"Wuyyuuuuuuhh!" Pade berteriak, lengannya terentang.
Aku menyeringai, dan tidak bisa menahan diri untuk untuk ikut berteriak. Mungkin satu atau dua air mata bergabung dengan tetesan air hujan yang mengalir di wajahku. Pade pantas mendapatkan semua ini. Aku juga.
Kelegaan meluncur bersama angin dan hujan. Kami tetap di tengah hujan sampai terlalu dingin, dan masuk ke dalam rumah lalu mengeringkan diri dengan handuk.
Kemudian kami mengambil bobo (minol lokal) dan duduk di teras kayu. Pade sedang membuka kaleng dan plastik yang melindungi foto-foto itu. Setelahnya aku mendengarkan Pade menceritakan kisah di balik setiap foto: foto rumah, pondok kebun, proyek kolam ikan lele yang macet, rumah pohon yang diterbangkan badai.
Pade dengan lembut menjalin anekdot bersama-sama dari waktunya di istana tercinta saat aku duduk mendengarkan. Mendengarkan suara ungu beludru Pade. Mendengarkan gemerisik foto dan ketukan kayu Pade yang bersemangat untuk menekankan ceritanya. Mendengarkan suara hujan merah muda ruby di atap seng, diselingi dengan merah marun guntur.
Dalam beberapa keadaan lain, warna-warna tersebut akan menjadi bermacam-macam warna kusam yang acak, sebaliknya warna yang dalam dan tebal kali ini terasa hangat dan nyaman.
Aku memejamkan mata dan membiarkannya menyelimutiku seperti selimut.
Tamat.Â
Ket: pade = bapa ade, panggilan kepada adik laki-laki ayah.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H