Mohon tunggu...
david julianto
david julianto Mohon Tunggu... Sejarawan - Penulis/Jurnalis Amatir

Proud to be Indonesians, 1998. Sports, Reading, Traveling, i could speak english, but not fluent like english letters students or a 4 years old kid who lived at Birmingham City. Fresh Graduate Student of History Sciences.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jepang: Pasca Perang Dunia I dan Keinginannya ke Hindia Belanda

13 Maret 2021   10:49 Diperbarui: 15 Maret 2021   13:09 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Soekarno dan Masyarakat membawa bendera Jepang, Sampul majalah propaganda Jepang di Indonesia, Djawa Baroe (sumber: nationalgeogprahic.grid.id)

I. Pendahuluan : Macan Asia Pertama

Jepang sebagai bangsa yang tak pernah dijajah bangsa asing, merupakan negara di Asia yang kuat dan dijadikan acuan bangsa yang maju dan modern, tetapi tidak meninggalkan tradisi dan kebudayaannya.

Kemajuan Jepang ditandai dengan kemampuannya bersaing dan sejajar dengan negara-negara Eropa. Bahkan Jepang lah bangsa Asia yang pernah mengalahkan bangsa Eropa (Rusia) dalam perang 1905.

Beritanya segera meluas, termasuk ke wilayah Hindia Belanda, yang dalam beberapa tahun kemudian menginspirasi lahirnya kesadaran kebangsaan Indonesia.[1] Maka tidak heran jika bangsa Jepang dijuluki sebagai Macan Asia pertama.

Perang Dunia I memiliki dampak yang sangat besar, bukan hanya bagi Negara di daratan Eropa sebagai pelaku utama seperti Jerman, Italia, Inggris, Prancis, maupun Amerika, tetapi juga beberapa wilayah di Asia, hal ini juga memberikan dampak yang besar bagi Jepang, mengingat Jepang bergabung dengan kelompok Sekutu dalam Perang Dunia I.[2] Segala perbaikan infrastruktur, Industri, dan kekuatan militer terus dilakukan.

Karena itu, untuk memenuhi kebutuhan tersebut, banyak negara – negara yang mulai melakukan perdagangan dengan wilayah lain untuk memenuhi kebutuhan, seperti Minyak, Batubara, dan Karet, Jepang adalah salah satu negara yang mebutuhkan SDA tersebut. Sebagian daerah Asia Tenggara (Yang berada di Selatan Jepang.

Semenjak Wilayah Utara adalah Russia, Barat China, dan Timur adalah Laut Pasifik)) dinilai memiliki SDA yang dibutuhkan dan menjadi destinasi utama bagi Jepang untuk melakukan perdagangan maupun niat untuk ekspansi, dan salah satu wilayah yang termasuk pada waktu itu adalah Hindia Belanda, yang sedang berada di bawah pemerintahan kolonial Belanda. 

Keinginan Jepang untuk mengekspansi wilayah Selatan[3] sebenarnya sudah ada jauh sebelum Perang Dunia I, lebih tepatnya setelah masa Restorasi Meiji, dan meningkatnya kebutuhan bahan mentah akibat industrialisasi yang dialami Jepang sejak tahun 1870.[4] Tetapi, Teori Ekspansi ke Selatan memang baru gencar didengung-dengungkan setelah masa Perang Dunia I, terutama oleh pihak Angkatan Laut Jepang.

II. Rencana Ke Hindia Belanda

Terdapat berbagai penyebab atas keinginan Jepang untuk bisa menginvasi Hindia Belanda, hal yang paling krusial bagi Jepang adalah keadaan Sumber Daya Alam di tanah mereka sudah sangat tipis, untuk bisa bertahan dalam menjalankan kebutuhan Industri, Infratruktur, serta Militer, berbagai hal dilakukan termasuk rencana untuk menginvasi wilayah Selatan, terdapat beberapa penyebab utama mengapa pada akhirnya terjadi Invasi di wilayah selatan dan akan dijelaskan melalui sub – sub bagian.

II.I Kebutuhan akan Minyak sebagai SDA terpenting

 Minyak dan sumber daya menjadi salah satu masalah besar bagi Jepang, karena hasil minyak mentah dalam negeri mulai berkurang, serta tahun 1915-1916 sebagai puncak penghasilan maksimumnya.[5] Hal ini mengakibatkan perlunya mendatangkan minyak dari luar Jepang, karena Jepang menyadari bahwa minyak adalah sumber daya utama baik untuk militer, industri, dan lain-lain. Serta situasi kondisi dunia saat itu, di mana minyak dinyatakan sangat penting secara global sejak Perang Dunia I berlangsung.[6]

Hal yang dilakukan Jepang untuk mendapatkan minyak adalah menetapkan kebijaksanaan pengimporan minyak dari luar negeri tahun 1916, dan mengadakan perjanjian dengan perusahaan minyak Inggris Anglo Petroleum tahun 1917, dan mulailah Jepang mengimpor minyak dari Tarakan di Borneo (Kalimantan).[7] Pada tahun 1918, satu tahun setelah pengimporan minyak dari Tarakan, juga untuk merespon situasi global serta melihat pentingnya penggunaan minyak bagi Jepang di masa depan.

II.II Konflik Antara Angkatan Darat dan Angkatan Laut.

Terjadinya Konflik antara Angkatan Laut dan darat Jepang lebih disebabkan karena masalah persaingan di antara keduanya. Pada saat teori Ekspansi ke Selatan mulai didengung-dengungkan oleh Angkatan Laut, Angkatan Darat Jepang sudah menduduki daerah Manchuria dan sedang berusaha menduduki Tiongkok.

Perasaan tersaingi ini terwujud dalam perbedaan pandangan antara perluasan daerah yang seharusnya dilakukan oleh Jepang. Angkatan Darat menganggap bahwa untuk memenuhi kebutuhan dan menyelesaikan permasalahan yang ada di Jepang, maka harus melakukan ekspansi ke Utara. Berbeda dengan Angktan Laut yang menganjurkan untuk melakukan ekspansi ke Selatan.

Untuk memuluskan rencana invasinya, maka Jepang menggunakan jejaring intelijennya yang luas di Hindia Belanda untuk melakukan penelitian, jaringan ini telah dibangunnya sejak akhir dasawarsa 1920-an. Dinas intelijen Jepang terutama memakai kedok perdagangan bagi aktivitas subversif mereka. Sebagai contoh, seorang wakil konsul Jepang bernama Takagi Naojiro berpura-pura menjadi pengusaha kentang di Surabaya guna menutup-nutupi kegiatannya untuk mengimpor senjata ilegal bagi kaum nasionalis Indonesia maupun kegiatan gelap lainnya.[8] Hal itu juga didukung oleh, Meta Sekar Puji Astuti, dalam tulisannnya yang berjudul Apakah Mereka Mata-mata? Orang-orang Jepang di Indonesia 1868-1942, “Mereka datang bukan untuk berdagang, tetapi bekerja untuk pemerintah pendudukan,” kata Meta

Hasil penelitian dan kunjungan yang dilakukan oleh personil angkatan darat dan laut memainkan peran penting di sini. Pandangan akan potensi setiap wilayah menyebabkan Jepang dapat memanfaatkan sumber daya yang ada secara optimal. Sebagai Contoh, Pulau Jawa dianggap sebagai sebagai daerah yang paling maju politiknya, namun secara ekonomi kurang penting. Oleh karena itu, sumber daya utamanya adalah manusia.[9] Tentu daerah di luar Jawa juga memiliki peran penting, yaitu potensi sumber daya alam yang dibutuhkan Jepang.

Pemahaman akan daerah jajahan sudah mulai dirumuskan sebelum kedatangan Jepang di Hindia Belanda (Maret 1942). Seperti wilayah Tarakan, Kalimantan, dan wilayah Palembang, Sumatera yang sudah dipetakan oleh Jepang untuk diambil sumber minyaknya.[10] Oleh karena itu, pemahaman ini berdampak pada kegiatan politik yang terpusat di Jawa, dan pemanfaatan sumber daya alam di luar Jawa. Perlu juga dicatat, bahwa perkembangan organisasi Jepang di Jawa sudah berkembang pesat sejak tahun 1930-an.[11] 

III. Penutup : Saudara tua dan Sang Pembebas, dari Negeri Matahari Terbit

Wilayah pertama Hindia Belanda yang jatuh ke tangan Jepang adalah Kepulauan Tambelan di Selat Karimata. Dikuasainya kepulauan ini pada tanggal 27 Desember 1941 menyebabkan Jepang dapat menguasai perairan antara Kalimantan, Malaya, dan Sumatra. Setelah sasaran awalnya di Kalimantan jajahan Inggris, Malaya, dan Filipina berhasil direbut, para ahli strategi Jepang memutuskan melancarkan sebuah serangan bercabang tiga ke selatan guna merebut ladang-ladang minyak di Hindia Belanda.Apabila berhasil, rencana ini juga akan memutuskan garis komunikasi dari Australia ke Filipina dan Singapura sehingga pasukan Sekutu di wilayah itu dapat dikucilkan dan dihancurkan. Seluruh operasi itu mengarah ke sasaran akhir: Jawa yang berhasil dikuasai pada bulan Maret 1942, yang artinya hanya membutuhkan kurang dari 4 bulan untung menguasai Hindia-Belanda, Kemenangan besar militer Jepang atas armada Sekutu di Hindia Belanda memperlihatkan betapa kuatnya armada kekaisaran tersebut

Keadaan masyarakat Hindia-Belanda yang sudah lama berada di bawah kekuasaan Eropa dapat dimanfaatkan dengan baik oleh Jepang. Sebagai sesama bangsa Asia, Jepang memanfaatkan keadaan tersebut dengan menyebut dirinya sebagai penyelamat yang akan membebaskan Bangsa Asia dari penjajahan Bangsa Eropa atau sering kita ketahui sebagai “Saudara Tua”, bersamaan dengan keadaan Belanda di Eropa yang sedang dikuasai oleh Jerman.

Bahkan menurut Ahmad Subarjo (1896-1978) dalam otobiografinya, ia mengatakan begitu banyaknya dukungan sumber literatur yang luas seperti buku tentang hukum hasil karya Snouck Hurgronje, Colenbrander, keputusan-keputusan Volksradd, serta surat kabar yang terbit di Hindia Belanda antara lain Het Nieuws van den Dag; Bataviaasche Nieuwsblad, De Locomotief yang berada di Jepang. Maka sewaktu pasukan Jepang memasuki Jawa, kepala distrik dan subdistrik menjadi heran dihubungi dengan bahasa Melayu yang lancar, dan disebutkan nama mereka secara pribadi.[12]

Momen hadirnya Jepang di Indonesia selama 3,5 tahun, 1942 – 1945, sangatlah singkat jika dibanding dengan Prancis, Inggris, dan Belanda, tetapi momen singkat tersebutlah yang akan selalu diingat bagi masyarakat Republik Indonesia, berhasilnya mengusir Belanda dari Hindia Belanda serta memberikan Kemerdekaan bagi Republik Indonesia pada 1945 adalah momen – momen dimana Penjajahan Jepang akan dikenang.

“…Saya Akan Menikmati Perang; Kematian (Dalam Perang) Adalah Baik, Demikian Kata Orang…” Babad Dipanagara 11:127

Catatan Akhir

[1] Kemdikbud, Hubungan Indoensia dan Jepang Dalam Lintasan Sejarah, Direktorat Sejarah, Jakarta, 2018, Hlm 14.

[2] Perang dunia I (1914-1918) Jepang bersama dengan beberapa negara Barat tergabung dalam kelompok Sekutu melawan kelompok Sentral dengan Jerman sebagai anggota terkuatnya. Perjanjian Versailes mengakui pencaplokan Jepang terhadap jajahan Jerman mencangkup Provinsi Syhantung di Cina, juga kepulauan Marshal, kepulauan Mariana, dan Kepulauan Carolina di Samudra Pasifik. Himawan Soetanto, dkk, Perebutan Wilayah Nanyo, Jakarta: Prenada Media Group, 2010, hlm. 76.

[3] Kata “Setatan” bagi orang Jepang merujuk pada negara-negara Asia yang berada di selatan Jepang, seperti: Filipina, Burma (Thailand), Malaisya, dan Hindia-Belanda (Indonesia).

[4] Hal ini juga dipengaruhi oleh keadaan geografis Jepang yang bergunung, dataran tinggi, dan tersisa hanya kurang lebih 20% wilayah tanahnya yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pertanian serta kebutuhan hidup lainnya. Jepang tidak banyak menghasilkan baku strategis yang sangat diperlukan bagi pembangunan industrinya. Ibid., hlm 61.

[5] Ken’Ichi Goto, Jepang dan Pergerakan Kebangsaan Indonesia, Jakarta, Yayasan Obor, 1998, hlm. 8.

[6] Pernyataan ini dicirikan oleh kalimat “setitik minyak sama dengan setitik darah” yang dipaparkan oleh Perdana Menteri Perancis George Clemenceau dalam meminta bantuan kepada Amerika Serikat saat sedang berperang dengan Jerman dalam Perang Dunia I. Ibid., hlm. 7.

[7] Ibid, Hlm 8.

[8] Nino Oktorino. Runtuhnya Hindia Belanda. Jakarta, PT Elex Media Komputindo, 2013, Hlm 36.

[9] M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta, PT Serambi Ilmu Semesta, 2007, Hlm 406

[10] Untuk wilayah Tarakan, Kalimantan, sumber minyak dieksploitasi oleh Angkatan Laut. Sedangkan untuk wilayah Palembang, Sumatera, minyak dieksploitasi oleh Angkatan Darat. Pembagian wilayah ini didasarkan pada Persetujuan Pusat Pimpinan Angkatan Darat Jepang dan Angkatan Laut Jepang (Rikukaigun Chuo Kyotei), ditentukanlah wilayah “Hindia-Belanda” sebagai berikut: Angkatan Darat Jepang memerintah Jawa dan Sumatera sedangkan daerah lainnya berada di bawah kekuasaan Angkatan Laut Jepang. Ken’Ichi Goto, Op. cit., hlm. 107.

[11] Pada tahun 1941, Angkatan darat Jepang melakukan riset untuk memberdayakan orang-orang Jepang yang ada di Hindia-Belanda, untuk kepentingan ekspansi. Berdasarkan data yang terkumpul, terdapat 51 asosiasi yang didirikan oleh orang Jepang di Hindia-Belanda. Dari 51 asosiasi yang ada, 26 berasal dari wilayah Jawa, 13 dari wilayah Sumatera, 8 dari wilayah Kalimantan, 2 dari wilayah Sulawesi, dan 4 dari wilayah kepulauan timur. Ibid., Hlm 244-245.

[12] Ahmad Subardjo Djojoadisuryo, Kesadaran Nasional Sebuah Otobiografi, Jakart, Penerbit PT Gunung Agung, 1978, Hlm 204-205.

[13] Sebenarnnya masih ada beberapa penyebab Jepang hadir di Hindia Belanda, Seperti terjadinya Embargo minyak dari Amerika dan Inggris, tidak bisa kembali menginvasi wilayah Barat karna sudah dikuasai bangsa Eropa, serta permasalahan pembatasan Angkatan laut yang menurut Jepang tindakan tersebut sangatlah tidak adil antar masing – masing negara.

Referensi

Buku

Ahmad Subardjo Djojoadisuryo, Kesadaran Nasional Sebuah Otobiografi, Jakarta, Penerbit PT Gunung Agung, 1978.

Direktorat Sejarah, Hubungan Indoensia dan Jepang Dalam Lintasan Sejarah, Kemdikbud, Jakarta, 2018.

Direktorat Sejarah, Bibliografi Beranotasi Sumber Sejarah Masa Pendudukan Jepang Di Indonesia, Kemdikbud, Jakarta, 2018.

Himawan Soetanto, dkk, Perebutan Wilayah Nanyo, Jakarta: Prenada Media Group, 2010.

Ken’Ichi Goto, Jepang dan Pergerakan Kebangsaan Indonesia, Jakarta, Yayasan Obor, 1998.

M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta, PT Serambi Ilmu Semesta, 2007

Nino Oktorino. Runtuhnya Hindia Belanda. Jakarta, PT Elex Media Komputindo, 2013, Hlm 36.

Berita

https://historia.id/ekonomi/articles/toko-jepang-sebagai-mata-mata-PRyG9/page/1 

Davit Yuliyanto adalah lulusan dari Ilmu Sejarah Universitas Sanata Dharma

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun