Tetapi, tak selamanya kota bisa berdiri dengan sangat megah.pada bulan yang lalu ujung tombak perekonomian masyarakat kota tua Semarang sempat lumpuh selama kurang lebih 2 minggu.ujung tombak ini adalah Pasar Johar.saat diriku mewawancarai seorang tukang becak yang selalu mangkal berada didekat kota tua ini berdiri,pasar johar tersebut berada berketakan dengan lokasi kota tua dan gereja Blenduk ini.beliau berkata bahwa,pada bulan yang lalu pasar Johar sempat terbakar habis.semua kios-kios pedagang habis dilalap si jago merah.sehingga hanya sedikit pedagang yang bisa memelamatkan barang dagangannya.tidak hanya itu,diriku juga mendapat informasi yang cukup siqnifikan.setelah kebakaran yang melahap pasar johar,aktifitas jual beli pasar dipindakan di dekat Masjid Agung Semarang.dan bisa membuat pasar ini normal kembali membutuhkan kurun waktu yang cukup lama,kira-kira selama 6 tahun baru pasar ini bisa berjalan dengan normal kembali. Benar-benar membutuhkan waktu yang sangat lama untuk membuat pasar johar ini kembali seperti semula.disini banyak momen-momen yang bisa membuat diriku berdecak kagum,dan ada peristiwa juga yang membuat diriku prihatin akibat terbakarnya deyut perekomonian di kawasan kota tua semarang.
Akhirnya petualanganku di kawasan Kota Tua dan Gereja Blenduk berakhir dengan mendapat banyak sekali informasi,serta mendapat wawasan yang sangat luas saat berada di tempat bersejarah ini.
Setelah puas berkeliling disekitar area kota tua,kami pun akhirnya kembali menuju tempat hotel tempat kami bermalam kemarin.sesampai dihotel,diriku pun berkemas serta merapikan pakaian dan perlengkapan yang diriku bawa.setelah semuanya rapi,akhirnya diriku pun bergegas mandi pagi untuk mengejar waktu untuk sarapan pagi yang telah disediakan oleh pihak hotel tempat kami bermalam.
Akhirnya semua hal sudah diriku persiapkan dengan sangat matang.selanjutnya kami perserta hunting fotografi,check out dari hotel tempat kami bermalam,dan melanjutkan perjalanan selanjutnya ke tempat bersejarah yang sangat terkenal akan sejarah dan keunikannya.Tempat wisata tersebut adalah ”Klenteng Sam poo Kong”
Sam Poo Kong
Perjalanan dari kota tua semarang menuju Klenteng Sam Poo Kong,tidaklah terlalu djauh. Hanya menempung perjalanan kurang lebih setengah jam,diriku telah sampai ke tujuan wisata ini dengan selamat tanpa kekurangan satu apapun.setelah sampai, diriku bersama teman-peserta hunting fotografi,kami pun langsung berpencar untuk mendapatkan foto yang terbaik.Tidak hanya itu kami pun juga akan menggali informasi terkait sejarah berdirinya kelenteng Sam Poo Kong ini.Petualanganku pun akhirnya dimulai lagi.
Saat berada didalam Klenteng Sam Poo Kong,Cukup dengan membayar tiket masuk Rp. 3.000 untuk pengunjung domestik dan Rp. 10.000 untuk turis asing, saya mulai memasuki area petilasan Laksamana Cheng Ho ini, kesan pertama memang sangat terasa kemegahan dari tata bangunan yang terletak di tanah seluas lebih kurang 3 hektar dan terdiri dari beberapa bagian utama, di area ini terdapat 5 bangunan klenteng yang sesuai urutannya dari arah utara ke selatan yaitu klenteng Tho Tee Kong (Dewa Bumi), klenteng Kyai Juru Mudi (Wang Jing Hong / Dampo Awang), klenteng utama Sam Poo Kong, klenteng Kyai Jangkar dan klenteng Kyai Cundrik Bumi.
Pemandangan pertama yang paling menarik perhatian mata saya adalah keberadaan patung laksamana Cheng Ho setinggi 10 meter lebih, tampak berdiri kokoh di sisi selatan klenteng. Patung ini berwarna kekuningan yang konon terbuat dari lapisan perunggu, dibawah patung terdapat prasasti yang bertuliskan otobiografi singkat Cheng Ho. Disebutkan bahwa Cheng Ho / Zheng He (1371 - 1435) adalah seorang Duta Perdamaian utusan Kaisar Yong Le, pada zaman Dinasti Ming, yang telah melalang buana dengan ratusan kapal dan ribuan anak buah.
Membaca otobiografi singkat Cheng Ho ini membuat pikiran dan khayalan saya semakin penasaran terhadap sejarah datangnya Admiral hebat ini hingga bisa berlabuh di Semarang, maka dengan bermodalkan kamera canon 100D dengan lensa Kit,saya mulai mengambil gambar dan berjalan ke arah klenteng.
Ternyata untuk bisa masuk ke 5 klenteng, orang umum yang tidak bersembahyang dikenakan tiket masuk lagi sebesar Rp. 20.000 untuk pengunjung lokal dan Rp. 30.000 untuk turis asing, meski demikian saya merasa keindahan dan nilai sejarah yang saya dapatkan kemudian akan sangat sebanding dengan uang tiket yang saya keluarkan. Pada setiap klenteng kita disuguhkan keindahan arsitektur tiongkok yang dominan dengan warna-warna merah dan kuning serta pahatan relief-relief khas seperti naga, patung-patung dewa, tokoh-tokoh keagamaan, binatang-binatang shio dan lain-lain. Nuansa sakral pun sangat terasa dengan adanya wewangian hio yang dibakar oleh beberapa orang yang sedang sembahyang. Selain berdoa, pada klenteng pertama (Tho Tee Kong) pengunjung dapat melakukan ritual ramalan nasib yang dilakukan oleh seorang penjaga klenteng atau disebut “juru kunci”, pada saat saya ingin mencoba meramal nasib, sang juru kunci memperingatkan bahwa ramalan ini tidak boleh dilakukan tanpa niat yang sungguh-sungguh, tidak untuk coba-coba, karena akibatnya akan menjadi tidak baik. Peringatan ini membuat saya berpikir ulang atas niat saya yang memang hanya ingin mencoba, maka saya pun membatalkan meramal nasib, biarlah nasib dan takdir kita serahkan dan menjadi rahasia Tuhan Yang Maha Esa
Dan sayapun melanjutkan perjalanan ke klenteng kedua (Kyai Juru Mudi), sesuai dengan namanya disinilah tempat disemayamkannya juru mudi kapal Cheng Ho, yang terkenal dengan sebutan Dampo Awang (Wang Jing Hong), seorang juru kunci yang saya temui bercerita bahwa saat berlayar di laut Jawa, sang juru mudi dan beberapa awak kapalnya sedang jatuh sakit, sehingga Laksamana Cheng Ho memerintahkan untuk berlabuh di pantai utara Semarang. Sang juru mudi Dampo Awang inilah yang kemudian menetap di Semarang dan pengikutnya membangun klenteng pertama yang disebut dengan klenteng Sam Poo Kong.
Klenteng Sam Poo Kong adalah klenteng ke-3 yang saya datangi setelah klenteng Kyai Juru Mudi, klenteng ini juga terkenal dengan sebutan klenteng “Gedung Batu”, karena awal mulanya klenteng ini merupakan sebuah gua yang digunakan oleh Laksamana Cheng Ho untuk beristirahat dan berdoa bersama dengan anak buahnya. Sesuatu hal yang unik berada di klenteng ini adalah keberadaan sebuah bedug seperti yang ada di masjid, hal ini menandakan ada perpaduan islam pada klenteng ini, demikian pula dengan adanya tulisan yang berbunyi “Marilah kita mengheningkan cipta dengan mendengar bacaan Al Qur’an”. Sang juru kunci bercerita bahwa Laksamana Cheng Ho adalah seorang tionghoa keturunan Arab Persia dari sang Ayah dan seorang muslim yang sangat taat. Beberapa kerumitan ini membuat saya semakin penasaran, pertanyaan besarnya adalah “jika Cheng Ho adalah seorang yang menyebarkan agama islam, mengapa tempat petilasan ini menjadi klenteng bukannya masjid?” Sebuah pertanyaan yang baru saya dapatkan jawabannya setelah saya bertemu seorang juru kunci di klenteng terakhir, yang ke-5.
Namun sebelumnya saya melanjutkan ke klenteng ke-4, disebut klenteng “Kyai Jangkar” karena di klenteng ini terdapat sebuah jangkar raksasa yang konon digunakan oleh kapal Laksamana Cheng Ho, dengan panjang sekitar 3 meter, jangkar ini digunakan untuk melakukan ritual sembahyang di klenteng ini. Sayangnya pengunjung yang tidak bersembahyang dilarang mengambil foto jangkar, sehingga saya tidak dapat mengabadikannya. Di depan klenteng terdapat replika kapal Laksamana Cheng Ho yang ditumbuhi pohon beringin, dimana akar yang bergelantungan dipohon ini bentuknya sangat mirip dengan rantai kapal, hal ini tentunya menambah keunikan lokasi klenteng ini.