Bahkan menurut Ahmad Subarjo (1896-1978) dalam otobiografinya, ia mengatakan begitu banyaknya dukungan sumber literatur yang luas seperti buku tentang hukum hasil karya Snouck Hurgronje, Colenbrander, keputusan-keputusan Volksradd, serta surat kabar yang terbit di Hindia Belanda antara lain Het Nieuws van den Dag; Bataviaasche Nieuwsblad, De Locomotief yang berada di Jepang. Maka sewaktu pasukan Jepang memasuki Jawa, kepala distrik dan subdistrik menjadi heran dihubungi dengan bahasa Melayu yang lancar, dan disebutkan nama mereka secara pribadi.[12]
Momen hadirnya Jepang di Indonesia selama 3,5 tahun, 1942 – 1945, sangatlah singkat jika dibanding dengan Prancis, Inggris, dan Belanda, tetapi momen singkat tersebutlah yang akan selalu diingat bagi masyarakat Republik Indonesia, berhasilnya mengusir Belanda dari Hindia Belanda serta memberikan Kemerdekaan bagi Republik Indonesia pada 1945 adalah momen – momen dimana Penjajahan Jepang akan dikenang.
“…Saya Akan Menikmati Perang; Kematian (Dalam Perang) Adalah Baik, Demikian Kata Orang…” Babad Dipanagara 11:127
Catatan Akhir
[1] Kemdikbud, Hubungan Indoensia dan Jepang Dalam Lintasan Sejarah, Direktorat Sejarah, Jakarta, 2018, Hlm 14.
[2] Perang dunia I (1914-1918) Jepang bersama dengan beberapa negara Barat tergabung dalam kelompok Sekutu melawan kelompok Sentral dengan Jerman sebagai anggota terkuatnya. Perjanjian Versailes mengakui pencaplokan Jepang terhadap jajahan Jerman mencangkup Provinsi Syhantung di Cina, juga kepulauan Marshal, kepulauan Mariana, dan Kepulauan Carolina di Samudra Pasifik. Himawan Soetanto, dkk, Perebutan Wilayah Nanyo, Jakarta: Prenada Media Group, 2010, hlm. 76.
[3] Kata “Setatan” bagi orang Jepang merujuk pada negara-negara Asia yang berada di selatan Jepang, seperti: Filipina, Burma (Thailand), Malaisya, dan Hindia-Belanda (Indonesia).
[4] Hal ini juga dipengaruhi oleh keadaan geografis Jepang yang bergunung, dataran tinggi, dan tersisa hanya kurang lebih 20% wilayah tanahnya yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pertanian serta kebutuhan hidup lainnya. Jepang tidak banyak menghasilkan baku strategis yang sangat diperlukan bagi pembangunan industrinya. Ibid., hlm 61.
[5] Ken’Ichi Goto, Jepang dan Pergerakan Kebangsaan Indonesia, Jakarta, Yayasan Obor, 1998, hlm. 8.
[6] Pernyataan ini dicirikan oleh kalimat “setitik minyak sama dengan setitik darah” yang dipaparkan oleh Perdana Menteri Perancis George Clemenceau dalam meminta bantuan kepada Amerika Serikat saat sedang berperang dengan Jerman dalam Perang Dunia I. Ibid., hlm. 7.
[7] Ibid, Hlm 8.