Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Human Resources - Geopolitics Enthusiast

Belakangan doyan puisi. Tak tahu hari ini, tak tahu esok.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Melukis Suara Kenangan

3 Februari 2022   00:00 Diperbarui: 5 Februari 2022   11:56 456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku menambahkan, jika mereka dapat menghentikannya makan bawang putih mentah dan hisap rokok, aku akan sangat berterima kasih.

Tapi yang paling diwanti-wanti adalah agar para dokter meninggalkan 'kekuatan supernya': kecerdasannya melucu dan musik yang penuh warna.

Aku tidak berpikir sinestesianya akan berisiko, tetapi cukup tahu mengapa dia cemas. Jika aku sendiri kehilangannya, aku tak akan tahu bagaimana mengatasinya, akan terasa sekelabu apa dunia ini?

Membawa beberapa makanan ringan, kami bersantai di udara malam, dan melukis kenangan dengan suara kami. Lalu tenggelam dalam keheningan, dan hanya menyerap atmosfer. Itu adalah malam yang menyenangkan. 

Meskipun hujan akan turun, sepertinya masih lama. Saat mengamati cakrawala, aku melihat burung hantu di tiang pagar, membentuk siluet di lapangan. Aku menunjuk ke sana.

"Pade tahu to, kalo burung hantu tra bakicau," kataku sambil menatap burung hantu itu sambil mengunyah dendeng rusa dengan linglung.
"tapi kalo dong batariak, kuning neon. Cantik skali kalo liat malam-malam begini." Seolah diberi isyarat, burung hantu itu lepas landas dengan memekik.

Pade berbalik menghadapku. "Kuning? Itu merah muda."

Aku pura-pura khawatir. "Merah muda? Pade pu tumor otak su tambah parah itu." Aku tersenyum saat Pade tertawa ringan, warna favoritku mengalir dari mulutnya.

Kami duduk kembali dalam keheningan yang kurang nyaman, mengamati bintang-bintang, diselingi kicauan jangkrik yang kemerahan. 

"Pade penasaran kenapa dong tra pernah bakicau ..." gumam Pade setelah beberapa saat. "padahal dong pantas dapa puji deng biru banyak-banyak."

Aku menatap pamanku, sedikit meringis di wajahnya saat dia merenungkan pita suara burung hantu. Ekspresinya berubah marah, matanya terfokus jauh ke kejauhan. Biru adalah warna favoritnya, dan kebun kami adalah kanvas favoritnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun