Aku menambahkan, jika mereka dapat menghentikannya makan bawang putih mentah dan hisap rokok, aku akan sangat berterima kasih.
Tapi yang paling diwanti-wanti adalah agar para dokter meninggalkan 'kekuatan supernya': kecerdasannya melucu dan musik yang penuh warna.
Aku tidak berpikir sinestesianya akan berisiko, tetapi cukup tahu mengapa dia cemas. Jika aku sendiri kehilangannya, aku tak akan tahu bagaimana mengatasinya, akan terasa sekelabu apa dunia ini?
Membawa beberapa makanan ringan, kami bersantai di udara malam, dan melukis kenangan dengan suara kami. Lalu tenggelam dalam keheningan, dan hanya menyerap atmosfer. Itu adalah malam yang menyenangkan.Â
Meskipun hujan akan turun, sepertinya masih lama. Saat mengamati cakrawala, aku melihat burung hantu di tiang pagar, membentuk siluet di lapangan. Aku menunjuk ke sana.
"Pade tahu to, kalo burung hantu tra bakicau," kataku sambil menatap burung hantu itu sambil mengunyah dendeng rusa dengan linglung.
"tapi kalo dong batariak, kuning neon. Cantik skali kalo liat malam-malam begini." Seolah diberi isyarat, burung hantu itu lepas landas dengan memekik.
Pade berbalik menghadapku. "Kuning? Itu merah muda."
Aku pura-pura khawatir. "Merah muda? Pade pu tumor otak su tambah parah itu." Aku tersenyum saat Pade tertawa ringan, warna favoritku mengalir dari mulutnya.
Kami duduk kembali dalam keheningan yang kurang nyaman, mengamati bintang-bintang, diselingi kicauan jangkrik yang kemerahan.Â
"Pade penasaran kenapa dong tra pernah bakicau ..." gumam Pade setelah beberapa saat. "padahal dong pantas dapa puji deng biru banyak-banyak."
Aku menatap pamanku, sedikit meringis di wajahnya saat dia merenungkan pita suara burung hantu. Ekspresinya berubah marah, matanya terfokus jauh ke kejauhan. Biru adalah warna favoritnya, dan kebun kami adalah kanvas favoritnya.