Namun hal tersebut tidak berubah secara signifikan, selain itu permintaan HB II untuk mengganti kedudukan Putra Mahkota dari Raden Mas Surojo (HB III) menjadi Mangkudiningrat pun ditolak. Inggris lebih memilih Raden Mas Surojo untuk naik takhta karena ia dinilai lebih ramah dan penurut dibanding ayahnya. Dengan begitu sikap penentangan mulai muncul dan Raffles melihat hal tersebut sebagai ancaman. Hingga pada akhirnya, pada tanggal 20 Juni 1812 dini hari, peristiwi Geger Sepehi terjadi dan berhasil meruntuhkan Kekuasaan Hamengkubuwono II.
Setelah berhasil menguasai Keraton Yogyakarta, setidaknya hampir empat hari lamanya pasukan Inggris menjarah harta benda yang berasal dari Keraton Yogyakarta, mengutip Historia.Id, setidaknya nilai rampasan Inggris hampir 120 juta dollar AS masa kini, nilai yang sangat fantastis untuk tahun 1812.Â
Dari nilai 120 juta dollar AS tersebut terdiri dari berbagai hal seperti Naskah[1], Manuskrip, Serat, Benda budaya seperti Gamelan keris maupun wayang, dan juga uang sebanyak 800.000 Dollar Spanyol[2] dalam bentuk emas dan perak yang diambil untuk membayar tunjangan perwira yang tidak tewas dengan nilai 400.000, dan 400.000 lainnya dikirimkan ke Benggala untuk keluarga prajurit dan perwira. (Peter Carey dalam dialog sejarah "Repatriasi Benda Bersejarah dari Negeri Penjajah" live di saluran Youtube dan Facebook Historia, Rabu 5/8/2020)
Usai peristiwa tersebut, Sultan Hamengkubuwono II diasingkan dari wilayah Yogyakarta menuju kepulauan Penang, dan posisinya digantikan oleh Raden Mas Surojo menjadi HB III 5 hari setelah peristiwa Inggris membumihanguskan Keraton Yogyakarta, sedangkan Raffles melanjutkan perjalanannya ekspedisinya menuju Jawa Timur sesuai janjinya dengan J.C Leyden.
Persepsi terhadap penjajah untuk masa depan Republik Indonesia
Membicarakan persepsi seseorang atau sekelompok orang, sangat dipengaruhi oleh sudut pandang mana orang itu memandang dan menganalisis permasalahan yang dihadapi.Â
Menurut Peter Carey mengutip dari Historia.Id, "Generasi sekarang, khususnya orang Jawa yang menganggap Inggris sebagai bangsa pembebas. Sebelumnya, orang Jawa mendapatkan kekejaman dari Gubernur Jenderal Daendels dan penggantinya Willem Janssens. Penjajahan Inggris kesannya tidak negatif," kata Peter Carey, sejarawan asal Inggris, dalam acara tur sejarah "Jejak Inggris di Jawa 1811-1816," yang diselenggarakan Penerbit Buku Kompas, di Semarang, Senin, 28 Agustus 2017.Â
Maka tidak heran jika ada pandangan bahwa dijajah Inggris lebih lama akan membawa kesemakmuran hidup bagi Republik Indonesia, sayangnya hal tersebut tidak lah sesuai dengan melihat bagaimana tahun ke dua Raffles dan Inggris di Jawa.
Dilain pihak, Anhar Gonggong berpendapat bahwa berkuasanya Inggris pada tahun 1811 -- 1816 di Jawa adalah bentuk penghukuman Inggris kepada Prancis yang diwakili oleh Raffles, ada alasan Raffles untuk melakukan penggunaan kekuatan kekerasan dalam pendudukan -- penghukuman terhadap Kerajaan Jawa - Yogyakarta. Alasan itu diungkapkan sendiri oleh Raffles dalam suratnya kepada atasannya, Lord Minto;
"Sultan (Yogyakarta) jelas menganggap kita sebagai orang yang kurang berkuasa daripada Pemerintah (Napoleon) yang mendahului kita, dan demi ketenangan Negara, kita sangat perlu mengajar dia untuk berpikir sebaliknya. (Tim Hannigan, Raffles dan Invasi Inggris Ke Jawa, Jakarta, Gramedia, 2017, Hlm 184).