"Terima kasih, Bening."
Adalah hal terakhir yang kuingat sebelum kegelapan menelanku.
Namaku Bening Syaira, siswi dengan kehidupan SMA yang terasa biasa saja sampai rentetan peristiwa ini menimpaku.
Raka Aldebaran, siswa teladan SMA Harapan, Kapten ekstrakulikuler basket dengan segudang title yang tidak dapat kusebutkan, ditemukan meninggal dunia setelah terjatuh dari balkon kamarnya di lantai tiga. Kalian bertanya apa hubungan kematian seorang pangeran sekolah dengan siswi biasa sepertiku? Tidak ada. Aku hanya kebetulan bertemu dengan siswa 'teladan' lain bernama Ardan Praditya yang dengan mustahilnya merupakan teman dekat Raka sejak kecil. Siswa 'teladan' dengan title yang melampaui Raka, dijauhi satu sekolah, serta dengan kebetulannya menyeretku masuk ke dalam kekacauan ini.
Kringg... bel istirahat. Aku bergegas menuju kantin, bahkan mengabaikan panggilan teman semejaku hanya untuk menemukan segerombol siswi sedang bergerumul membicarakan sesuatu.
"Mereka bilang Raka bunuh diri."
"Bukankah tidak masuk akal?"
"Kenapa seseorang yang berprestasi seperti Raka rela melakukan itu?"
Seminggu telah berlalu sejak berita kematian Raka tersebar. Sepertinya mereka masih belum dapat merelakan kepergian pangeran sekolah itu. Hanya helaan nafas yang dapat aku keluarkan. Bukan berarti aku lelah atau membenci apa yang mereka bicarakan, semua pertanyaan yang mereka lontarkan sebenarnya terdengar masuk akal bagiku. Sayangnya, aku tidak menyukai keramaian dan sesuatu yang merepotkan. Begitu menyadari bahwa pembicaraan mereka tidak akan selesai dalam waktu singkat, kuputuskan untuk angkat kaki dari kantin. "Semoga Jauhara membawa bekal lebih," pikirku sambil meninggalkan kantin. "Kau ingin tau jawaban dari pertanyaan mereka?"
"Dari sekian banyak orang di sekolah ini, kenapa harus dia yang menahanku," ucapku dalam hati sambil berusaha melarikan diri darinya. "Kau tau, sebenarnya ada kabar yang beredar bahwa Raka meninggalkan pesan di samping mayatnya," ujarnya sambil terus mengikutiku. Ardan Praditya, berandal yang lebih senang membuat masalah ini penasaran dengan kematian Raka? Bukan hal yang aneh mengingat ia teman kecil Raka tetapi, kenapa harus menyeretku?
"Disaat siswi lain ramai membicarakan kematiannya, kau terlihat tidak tertarik," ucapnya seperti mengetahui apa yang kupikirkan. Dia menghetikanku hanya karena alasan itu? Sontak, kuhentikan langkahku dan bertanya padanya. "Apa maumu?" ucapku dengan nada yang sedikit kunaikkan. Menaikkan suaraku dihadapan seorang Ardan yang berandalan ini? Wah, aku tidak pernah menyangka aku seberani ini.
Di luar dugaan, Ardan tersenyum. "Bantu aku mencari tau alasan sebenarnya kematian Raka," ujarnya sambil memberikan secarik kertas berisikan ... entahlah semacam kode? Aku hanya terdiam melihat kertas yang diulurkan olehnya. "Untuk apa ia ingin mengetahui penyebab kematian sebenarnya? Bukankah kematian Raka sudah dianggap sebagai kasus bunuh diri?" Adalah hal yang terus kupikirkan sampai Ardan menarik telapak tanganku dan meletakkan kertas itu di atasnya. "Mohon bantuannya, Bening Syaira." Hah? Dari mana dia tau namaku? "Badge namamu terlihat," ujarnya sambil berjalan meninggalkanku. Aku tidak percaya dia sepandai itu membaca raut wajah orang lain. "Kenapa dari sekian banyak orang harus dia yang berurusan denganku?" ucapku mengasihani diri sendiri.
"Ice Cream, 58, BS-EB-O"
Pesan yang tertulis di secarik kertas yang diberikan oleh Ardan padaku. Ice Cream? 58? BS-EB-O? Aku tidak dapat menemukan korelasi antara ketiga hal tersebut. Pikiranku terus berkutat dengan pesan yang ada di atas meja belajarku sampai ponselku bergetar.
"Dapat pencerahan?" Pesan masuk dari Ardan  yang kutemukan cukup menyebalkan. Ajaib sekali, dari mana dia mendapat kontakku?Â
"Kau yang teman kecilnya bahkan menemukan kesulitan— " ketika hendak membalas pesannya, ponselku berdering. Panggilan masuk dari Ardan.
"Halo." Pembukaan yang sangat normal untuk sebuah percakapan melalui ponsel dengan suara tenangnya yang harus kuakui menyenangkan untuk didengar. "Dapat pencerahan?" Seperti mengulangi pesan yang ia kirim, Ardan kembali menanyakan hal tersebut. Kutarik kembali pernyataanku tentang suaranya yang menyenangkan untuk didengar. Aku mendecak. "Pertama, dari mana kau mendapat kontakku? Kedua, untuk apa kau ingin mencari tau penyebab sebenarnya kematian Raka? Ketiga, kau pasti mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh orang lain, kan? Keempat, jika kau telah mengetahui sesuatu, mengapa kau masih membutuhkanku? Terakhir, bagaimana mungkin aku tau apa arti pesan itu disaat aku tidak memiliki hubungan apapun dengan Raka?" Wah, tidak dapat kupercaya. Kulontarkan semua pertanyaan itu hanya karena kesal dengan nadanya yang terdengar meledek? Nasi sudah menjadi bubur, setidaknya Ardan tidak dapat memukulku lewat ponsel.
Setelah keheningan beberapa saat, suara Ardan kembali terdengar. "Pertama, dari Jauhara, kau pikir dari mana lagi aku bisa mendapat kontakmu? Kedua, aku merasa bersalah pada Raka dan ingin mengakhiri ini semua. Ketiga dan keempat, aku teman dekat Raka sejak kecil, sudah pasti keluarganya mengenalku, karena itu aku tau isi pesan yang ditinggalkan Raka. Aku membutuhkanmu untuk mengonfirmasi sesuatu. Kau pikir bagaimana reaksi orang-orang ketika mengetahui bahwa aku mencari mereka? Kelima dan terakhir ...."
Apa? Kenapa tidak dilanjutkan? Aku yakin Ardan masih tersambung denganku karena deru nafasnya masih terdengar.
"Baiklah, kau bilang aku diperlukan untuk mengonfirmasi sesuatu, kan? Apa yang kau maksud?" ucapku memutus keheningan yang canggung itu. "Seperti yang kubilang sebelumnya, aku teman dekatnya, keluarganya mengizinkanku melihat semuanya, isi pesan itu, dan ...." Suara Ardan semakin mengecil, terbesit satu kemungkinan di benakku yang tanpa sadar telah kuucapkan. " ... mayatnya?"
" ... Kau tau kasus penculikan dan pembunuhan anak yang dilakukan oleh Toni? Aku menyadari ada luka yang mirip saat melihat pergelangan tangan Raka," jawab Ardan setelah terdiam beberapa saat.
"Ardan ... Toni dinyatakan meninggal 10 tahun yang lalu."
"Dia dinyatakan meninggal hanya karena telah menghilang selama lebih dari 5 tahun, tidak ada yang tau secara pasti dimana keberadaannya sampai sekarang."
"Jadi maksudmu, Toni kembali dan membunuh Raka?" Aku menghela nafas. Tidak kusangka kematian seorang Raka Aldebaran akan menjadi serumit ini.
"... Kenapa Raka Aldebaran?" Hening. Ardan tidak menjawab.
"Ardan?"
"Toni pernah menangkap 6 orang anak, Raka Aldebaran, Ardan Praditya, Biru Samudera, Emily Berliana, Orion, dan ...." Aku tidak dapat mendengar nama anak terakhir.
"Tunggu, Biru Samudera, Emily Berliana, dan Orion yang kau bicarakan ini—"
"Wakil kapten ekstrakulikuler basket, kapten cheerleader, dan pemenang medali emas olimpiade kimia." Tidak dapat menemukan kesimpulan dari apa yang diceritakan Ardan, aku memilih diam.
"Kami diculik pada tanggal 5 Agustus, bertepatan dengan kematian Raka pada tahun ini, BS-EB-O terasa familiar?" Aku tercengang, apa maksud Ardan?
"Ardan, sebagai sesama korban, apa yang membuatmu berpikir salah satu diantara mereka adalah pelakunya?"
"Ambisi, trauma, kecemburuan, ada banyak hal yang dapat menggerakkan manusia." Ada sebersit kesedihan dalam suara Ardan ketika mengatakan kalimat itu.
"Akan aku ceritakan lebih lanjut di sekolah," sambung Ardan bersiap menutup panggilan.
"Ardan."
Jika memang ambisi adalah penyebabnya, mengapa harus meminjam identitas Toni?
"Jangan mendatangiku saat istirahat, temui aku setelah sekolah usai. Besok adalah jadwal latihan ekstrakulikuler basket dan cheerleader." Kuakhiri panggilan dengan Ardan malam itu.
"Yo." Entah karena berandal atau tepat waktu, Ardan menunggu di ambang pintu kelasku semenit setelah bel pulang berbunyi. "Siapa yang harus kutemui lebih dulu?" tanyaku sambil berjalan melewatinya. "Biru Samudera, 'anak emas' tim basket sampai ketua terdahulu merekrut Raka. Bukan hal yang aneh jika Biru ingin—"
"Ardan, luka pada pergelangan tangan Raka bisa saja disebabkan saat ia terjatuh," ucapku memotong perkataan Ardan. "Ah, kurasa aku belum mengatakannya padamu"-Ardan menghentikan langkahnya-"Raka terjatuh di lapangan basket halaman belakang rumahnya."
"Jika memang ambisi adalah penyebabnya, mengapa harus meminjam identitas Toni?" Pertanyaan yang terus berputar di otakku tanpa dapat kukatakan. Berkutat dengan pikiranku sendiri, tanpa sadar kami telah sampai di lapangan sekolah. "Do your job," ujarnya sambil tersenyum. Aku harus menemukan Biru diantara anak-anak tim basket ini? Di luar dugaan, ternyata tidak sulit menemukan keberadaan Biru. "Biru Samudera, boleh bicara sebentar?" ucapku dengan nada yang kubuat setenang mungkin. Dia hanya menoleh dan mengabaikanku. Haruskah kukatakan? "Biru, kau kenal Toni, kan?" ujarku ragu-ragu. Tanpa sepengetahuanku, Biru berbalik. "Bagaimana kau ... Ardan." Ardan? Entah sejak kapan Ardan telah berdiri di belakangku.
Aku hanya umpan agar dia bisa menginterogasi mereka sendirian. Lima belas menit berlalu hingga akhirnya Biru meninggalkan Ardan. Ardan berjalan ke arahku membawa hasil yang telah ia tulis di note. "Sudah?" Ardan tidak menjawab. Ia merobek kertas dari notenya dan memberikannya padaku. Suara seseorang menghentikan niatku membaca kertas tersebut. "Ardan!" Biru kembali dengan sosok lain di belakangnya. Emily Berliana.
"Emily pernah ditolak oleh Raka," ujar Ardan singkat sebelum berjalan meninggalkanku.
4 Agustus. Wajahnya pucat, dan pikirannya tidak fokus. Khawatir, aku memilih menyudahi latihan hari ini dan mengantar Raka pulang. Setelah beristirahat, Raka mendiskusikan perihal lomba yang akan datang denganku. "Urus lomba kali ini dengan baik, Biru," ujarnya seakan ia tidak dapat hadir pada lomba kali ini. Apa yang terjadi? Pikiranku semakin kalut ketika tidak sengaja melihat saputangan perempuan dengan bercak darah di dalam tas Raka. "Raka, apa maksud—" pertanyaanku terpotong bunyi bel. Raka bangkit berdiri. "Ada tugas kimia yang harus kuselesaikan dengan Orion." Menyerah, aku pulang dengan pikiran yang masih bingung.
Kulipat kertas tersebut setelah selesai membaca isinya. "Saputangan perempuan," ucapku sambil memperhatikan Ardan dan Emily.
Butuh waktu dua puluh menit hingga akhirnya Emily meninggalkan Ardan. Mengulangi aksi yang sama, Ardan merobek kertas dari notenya dan kembali memberikannya padaku. "Kita hanya perlu menemui ... bingo," ucap Ardan. Mengikuti arah pandangnya, kulihat Jauhara sedang berbicara dengan Orion di gerbang depan."Hara!!" Aduh mulutku, kenapa harus teriak sih?
Menutupi rasa malu, bergegas kuhampiri Jauhara. "Hara, temani aku ke belakang." Kutarik lengan Jauhara dan berjalan menjauhi Orion. Jarak sejauh ini cukup, kan? Kulihat Ardan sudah menghampiri Orion. "Ning, apa tidak dapat ditahan sebentar?" tanya Jauhara padaku. Terserahlah. "Sebentar Ning"-Jauhara memeriksa ponselnya-"Aku dicari Pak Hamid." Aku hanya mengangguk, lagipula tujuan utamaku sudah tercapai. "Semangat remedinya!!" celotehku pada Jauhara yang telah berlari. "Kurang ajar ya kamu!" balas Jauhara yang ternyata masih bisa mendengarku.
Di lapangan, Ardan telah selesai berbicara dengan Orion. Tanpa sengaja ia melihat Bening dan Jauhara tertawa bersama. Ardan tersenyum, tetapi matanya menunjukan emosi yang berbeda. "Di mana kau?" Ponselku bergetar. Pesan masuk dari Ardan. Sudah selesai, ya. Lebih cepat dari yang kupikirkan. "Kutunggu di kantin." Pesan masuk lainnya. Hah? Kenapa ke kantin? "Aku haus."
Sampai di kantin, kulihat Ardan tengah menghabiskan ice cream ditangannya. "Hanya tersisa rasa coklat," ujarnya sambil menyerahkan ice cream lain padaku. Hening. Kami sibuk menghabiskan ice cream masing-masing sampai akhirnya Ardan memberikan secarik kertas. "Pengakuan ketiga," ucapnya singkat. "Kau tau artinya, kan?" Kau tidak memerlukanku lagi? Aku hanya mengangguk. "Terima kasih, Bening." Ardan pergi meninggalkanku.
Seharusnya ini semua sudah berakhir, kan? Ardan hanya meminta bantuanku untuk mengonfirmasi sesuatu. Tugasku sudah selesai. Tidak perlu lagi membaca pengakuan ini dan menggalinya lebih dalam, kan? "Apanya yang tidak suka hal merepotkan?" Mengalah pada rasa penasaran, kubuka kertas yang tadinya hanya tergeletak di atas meja belajarku itu.
4 Agustus. Istirahat pertama, aku melihat Raka dan Orion mengobrol di depan lab kimia. Hal yang wajar menurutku, sampai kudengar Orion berteriak pada Raka. "Raka, kau tentu paham ini tugas yang penting, kan? Aku tidak ingin nilai kimia ... Aku akan menghubungimu terkait tugas ini." Beberapa kalimat tidak dapat kudengar karena bel masuk berbunyi. Kupikir teriakan Orion saat itu hanya karena emosi sesaat. Istirahat kedua, aku melihat Raka memasuki UKS. Wajahnya pucat, ia terlihat ketakutan dan gelisah ketika melihat ponselnya. Aku memang pernah ditolak, tapi bukan berarti aku dapat mengabaikan Raka yang seperti ini di hadapanku. Aku bergegas memasuki UKS dan menemukan jari Raka berdarah. Refleks, kukeluarkan saputangan yang selalu kubawa dan kuberikan padanya. "Aku baik-baik saja, hanya sedikit tergores ketika hendak mengambil obat," ujar Raka sambil menunjuk salah satu obat di lemari kaca UKS. Kuambil plester penutup luka dan obat yang ia maksud. Ketika obat itu berpindah tangan, bel masuk berbunyi. "Terima kasih, kembalilah ke kelas Emily," ujar Raka. Aku pergi, kembali ke kelas dengan perasaan khawatir.
"Siapa yang sebenarnya berbohong diantara mereka?" tanyaku sambil membuka kertas terakhir.
3 Agustus. Aku kembali bertemu Raka untuk membahas tugas kimia kami. Suatu kehormatan untukku karena dapat bekerjasama dengan pangeran sekolah. Memenangkan medali emas tidak menutup kekagumanku pada pemikiran seorang Raka. Namun hari ini, Raka sedikit berbeda. Ia selalu melihat ponselnya dengan wajah yang ... gelisah? "Raka, ada masalah?" tanyaku padanya. Raka tersenyum. "Maaf, boleh kita batalkan pertemuan nanti sore? Aku harus latihan basket untuk lomba mendatang." Aku hanya mengangguk. Selama ini, Raka selalu berhasil meluangkan waktu untuk tugas kami. Tidak ada salahnya melewatkan satu hari untuk tim basket karena ia kaptennya, kan?
4 Agustus. Raka memintaku menemuinya di depan lab kimia ketika istirahat pertama. Wajahnya pucat, ia memohon agar pertemuan nanti sore kembali dibatalkan. "Biru memintaku mengadakan latihan tambahan. Ia juga ingin mendiskusikan perihal lomba denganku," ujar Raka. Aku merasa kesal, tapi melihat wajahnya yang pucat, kekesalan itu berganti menjadi kekhawatiran. "Raka, kau tentu paham ini tugas yang penting, kan? Aku tidak ingin nilai kimia kita terganggu. Aku paham kesibukanmu sebagai ketua tim, tapi tetap jaga kesehatanmu. Aku akan menghubungimu terkait tugas ini." Karena bel masuk telah berbunyi, kami kembali ke kelas.
Saat bel istirahat kedua, aku mengirim pesan pada Raka bahwa aku akan datang ke kediamannya jam enam sore dengan harapan urusan Raka dengan tim basket telah selesai. Raka menyetujui pesan yang kukirim. Di luar dugaan, ketika sampai di depan pintu rumah Raka, aku mendengar suara Biru. Suaranya terdengar sedikit mendesak. Aku tidak tau apa yang mereka bicarakan. Begitu aku masuk, Biru pergi dengan ekspresi yang sulit dijelaskan.
Tiga hari berlalu setelah kesepakatan sepihak dengan Ardan berakhir. Kehidupan biasaku kembali. Perbedaan terbesarnya adalah perasaan mengganjal yang tertinggal di pikiranku. Banyak pertanyaanku yang belum terjawab. Alasan sebenarnya Ardan menyeretku, apa ambisi Toni, dan siapa pembunuh Raka Aldebaran. "Mereka bertiga dapat menjadi pelakunya. Biru, ia dapat mengunjungi Raka dengan alibi lomba basket. Emily, saputangannya terbawa oleh Raka. Orion, ia dapat mengunjungi Raka untuk melanjutkan tugas kimia mereka." Hariku terus berjalan diiringi pikiran tersebut.
Kurasa apa yang dikatakan orang lain tentang perhatikan sekitar dan jangan hanya berkutat dengan duniamu sendiri benar. Lima hari telah berlalu, aku baru menyadari bahwa sekolahku kehilangan tiga murid lain ketika menonton berita di televisi. Ditemukan luka yang sama pada pergelangan tangan ketiga mayat itu. Luka membentuk huruf 'P'. Dengan ini, kasus kematian Raka Aldebaran ikut terseret ke permukaan.
Di kamarnya, Ardan menatap televisi yang menayangkan berita itu dengan pandangan kosong. "Sudah puas? Untuk apa bermain sejauh ini?" tanyanya. Tidak ada jawaban. "Kau akan membunuhku kan?" lanjut Ardan. "Jangan sentuh anak yang ada di pojok ruangan waktu itu." Hening, hanya ada senyuman yang terukir di wajahnya.
Yang pertama muncul dipikiranku ketika mendengar berita itu adalah Ardan. Semua orang yang menjadi korban adalah korban penculikan Toni di masa lalu. Biru, Emily, dan Orion bukanlah pembunuh Raka. Apakah Toni benar-benar masih hidup? Bagaimana keadaan Ardan ... tunggu, masih ada satu anak lagi, kan? Belum sempat memikirkan kemungkinan itu, ponselku berdering. Panggilan masuk dari Ardan.
"Ardan!" panggilku mendesak. "Aku memiliki pengakuan keempat dan terakhir. Kau akan mengetahui jawaban dari setiap pertanyaan yang ada di pikiranmu," ujar Ardan. Ada sesuatu yang tercampur dengan suara tenangnya ... kuharap aku salah mendengarnya. "Datanglah ke alamat yang kukirimkan." Ardan menutup panggilan itu. Semenit kemudian ponselku bergetar. Pesan masuk dari Ardan. "Jalan Wilanw Nomor 58." Satu jam perjalanan dari tempat tinggalku. Kulirik jam dinding di kamarku. Jam 3.45 sore. Kusambar jaket, dan dompetku. Tidak lupa berpamitan pada ibu dengan alibi Jauhara mengajak bertemu. Tepat jam 4.45 aku sampai di tempat itu. Wilanw adalah tempat yang ramai dan hidup, tidak pernah kuduga akan menemukan rumah kosong yang berantakan di wilayah ini. Merasa ragu memasuki rumah ini, aku terdiam di depan pintu masuk. Kriet ... Ardan membuka pintu berkarat itu dari dalam.
Ardan tersenyum. Tanpa menunggu respon dariku, ia menarik lenganku dan masuk ke dalam rumah. Gelap dan dingin. Pencahayaan hanya berasal dari cahaya matahari yang menyusup melalui lubang-lubang kecil pada dinding rumah. Ardan membawaku masuk ke sebuah ruangan kecil yang terletak di bagian belakang rumah. "Ardan!" ada yang aneh, kenapa Ardan bisa tau seluk beluk rumah yang gelap ini? Di tengah ketakutan dan kebingunganku, Ardan mendorongku masuk. "Bening, waktuku tidak banyak," ujarnya sambil melepas genggaman di lenganku. Ardan merogoh kantong jaketnya. Dia mengeluarkan kertas yang kuasumsikan sebagai pengakuan terakhir dan meletakkannya di atas telapak tanganku. "Ardan, apa maksudmu?" tanyaku terburu-buru. Tidak mungkin pembunuh itu ada di sini kan? Ardan tidak mungkin memilih tempat ini jika tau ada pembunuh itu. Ardan kembali tersenyum, Ia mengeluarkan benda lain dari kantong jaketnya. "Tentu saja waktunya tidak banyak. Aku akan membunuhnya setelah membunuhmu."
Ardan mengayunkan cutter di tangannya ke arahku. Gerakannya sangat cepat, seperti sudah terbiasa. Dengan ajaibnya, serangan itu hanya mengenai pipiku. "Hah ... anak ini memohon padaku agar tidak membunuhmu," Aku tidak salah dengar, Ardan mengatakannya dengan nada yang sama saat melakukan panggilan denganku, ada kegembiraan di sana. Takut, hanya itu yang kurasakan. Kuletakan pengakuan terakhir dalam kantong jaketku. Ardan menarik lenganku sesaat sebelum jariku menyentuh knop pintu. "Ambisiku adalah membunuh semua anak yang telah kuculik. Termasuk kau." Mimpi buruk yang berhasil kutimbun kembali muncul ke permukaan. Melihat reaksiku yang terdiam, Ardan kembali tersenyum. "Selamat tinggal, Bening Syaira." Satu cm sebelum logam dingin itu menyayat leherku, Ardan berhenti. "Sudah kubilang untuk tidak menyentuhnya, kan?"
Suara tenang yang belakangan ini menghilang, kini kembali. Darah menetes dari telapak tangan kiri Ardan. "Kau pernah bertanya alasan kenapa aku mencari kebenaran di balik kematian Raka, kan?" Aku hanya mengangguk. Ardan tersenyum. "Aku ingin setidaknya ada satu orang yang memberiku keberanian untuk menghentikan perbuatannya." Ardan mengarahkan cutter itu ke lehernya. "Ardan, apa yang kau lakukan?" Bukan, itu bukan suaraku. "Aku hanya membantu ambisimu." Logam dingin itu menembus leher Ardan. Mengoyak urat dan daging di dalamnya. Seperti tidak cukup, Ardan menggerakkan logam itu hingga menembus tengkuknya.
Darah bermuncratan. Bau anyir dan nafas Ardan yang tersengal adalah apa yang memenuhi ruangan saat ini. Di sela kesadaranku yang menipis, samar-samar kudengar Ardan mengucapkan sesuatu.
Hening. Begitu tersadar, ruangan berwarna merah itu telah berganti putih. Bau anyir telah berganti bau antiseptik. "Ah, aku ada di rumah sakit," pikirku. Tiga hari menetap di rumah sakit, Ibu memberi secarik kertas padaku. "Ini ditemukan di kantong jaketmu," ujarnya sambil menyalakan televisi. "Pelaku pembunuhan empat orang siswa SMA Harapan diketahui meninggal bunuh diri di rumah kosong tempat Toni melakukan aksinya puluhan tahun lalu. Ardan Praditya, mengidap multiple personality disorder sejak menjadi korban penculikan Toni di masa lalu. Kepribadian Toni di dalam—" Tangis yang kutahan selama tiga hari itu pecah dalam sekejap. Jika memang ambisi adalah penyebabnya, mengapa harus meminjam identitas Toni? Pertanyaan yang selama ini berputar di pikiranku akhirnya terjawab. "Terima kasih, Bening." Ardan mengucapkan hal itu sebelum pergi bersama Toni.
1 Agustus. Dia muncul kembali. "Yang kuingin adalah membunuh semua yang telah kutangkap." Itulah pesan yang kukirimkan pada Raka Aldebaran.
2 Agustus. Raka mendatangiku saat istirahat pertama. "Ardan, apa maksudnya?" tanya Raka sambil memperlihatkan isi pesan itu padaku. Raka adalah orang pertama yang mengetahui keberadaan Toni. "Maaf Raka, menjauhlah dariku."
3 Agustus. "Kudengar 5 Agustus adalah ulang tahunmu? Aku akan mengirimkan hadiah yang tidak akan bisa kaulupakan." Bunyi pesan terakhir yang kukirimkan pada Raka.
5 Agustus. "Menyerah saja, aku akan membunuhmu, Biru, Emily, Orion, dan Bening. Raka hanya permulaan," ujarnya sambil membuka kamar Raka. "Sedekat apa hubunganmu dengan Raka sampai dia memberi kunci kamarnya padamu? Kurasa penculikan waktu itu membawa berkah untukmu. Di mana lagi kau dapat menemukan teman seperti Raka?" celotehnya sambil memeriksa isi kamar Raka. "Haruskah kita mulai, Ardan?"
Pesan dan luka itu, aku yang membuatnya, ice cream, 58, BS-EB-O. I scream, tiga belas huruf, BS-EB-O adalah kode yang mengindikasikan namaku, Ardan. Luka itu aku tinggalkan sebagai keterangan tambahan apabila pesanku salah diartikan. 'P' dari namaku, Praditya. Aku melakukannya dengan harapan akan ada seseorang yang menghentikanku atau paling tidak, memberiku keberanian untuk menghentikannya sendiri. Toni bukan kepribadian yang dapat dikontrol, tidak ada jaminan ia akan berhenti setelah membunuh kami berlima. Saat itulah aku bertemu denganmu, anak terakhir yang pernah diculik Toni. Maaf karena telah membangkitkan mimpi burukmu.  Bening Syaira.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H