"Terima kasih, Bening."
Adalah hal terakhir yang kuingat sebelum kegelapan menelanku.
Namaku Bening Syaira, siswi dengan kehidupan SMA yang terasa biasa saja sampai rentetan peristiwa ini menimpaku.
Raka Aldebaran, siswa teladan SMA Harapan, Kapten ekstrakulikuler basket dengan segudang title yang tidak dapat kusebutkan, ditemukan meninggal dunia setelah terjatuh dari balkon kamarnya di lantai tiga. Kalian bertanya apa hubungan kematian seorang pangeran sekolah dengan siswi biasa sepertiku? Tidak ada. Aku hanya kebetulan bertemu dengan siswa 'teladan' lain bernama Ardan Praditya yang dengan mustahilnya merupakan teman dekat Raka sejak kecil. Siswa 'teladan' dengan title yang melampaui Raka, dijauhi satu sekolah, serta dengan kebetulannya menyeretku masuk ke dalam kekacauan ini.
Kringg... bel istirahat. Aku bergegas menuju kantin, bahkan mengabaikan panggilan teman semejaku hanya untuk menemukan segerombol siswi sedang bergerumul membicarakan sesuatu.
"Mereka bilang Raka bunuh diri."
"Bukankah tidak masuk akal?"
"Kenapa seseorang yang berprestasi seperti Raka rela melakukan itu?"
Seminggu telah berlalu sejak berita kematian Raka tersebar. Sepertinya mereka masih belum dapat merelakan kepergian pangeran sekolah itu. Hanya helaan nafas yang dapat aku keluarkan. Bukan berarti aku lelah atau membenci apa yang mereka bicarakan, semua pertanyaan yang mereka lontarkan sebenarnya terdengar masuk akal bagiku. Sayangnya, aku tidak menyukai keramaian dan sesuatu yang merepotkan. Begitu menyadari bahwa pembicaraan mereka tidak akan selesai dalam waktu singkat, kuputuskan untuk angkat kaki dari kantin. "Semoga Jauhara membawa bekal lebih," pikirku sambil meninggalkan kantin. "Kau ingin tau jawaban dari pertanyaan mereka?"
"Dari sekian banyak orang di sekolah ini, kenapa harus dia yang menahanku," ucapku dalam hati sambil berusaha melarikan diri darinya. "Kau tau, sebenarnya ada kabar yang beredar bahwa Raka meninggalkan pesan di samping mayatnya," ujarnya sambil terus mengikutiku. Ardan Praditya, berandal yang lebih senang membuat masalah ini penasaran dengan kematian Raka? Bukan hal yang aneh mengingat ia teman kecil Raka tetapi, kenapa harus menyeretku?
"Disaat siswi lain ramai membicarakan kematiannya, kau terlihat tidak tertarik," ucapnya seperti mengetahui apa yang kupikirkan. Dia menghetikanku hanya karena alasan itu? Sontak, kuhentikan langkahku dan bertanya padanya. "Apa maumu?" ucapku dengan nada yang sedikit kunaikkan. Menaikkan suaraku dihadapan seorang Ardan yang berandalan ini? Wah, aku tidak pernah menyangka aku seberani ini.
Di luar dugaan, Ardan tersenyum. "Bantu aku mencari tau alasan sebenarnya kematian Raka," ujarnya sambil memberikan secarik kertas berisikan ... entahlah semacam kode? Aku hanya terdiam melihat kertas yang diulurkan olehnya. "Untuk apa ia ingin mengetahui penyebab kematian sebenarnya? Bukankah kematian Raka sudah dianggap sebagai kasus bunuh diri?" Adalah hal yang terus kupikirkan sampai Ardan menarik telapak tanganku dan meletakkan kertas itu di atasnya. "Mohon bantuannya, Bening Syaira." Hah? Dari mana dia tau namaku? "Badge namamu terlihat," ujarnya sambil berjalan meninggalkanku. Aku tidak percaya dia sepandai itu membaca raut wajah orang lain. "Kenapa dari sekian banyak orang harus dia yang berurusan denganku?" ucapku mengasihani diri sendiri.
"Ice Cream, 58, BS-EB-O"
Pesan yang tertulis di secarik kertas yang diberikan oleh Ardan padaku. Ice Cream? 58? BS-EB-O? Aku tidak dapat menemukan korelasi antara ketiga hal tersebut. Pikiranku terus berkutat dengan pesan yang ada di atas meja belajarku sampai ponselku bergetar.
"Dapat pencerahan?" Pesan masuk dari Ardan  yang kutemukan cukup menyebalkan. Ajaib sekali, dari mana dia mendapat kontakku?Â
"Kau yang teman kecilnya bahkan menemukan kesulitan— " ketika hendak membalas pesannya, ponselku berdering. Panggilan masuk dari Ardan.
"Halo." Pembukaan yang sangat normal untuk sebuah percakapan melalui ponsel dengan suara tenangnya yang harus kuakui menyenangkan untuk didengar. "Dapat pencerahan?" Seperti mengulangi pesan yang ia kirim, Ardan kembali menanyakan hal tersebut. Kutarik kembali pernyataanku tentang suaranya yang menyenangkan untuk didengar. Aku mendecak. "Pertama, dari mana kau mendapat kontakku? Kedua, untuk apa kau ingin mencari tau penyebab sebenarnya kematian Raka? Ketiga, kau pasti mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh orang lain, kan? Keempat, jika kau telah mengetahui sesuatu, mengapa kau masih membutuhkanku? Terakhir, bagaimana mungkin aku tau apa arti pesan itu disaat aku tidak memiliki hubungan apapun dengan Raka?" Wah, tidak dapat kupercaya. Kulontarkan semua pertanyaan itu hanya karena kesal dengan nadanya yang terdengar meledek? Nasi sudah menjadi bubur, setidaknya Ardan tidak dapat memukulku lewat ponsel.
Setelah keheningan beberapa saat, suara Ardan kembali terdengar. "Pertama, dari Jauhara, kau pikir dari mana lagi aku bisa mendapat kontakmu? Kedua, aku merasa bersalah pada Raka dan ingin mengakhiri ini semua. Ketiga dan keempat, aku teman dekat Raka sejak kecil, sudah pasti keluarganya mengenalku, karena itu aku tau isi pesan yang ditinggalkan Raka. Aku membutuhkanmu untuk mengonfirmasi sesuatu. Kau pikir bagaimana reaksi orang-orang ketika mengetahui bahwa aku mencari mereka? Kelima dan terakhir ...."