"Ardan!" panggilku mendesak. "Aku memiliki pengakuan keempat dan terakhir. Kau akan mengetahui jawaban dari setiap pertanyaan yang ada di pikiranmu," ujar Ardan. Ada sesuatu yang tercampur dengan suara tenangnya ... kuharap aku salah mendengarnya. "Datanglah ke alamat yang kukirimkan." Ardan menutup panggilan itu. Semenit kemudian ponselku bergetar. Pesan masuk dari Ardan. "Jalan Wilanw Nomor 58." Satu jam perjalanan dari tempat tinggalku. Kulirik jam dinding di kamarku. Jam 3.45 sore. Kusambar jaket, dan dompetku. Tidak lupa berpamitan pada ibu dengan alibi Jauhara mengajak bertemu. Tepat jam 4.45 aku sampai di tempat itu. Wilanw adalah tempat yang ramai dan hidup, tidak pernah kuduga akan menemukan rumah kosong yang berantakan di wilayah ini. Merasa ragu memasuki rumah ini, aku terdiam di depan pintu masuk. Kriet ... Ardan membuka pintu berkarat itu dari dalam.
Ardan tersenyum. Tanpa menunggu respon dariku, ia menarik lenganku dan masuk ke dalam rumah. Gelap dan dingin. Pencahayaan hanya berasal dari cahaya matahari yang menyusup melalui lubang-lubang kecil pada dinding rumah. Ardan membawaku masuk ke sebuah ruangan kecil yang terletak di bagian belakang rumah. "Ardan!" ada yang aneh, kenapa Ardan bisa tau seluk beluk rumah yang gelap ini? Di tengah ketakutan dan kebingunganku, Ardan mendorongku masuk. "Bening, waktuku tidak banyak," ujarnya sambil melepas genggaman di lenganku. Ardan merogoh kantong jaketnya. Dia mengeluarkan kertas yang kuasumsikan sebagai pengakuan terakhir dan meletakkannya di atas telapak tanganku. "Ardan, apa maksudmu?" tanyaku terburu-buru. Tidak mungkin pembunuh itu ada di sini kan? Ardan tidak mungkin memilih tempat ini jika tau ada pembunuh itu. Ardan kembali tersenyum, Ia mengeluarkan benda lain dari kantong jaketnya. "Tentu saja waktunya tidak banyak. Aku akan membunuhnya setelah membunuhmu."
Ardan mengayunkan cutter di tangannya ke arahku. Gerakannya sangat cepat, seperti sudah terbiasa. Dengan ajaibnya, serangan itu hanya mengenai pipiku. "Hah ... anak ini memohon padaku agar tidak membunuhmu," Aku tidak salah dengar, Ardan mengatakannya dengan nada yang sama saat melakukan panggilan denganku, ada kegembiraan di sana. Takut, hanya itu yang kurasakan. Kuletakan pengakuan terakhir dalam kantong jaketku. Ardan menarik lenganku sesaat sebelum jariku menyentuh knop pintu. "Ambisiku adalah membunuh semua anak yang telah kuculik. Termasuk kau." Mimpi buruk yang berhasil kutimbun kembali muncul ke permukaan. Melihat reaksiku yang terdiam, Ardan kembali tersenyum. "Selamat tinggal, Bening Syaira." Satu cm sebelum logam dingin itu menyayat leherku, Ardan berhenti. "Sudah kubilang untuk tidak menyentuhnya, kan?"
Suara tenang yang belakangan ini menghilang, kini kembali. Darah menetes dari telapak tangan kiri Ardan. "Kau pernah bertanya alasan kenapa aku mencari kebenaran di balik kematian Raka, kan?" Aku hanya mengangguk. Ardan tersenyum. "Aku ingin setidaknya ada satu orang yang memberiku keberanian untuk menghentikan perbuatannya." Ardan mengarahkan cutter itu ke lehernya. "Ardan, apa yang kau lakukan?" Bukan, itu bukan suaraku. "Aku hanya membantu ambisimu." Logam dingin itu menembus leher Ardan. Mengoyak urat dan daging di dalamnya. Seperti tidak cukup, Ardan menggerakkan logam itu hingga menembus tengkuknya.
Darah bermuncratan. Bau anyir dan nafas Ardan yang tersengal adalah apa yang memenuhi ruangan saat ini. Di sela kesadaranku yang menipis, samar-samar kudengar Ardan mengucapkan sesuatu.
Hening. Begitu tersadar, ruangan berwarna merah itu telah berganti putih. Bau anyir telah berganti bau antiseptik. "Ah, aku ada di rumah sakit," pikirku. Tiga hari menetap di rumah sakit, Ibu memberi secarik kertas padaku. "Ini ditemukan di kantong jaketmu," ujarnya sambil menyalakan televisi. "Pelaku pembunuhan empat orang siswa SMA Harapan diketahui meninggal bunuh diri di rumah kosong tempat Toni melakukan aksinya puluhan tahun lalu. Ardan Praditya, mengidap multiple personality disorder sejak menjadi korban penculikan Toni di masa lalu. Kepribadian Toni di dalam—" Tangis yang kutahan selama tiga hari itu pecah dalam sekejap. Jika memang ambisi adalah penyebabnya, mengapa harus meminjam identitas Toni? Pertanyaan yang selama ini berputar di pikiranku akhirnya terjawab. "Terima kasih, Bening." Ardan mengucapkan hal itu sebelum pergi bersama Toni.
1 Agustus. Dia muncul kembali. "Yang kuingin adalah membunuh semua yang telah kutangkap." Itulah pesan yang kukirimkan pada Raka Aldebaran.
2 Agustus. Raka mendatangiku saat istirahat pertama. "Ardan, apa maksudnya?" tanya Raka sambil memperlihatkan isi pesan itu padaku. Raka adalah orang pertama yang mengetahui keberadaan Toni. "Maaf Raka, menjauhlah dariku."
3 Agustus. "Kudengar 5 Agustus adalah ulang tahunmu? Aku akan mengirimkan hadiah yang tidak akan bisa kaulupakan." Bunyi pesan terakhir yang kukirimkan pada Raka.
5 Agustus. "Menyerah saja, aku akan membunuhmu, Biru, Emily, Orion, dan Bening. Raka hanya permulaan," ujarnya sambil membuka kamar Raka. "Sedekat apa hubunganmu dengan Raka sampai dia memberi kunci kamarnya padamu? Kurasa penculikan waktu itu membawa berkah untukmu. Di mana lagi kau dapat menemukan teman seperti Raka?" celotehnya sambil memeriksa isi kamar Raka. "Haruskah kita mulai, Ardan?"
Pesan dan luka itu, aku yang membuatnya, ice cream, 58, BS-EB-O. I scream, tiga belas huruf, BS-EB-O adalah kode yang mengindikasikan namaku, Ardan. Luka itu aku tinggalkan sebagai keterangan tambahan apabila pesanku salah diartikan. 'P' dari namaku, Praditya. Aku melakukannya dengan harapan akan ada seseorang yang menghentikanku atau paling tidak, memberiku keberanian untuk menghentikannya sendiri. Toni bukan kepribadian yang dapat dikontrol, tidak ada jaminan ia akan berhenti setelah membunuh kami berlima. Saat itulah aku bertemu denganmu, anak terakhir yang pernah diculik Toni. Maaf karena telah membangkitkan mimpi burukmu.  Bening Syaira.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H