbol dalam membentuk persepsi dan kepatuhan masyarakat terhadap perpajakan. Dengan mempelajari semiotika perpajakan, kita dapat memperoleh wawasan tentang bagaimana simbol dan pesan tertentu digunakan secara strategis untuk memengaruhi sikap publik dalam membayar pajak. Pemahaman ini sangat penting dalam merancang strategi komunikasi yang efektif untuk mendorong kepatuhan pajak dan menumbuhkan rasa tanggung jawab sebagai warga negara.

PMK 127/PMK.010/2016

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 127/PMK.010/2016 tentang Pengampunan Pajak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak Bagi Wajib Pajak yang Memiliki Harta Tidak Langsung Melalui Special Purpose Vehicle (PMK 127/2016) adalah peraturan yang mengatur mengenai pengampunan pajak bagi wajib pajak yang memiliki harta tidak langsung melalui special purpose vehicle (SPV). PMK 127/2016 ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2016 dan berakhir pada tanggal 31 Desember 2016.

PMK 127/2016 merupakan peraturan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (UU Pengampunan Pajak). UU Pengampunan Pajak memberikan kesempatan bagi wajib pajak untuk mengungkapkan harta yang belum dilaporkan atau diungkapkan dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan (PPh) Tahun Pajak 2015 dan Tahun-Tahun Sebelumnya.

PMK 127/2016 mengatur mengenai hal-hal berikut:

  • Definisi harta tidak langsung
  • Wajib pajak yang dapat memanfaatkan pengampunan pajak
  • Syarat dan tata cara pengajuan permohonan pengampunan pajak
  • Pembayaran dan penyetoran pajak
  • Dampak pengampunan pajak
  • Definisi harta tidak langsung

Menurut PMK 127/2016, Harta tidak langsung adalah harta yang dimiliki oleh wajib pajak melalui special purpose vehicle (SPV). SPV adalah badan usaha yang dibentuk oleh wajib pajak untuk tujuan tertentu, seperti untuk melakukan investasi atau menjalankan usaha. Harta tidak langsung meliputi:

  • Saham, obligasi, atau surat berharga lainnya
  • Unit penyertaan dalam reksa dana
  • Piutang
  • Hak atas kekayaan intelektual
  • Hak sewa
  • Hak atas tanah dan bangunan
  • Hak atas barang bergerak lainnya

Wajib pajak yang dapat memanfaatkan pengampunan pajak adalah wajib pajak yang memiliki harta tidak langsung melalui SPV. Wajib pajak tersebut harus memenuhi syarat-syarat berikut:

  • Tidak sedang menjalani pemeriksaan pajak, penyidikan, atau penuntutan pidana pajak
  • Tidak sedang dalam proses penyelesaiaan tindak pidana di bidang perpajakan
  • Tidak sedang dalam proses penyelesaian banding, gugatan, atau upaya hukum lain
  • Tidak sedang dalam proses penyidikan, penuntutan pidana, atau peradilan tindak pidana di luar bidang perpajakan

Wajib pajak yang ingin memanfaatkan pengampunan pajak harus mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak (Ditjen Pajak). Permohonan pengampunan pajak harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan ditandatangani oleh wajib pajak atau kuasanya. Permohonan pengampunan pajak harus memuat hal-hal berikut:

  • Nama dan alamat wajib pajak
  • NPWP
  • Jenis harta yang diungkapkan
  • Nilai harta yang diungkapkan
  • Sumber perolehan harta

Wajib pajak yang mengajukan permohonan pengampunan pajak harus membayar pajak penghasilan (PPh) atas harta yang diungkapkan. PPh yang harus dibayar adalah sebesar 3% dari nilai harta yang diungkapkan.

Pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak yang mengajukan permohonan pengampunan pajak dapat dibayarkan secara angsuran. Angsuran pertama harus dibayarkan paling lambat 30 hari setelah permohonan pengampunan pajak diajukan. Angsuran berikutnya harus dibayarkan paling lambat tanggal 20 setiap bulan berikutnya. Pembayaran pajak dapat dilakukan secara tunai, melalui bank persepsi, atau melalui pos.

Wajib pajak yang telah memanfaatkan pengampunan pajak akan mendapatkan dampak-dampak berikut:

  • Harta yang diungkapkan tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan
  • Harta yang diungkapkan tidak dikenai sanksi pidana perpajakan
  • Harta yang diungkapkan dapat digunakan sebagai pengurang penghasilan dalam menghitung PPh

PENERAPAN TEORI SAUSSURE DALAM IMPLEMENTASI PMK 127/PMK.010/2016

Sumber : dokpridebs
Sumber : dokpridebs

Penerapan teori Saussure dalam implementasi PMK 127 tahun 2016 melibatkan pemahaman mendalam tentang bagaimana bahasa dan tanda-tanda berfungsi dalam konteks hukum keuangan. Ferdinand de Saussure, mengemukakan konsep-konsep kunci seperti signifier dan signified, yang dapat diaplikasikan untuk membahas implementasi peraturan tersebut.

Signifier dan Signified dalam Teks Hukum:

Signifier dalam teks hukum PMK 127 tahun 2016 adalah elemen-elemen konkret seperti kata-kata, frasa, pasal, dan ayat yang digunakan dalam peraturan tersebut. Misalnya, dalam pasal yang membahas pajak penghasilan, signifier dapat diwakili oleh kata-kata seperti "pajak," "penghasilan," "subjek pajak," dan sebagainya. Setiap kata dan frasa memiliki signifier yang dapat diidentifikasi dan dianalisis.

Signified, dalam konteks teks hukum, merujuk pada konsep atau makna yang terkait dengan setiap signifier. Sebagai contoh, signified dari kata "pajak" mungkin mencakup konsep kewajiban membayar kepada pemerintah untuk mendukung kebijakan keuangan negara. Begitu pula, signified dari kata "penghasilan" dapat mencakup pendapatan yang dikenakan pajak menurut peraturan perpajakan. Dalam implementasi PMK 127 tahun 2016, penerapan teori Saussure membutuhkan pemahaman bahwa setiap ketentuan hukum memiliki signifier yang berkaitan dengan konsep atau aturan keuangan tertentu.

Hubungan Antar Signifier:

Saussure menekankan hubungan antara signifier dalam membentuk sistem bahasa. Dalam konteks PMK 127 tahun 2016, hubungan antar signifier menciptakan keterkaitan antar pasal, ayat, dan kata-kata. Misalnya, hubungan antara signifier "pajak" dan "penghasilan" dapat diidentifikasi untuk memahami bagaimana konsep-konsep ini saling terhubung dalam konteks peraturan keuangan.

Konteks dan Interpretasi:

Implementasi PMK 127 tahun 2016 tidak hanya melibatkan pengenalan signifier dan signified, tetapi juga memerlukan pemahaman konteks. Saussure menegaskan bahwa makna tergantung pada konteks di mana tanda tersebut muncul. Dalam implementasi peraturan keuangan, interpretasi yang benar memerlukan pemahaman kontekstual dari setiap ketentuan untuk menghindari kesalahan atau penafsiran yang salah.

Struktur dan Sistem Bahasa:

Teori Saussure menyoroti struktur dan sistem bahasa. Implementasi PMK 127 tahun 2016 memerlukan pemahaman bahwa setiap pasal atau ayat memiliki peran dalam sistem hukum keuangan yang lebih besar. Dengan memandang peraturan ini sebagai sistem, penerapan dan interpretasi dapat dilakukan dengan mempertimbangkan struktur keseluruhan.

Perubahan Makna dan Evolusi:

Teori Saussure juga mengakui dinamika perubahan makna. Dalam konteks hukum keuangan, perubahan dalam interpretasi atau pelaksanaan peraturan seiring waktu dapat diartikan sebagai evolusi makna dalam bahasa hukum. Penerapan teori ini membantu memahami bagaimana makna peraturan dapat berubah seiring dengan perubahan kebijakan, praktik keuangan, atau keadaan ekonomi.

Ketidakpastian dan Kesenjangan Makna:

Saussure juga membahas ketidakpastian dan kesenjangan makna dalam bahasa. Dalam implementasi PMK 127 tahun 2016, ini mencerminkan adanya interpretasi yang dapat bervariasi dan potensi kesenjangan dalam pemahaman antara berbagai pihak yang terlibat. Memahami ketidakpastian ini penting untuk mencapai konsistensi dalam implementasi peraturan.

ANALISIS SEMIOTIKA PADA PMK 127/2016

Berdasarkan pendekatan struktural, makna dari PMK 127/2016 adalah sebagai upaya pemerintah untuk meningkatkan kepatuhan pajak. Hal ini dapat dilihat dari tujuan pengampunan pajak yang disebutkan dalam PMK 127/2016, yaitu untuk

  • Mendorong wajib pajak yang memiliki harta tidak langsung melalui SPV untuk mengungkapkan harta tersebut
  • Meningkatkan penerimaan pajak

Wajib pajak yang dapat memanfaatkan pengampunan pajak juga diatur secara ketat dalam PMK 127/2016. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah ingin memastikan bahwa pengampunan pajak hanya dinikmati oleh wajib pajak yang memenuhi syarat sebagaimana telah diatur dalam PMK tersebut. Hal ini bertujuan untuk mempermudah wajib pajak dalam mengajukan permohonan pengampunan pajak.

Pembayaran dan penyetoran pajak atas harta yang diungkapkan juga diatur secara jelas dalam PMK 127/2016. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa wajib pajak yang telah memanfaatkan pengampunan pajak tetap memenuhi kewajiban perpajakannya.

Selain pendekatan struktural, pendekatan lain yang dapat digunakan dalam analisis semiotik adalah pendekatan post-struktural. Pendekatan post-struktural melihat tanda sebagai bagian dari suatu sistem tanda yang saling bertentangan. Dalam konteks PMK 127/2016, sistem tanda yang saling bertentangan tersebut dapat dilihat dari tujuan pengampunan pajak yang ingin meningkatkan kepatuhan pajak yang dapat dilihat sebagai suatu upaya pemerintah untuk memberikan kemudahan bagi wajib pajak. Namun, syarat dan tata cara pengajuan permohonan pengampunan pajak yang ketat sebagai suatu upaya pemerintah untuk membatasi jumlah wajib pajak yang dapat memanfaatkan pengampunan pajak.

Dengan menerapkan teori Saussure dalam implementasi PMK 127 tahun 2016, kita dapat mengembangkan pemahaman yang lebih kaya tentang hubungan antar unsur-unsur dalam peraturan tersebut. Hal ini membantu para pelaku hukum, praktisi keuangan, dan pihak terkait lainnya untuk menghindari kesalahpahaman, meminimalkan ketidakpastian, dan meningkatkan konsistensi dalam mengimplementasikan aturan-aturan keuangan tersebut. Dengan memandang PMK 127 tahun 2016 sebagai sistem bahasa, kita dapat merinci struktur hukum keuangan dengan lebih baik, mengakui perubahan makna seiring waktu, dan menyadari pentingnya konteks dalam interpretasi dan implementasi peraturan tersebut.

Sumber :

PMK 127/PMK.010/2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun