Apa? Kenapa tidak dilanjutkan? Aku yakin Ardan masih tersambung denganku karena deru nafasnya masih terdengar.
"Baiklah, kau bilang aku diperlukan untuk mengonfirmasi sesuatu, kan? Apa yang kau maksud?" ucapku memutus keheningan yang canggung itu. "Seperti yang kubilang sebelumnya, aku teman dekatnya, keluarganya mengizinkanku melihat semuanya, isi pesan itu, dan ...." Suara Ardan semakin mengecil, terbesit satu kemungkinan di benakku yang tanpa sadar telah kuucapkan. " ... mayatnya?"
" ... Kau tau kasus penculikan dan pembunuhan anak yang dilakukan oleh Toni? Aku menyadari ada luka yang mirip saat melihat pergelangan tangan Raka," jawab Ardan setelah terdiam beberapa saat.
"Ardan ... Toni dinyatakan meninggal 10 tahun yang lalu."
"Dia dinyatakan meninggal hanya karena telah menghilang selama lebih dari 5 tahun, tidak ada yang tau secara pasti dimana keberadaannya sampai sekarang."
"Jadi maksudmu, Toni kembali dan membunuh Raka?" Aku menghela nafas. Tidak kusangka kematian seorang Raka Aldebaran akan menjadi serumit ini.
"... Kenapa Raka Aldebaran?" Hening. Ardan tidak menjawab.
"Ardan?"
"Toni pernah menangkap 6 orang anak, Raka Aldebaran, Ardan Praditya, Biru Samudera, Emily Berliana, Orion, dan ...." Aku tidak dapat mendengar nama anak terakhir.
"Tunggu, Biru Samudera, Emily Berliana, dan Orion yang kau bicarakan ini—"
"Wakil kapten ekstrakulikuler basket, kapten cheerleader, dan pemenang medali emas olimpiade kimia." Tidak dapat menemukan kesimpulan dari apa yang diceritakan Ardan, aku memilih diam.
"Kami diculik pada tanggal 5 Agustus, bertepatan dengan kematian Raka pada tahun ini, BS-EB-O terasa familiar?" Aku tercengang, apa maksud Ardan?
"Ardan, sebagai sesama korban, apa yang membuatmu berpikir salah satu diantara mereka adalah pelakunya?"
"Ambisi, trauma, kecemburuan, ada banyak hal yang dapat menggerakkan manusia." Ada sebersit kesedihan dalam suara Ardan ketika mengatakan kalimat itu.
"Akan aku ceritakan lebih lanjut di sekolah," sambung Ardan bersiap menutup panggilan.
"Ardan."
Jika memang ambisi adalah penyebabnya, mengapa harus meminjam identitas Toni?
"Jangan mendatangiku saat istirahat, temui aku setelah sekolah usai. Besok adalah jadwal latihan ekstrakulikuler basket dan cheerleader." Kuakhiri panggilan dengan Ardan malam itu.
"Yo." Entah karena berandal atau tepat waktu, Ardan menunggu di ambang pintu kelasku semenit setelah bel pulang berbunyi. "Siapa yang harus kutemui lebih dulu?" tanyaku sambil berjalan melewatinya. "Biru Samudera, 'anak emas' tim basket sampai ketua terdahulu merekrut Raka. Bukan hal yang aneh jika Biru ingin—"
"Ardan, luka pada pergelangan tangan Raka bisa saja disebabkan saat ia terjatuh," ucapku memotong perkataan Ardan. "Ah, kurasa aku belum mengatakannya padamu"-Ardan menghentikan langkahnya-"Raka terjatuh di lapangan basket halaman belakang rumahnya."
"Jika memang ambisi adalah penyebabnya, mengapa harus meminjam identitas Toni?" Pertanyaan yang terus berputar di otakku tanpa dapat kukatakan. Berkutat dengan pikiranku sendiri, tanpa sadar kami telah sampai di lapangan sekolah. "Do your job," ujarnya sambil tersenyum. Aku harus menemukan Biru diantara anak-anak tim basket ini? Di luar dugaan, ternyata tidak sulit menemukan keberadaan Biru. "Biru Samudera, boleh bicara sebentar?" ucapku dengan nada yang kubuat setenang mungkin. Dia hanya menoleh dan mengabaikanku. Haruskah kukatakan? "Biru, kau kenal Toni, kan?" ujarku ragu-ragu. Tanpa sepengetahuanku, Biru berbalik. "Bagaimana kau ... Ardan." Ardan? Entah sejak kapan Ardan telah berdiri di belakangku.
Aku hanya umpan agar dia bisa menginterogasi mereka sendirian. Lima belas menit berlalu hingga akhirnya Biru meninggalkan Ardan. Ardan berjalan ke arahku membawa hasil yang telah ia tulis di note. "Sudah?" Ardan tidak menjawab. Ia merobek kertas dari notenya dan memberikannya padaku. Suara seseorang menghentikan niatku membaca kertas tersebut. "Ardan!" Biru kembali dengan sosok lain di belakangnya. Emily Berliana.
"Emily pernah ditolak oleh Raka," ujar Ardan singkat sebelum berjalan meninggalkanku.
4 Agustus. Wajahnya pucat, dan pikirannya tidak fokus. Khawatir, aku memilih menyudahi latihan hari ini dan mengantar Raka pulang. Setelah beristirahat, Raka mendiskusikan perihal lomba yang akan datang denganku. "Urus lomba kali ini dengan baik, Biru," ujarnya seakan ia tidak dapat hadir pada lomba kali ini. Apa yang terjadi? Pikiranku semakin kalut ketika tidak sengaja melihat saputangan perempuan dengan bercak darah di dalam tas Raka. "Raka, apa maksud—" pertanyaanku terpotong bunyi bel. Raka bangkit berdiri. "Ada tugas kimia yang harus kuselesaikan dengan Orion." Menyerah, aku pulang dengan pikiran yang masih bingung.
Kulipat kertas tersebut setelah selesai membaca isinya. "Saputangan perempuan," ucapku sambil memperhatikan Ardan dan Emily.
Butuh waktu dua puluh menit hingga akhirnya Emily meninggalkan Ardan. Mengulangi aksi yang sama, Ardan merobek kertas dari notenya dan kembali memberikannya padaku. "Kita hanya perlu menemui ... bingo," ucap Ardan. Mengikuti arah pandangnya, kulihat Jauhara sedang berbicara dengan Orion di gerbang depan."Hara!!" Aduh mulutku, kenapa harus teriak sih?