Mohon tunggu...
david julianto
david julianto Mohon Tunggu... Sejarawan - Penulis/Jurnalis Amatir

Proud to be Indonesians, 1998. Sports, Reading, Traveling, i could speak english, but not fluent like english letters students or a 4 years old kid who lived at Birmingham City. Fresh Graduate Student of History Sciences.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Persepsi, Kolonialis dan Imperialis, Dijajah Inggris Lebih Baik Ketimbang Belanda?

2 Maret 2021   20:24 Diperbarui: 4 Maret 2021   20:39 1340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stamford Thomas Raffles, Portrait by George Francis Joseph via Wikimedia

Pendahuluan: Perjalanan Rekomendasi Leyden

Beberapa hari yang lalu saya menyempatkan bermain aplikasi Tiktok, media sosial yang saat ini sedang naik daun dengan berbagai fitur dan digemari dari berbagai generasi, sembari melihat konten-konten yang ada, saya tidak menyangka menemukan konten Sejarah yang memuat tentang periode waktu hadirnya bangsa Eropa ke wilayah Indonesia. 

Sembari melihat video tersebut, saya menyempatkan untuk melihat kolom komentarnya, pada saat membuka kolom komentar saya kaget melihat ada pertanyaan yang kurang lebih pertanyaannya seperti ini;

"Duh, kenapa ya dulu Indonesia tidak dijajah oleh Inggris aja yang lama, pastikan negara kita lebih maju, kaya negara lain yang dulu dijajah Inggris juga, apalagi bahasanya juga kita bisa pakai Bahasa Inggris, kaya Singapore"

Ada satu hal yang menjanggal bagi saya saat membaca komentar tersebut, menyimpulkan bahwa dijajah Inggris akan lebih maju ketimbang dijajah negara lain, atau bahasa mudahnya, hidup kita (Republik Indonesia) saat ini akan lebih enak dan modern. Padahal ada berbagai negara yang dijajah oleh Inggris tidak semaju negara Singapura, Australia, atau Selandia Baru.

Mungkin di antara kita yang mengingat bahwa Inggris pernah menjajah wilayah yang kini menjadi Republik Indonesia masih sangatlah sedikit, karna mayoritas masih terpaku bahwa Republik Indonesia dijajah oleh Belanda selama 350 tahun dan Jepang 3 tahun, menurut G.J Resink melalui bukunya yang berjudul Bukan 350 Tahun Dijajah, hal tersebut sangatlah tidak tepat, karna faktanya ada beberapa negara lain yang menjajah Republik Indonesia seperti Prancis, Inggris dan Jepang bahkan hingga pihak swasta yaitu VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) juga sempat hadir yang pada kala itu untuk menjadi mitra dagang dengan kerajaan kerajaan lokal.

Kalau diingat, ingatan tersebut pasti hanyalah samar - samar. Tak ingatnya kita akan periode penjajahan kolonialis imperialis Inggris itu, mungkin karena waktu penjajahan Inggris itu memang sangat singkat; hanya sekitar 5-6 tahun, 1811-1816, atau mungkin guru-guru kita, baik di tingkat SMP maupun SMA hanya menerangkannya secara sangat singkat, karna periode yang tidak sepanjang Belanda, atau semenarik Jepang, padahal periode Inggris di Republik Indonesia lebih lama ketimbang Jepang yang hanya 3 sampai 3,5 tahun dan terdapat dampak yang sangat besar.

Penguasaan Inggris atas wilayah Jawa Nusantara awal abad ke-19, tidaklah dapat dilepaskan dengan situasi yang berkembang di Eropa. Konflik antara Inggris dan Prancis menjadi dua negara kerajaan yang menjadi musuh tak terelakkan. 

Napoleon Bonaparte terus berusaha untuk memperluas dan memperbesar kekuatan-kerajaannya, dan untuk itu, kaisar yang bertubuh pendek ini, bermimpi untuk menjadi yang terkuasa; ia kemudian menganeksasi Kerajaan Belanda dan mengangkat adik laki - lakinya Louis Bonaparte, sebagai raja Belanda. 

Dengan tindakannya itu, maka ia menyimbolkan bahwa Kerajaan Belanda tidak saja hanya sebagai wilayah taklukan Prancis, melainkan sungguh-sungguh merupakan bagian dari Prancis (Tim Hannigan, Raffles dan Invasi Inggris Ke Jawa, Gramedia, Jakarta, 2017, hlm 25)

Demi meredam tindakan Prancis, pimpinan Perusahaan Hindia Timur Inggris tidak mau melihat Prancis mengambil wilayah rempah- rempah (yang pada saat itu dikuasai oleh Belanda) dan terbayangkan harta karun milik raja-raja yang kaya raya itu. Karena itu Komite Rahasia Perusahaan Hindia Timur Inggris memerintahkan untuk mengusir Belanda dari Jawa. 

Untuk itu, pada 31 Agustus 1810 Dewan Perusahaan India Timur Inggris menyurati kepada Lord Minto, Gubernur Jenderal Inggris di India, yang menyatakan persetujuannya mengenai gagasan perlunya mengusir musuh dari pemukiman mereka di pulau Jawa dan dari setiap tempat lain yang mereka tempati di Perairan Timur. 

Musuh yang dimaksud itu tidak lain adalah Prancis -- Napoleon yang telah menduduki Belanda. (Baca Anhar Gonggong, Kolonialis -- Imperialis Raffles -- Inggris VS Belanda -- Prancis Memperebutkan Jawa Nusantara : Sebuah Catatan dalam Rangka 30 Tahun Hamengku Buwono X Sebagai Sultan Gubernur DIY Yogyakarta)

Kalau begitu mengapa para petinggi Perusahaan Inggris pada akhirnya menyepakati gagasan Lord Minto, Gubernur Jenderal di India itu, Vlekke memberikan keterangannya:

"Pemerintah Britania ingin melakukan ekspedisi itu karna alasan strategis, tapi walaupun dapat mengklaim Jawa untuk tahta Britania, ia tidak tertarik menduduki pulau itu secara permanen. Karena itulah serangan itu dirancang sebagai ekspedisi penghukuman untuk mengusir musuh dari semua permukiman mereka, menghancurkan semua benteng mereka, merampas semua gudang senjata dan amunisi, demi pengembalian semua per-mukiman itu ke tangan penduduk asli"

Dengan dukungan yang demikian Lord Minto, Leyden dan Raffles dengan kekuatan yang dapat dikatakan "sangat besar" -- hampir 100 kapal dengan 12000 serdadu, berlayar dari Malaka dan pada 3 Agustus 1811, dia muncul di Batavia (Ibid., 242).  

Sesampainya di Batavia dan dengan kekuatan yang demikian itu, Jansen, Gubernur Jenderal Belanda-Prancis yang menggantikan Daendels, tentu saja tidak dapat mengatur pasukannya untuk menghadapi kekuatan perang Lord Minto -- Inggris yang demikian besar. 

Hingga pada akhirnya pada tanggal 18 September 1811, Jansen menyerah kepada Raffles melalui Perjanjian Tuntang wilayah Kabupaten Semarang (Perjalanan Raffles dan pasukan Inggris dari malaka hingga sampai di Batavia dapat dibaca pada buku Major William Thorn, Memoir of the Conquest of Java, Yogyakarta, Indoleterasi, 2015)

Raffles dan Keraton Yogyakarta

Ilustrasi Pasukan India pada saat geger sepehi 1812 (1st-art-gallery.com)                      
Ilustrasi Pasukan India pada saat geger sepehi 1812 (1st-art-gallery.com)                      

Digantinya Gubernur J.W Jansen (Belanda) oleh Stamford Thomas Raffles (Inggris) memberikan harapan besar bagi Hamengkubuwono II bahwa kebijakan pemerintahan maupun administrasi lebih baik ketimbang peninggalan Daendles maupun J.W Jansen. 

Namun hal tersebut tidak berubah secara signifikan, selain itu permintaan HB II untuk mengganti kedudukan Putra Mahkota dari Raden Mas Surojo (HB III) menjadi Mangkudiningrat pun ditolak. Inggris lebih memilih Raden Mas Surojo untuk naik takhta karena ia dinilai lebih ramah dan penurut dibanding ayahnya. Dengan begitu sikap penentangan mulai muncul dan Raffles melihat hal tersebut sebagai ancaman. Hingga pada akhirnya, pada tanggal 20 Juni 1812 dini hari, peristiwi Geger Sepehi terjadi dan berhasil meruntuhkan Kekuasaan Hamengkubuwono II.

Setelah berhasil menguasai Keraton Yogyakarta, setidaknya hampir empat hari lamanya pasukan Inggris menjarah harta benda yang berasal dari Keraton Yogyakarta, mengutip Historia.Id, setidaknya nilai rampasan Inggris hampir 120 juta dollar AS masa kini, nilai yang sangat fantastis untuk tahun 1812. 

Dari nilai 120 juta dollar AS tersebut terdiri dari berbagai hal seperti Naskah[1], Manuskrip, Serat, Benda budaya seperti Gamelan keris maupun wayang, dan juga uang sebanyak 800.000 Dollar Spanyol[2] dalam bentuk emas dan perak yang diambil untuk membayar tunjangan perwira yang tidak tewas dengan nilai 400.000, dan 400.000 lainnya dikirimkan ke Benggala untuk keluarga prajurit dan perwira. (Peter Carey dalam dialog sejarah "Repatriasi Benda Bersejarah dari Negeri Penjajah" live di saluran Youtube dan Facebook Historia, Rabu 5/8/2020)

Usai peristiwa tersebut, Sultan Hamengkubuwono II diasingkan dari wilayah Yogyakarta menuju kepulauan Penang, dan posisinya digantikan oleh Raden Mas Surojo menjadi HB III 5 hari setelah peristiwa Inggris membumihanguskan Keraton Yogyakarta, sedangkan Raffles melanjutkan perjalanannya ekspedisinya menuju Jawa Timur sesuai janjinya dengan J.C Leyden.

Persepsi terhadap penjajah untuk masa depan Republik Indonesia

Prasasti Sangguran atau Minto Stone di pekarangan kediaman Lord Minto yang
Prasasti Sangguran atau Minto Stone di pekarangan kediaman Lord Minto yang "dikoleksi" oleh Raffles saat mengunjugi wilayah Jawa Timur (Foto: Dok. Presentasi Peter Carey dalam siaran langsung, "Repatriasi Benda Bersejarah dari Negeri Penjajah" live di saluran Youtube dan Facebook Historia, Rabu 5/8/2020)

Membicarakan persepsi seseorang atau sekelompok orang, sangat dipengaruhi oleh sudut pandang mana orang itu memandang dan menganalisis permasalahan yang dihadapi. 

Menurut Peter Carey mengutip dari Historia.Id, "Generasi sekarang, khususnya orang Jawa yang menganggap Inggris sebagai bangsa pembebas. Sebelumnya, orang Jawa mendapatkan kekejaman dari Gubernur Jenderal Daendels dan penggantinya Willem Janssens. Penjajahan Inggris kesannya tidak negatif," kata Peter Carey, sejarawan asal Inggris, dalam acara tur sejarah "Jejak Inggris di Jawa 1811-1816," yang diselenggarakan Penerbit Buku Kompas, di Semarang, Senin, 28 Agustus 2017. 

Maka tidak heran jika ada pandangan bahwa dijajah Inggris lebih lama akan membawa kesemakmuran hidup bagi Republik Indonesia, sayangnya hal tersebut tidak lah sesuai dengan melihat bagaimana tahun ke dua Raffles dan Inggris di Jawa.

Dilain pihak, Anhar Gonggong berpendapat bahwa berkuasanya Inggris pada tahun 1811 -- 1816 di Jawa adalah bentuk penghukuman Inggris kepada Prancis yang diwakili oleh Raffles, ada alasan Raffles untuk melakukan penggunaan kekuatan kekerasan dalam pendudukan -- penghukuman terhadap Kerajaan Jawa - Yogyakarta. Alasan itu diungkapkan sendiri oleh Raffles dalam suratnya kepada atasannya, Lord Minto;

"Sultan (Yogyakarta) jelas menganggap kita sebagai orang yang kurang berkuasa daripada Pemerintah (Napoleon) yang mendahului kita, dan demi ketenangan Negara, kita sangat perlu mengajar dia untuk berpikir sebaliknya. (Tim Hannigan, Raffles dan Invasi Inggris Ke Jawa, Jakarta, Gramedia, 2017, Hlm 184).

Dengan alasan: "mengajar dia untuk berpikir sebaliknya itu" dalam arti untuk menunjukkan bahwa Raffles-Inggris lebih berkuasa daripada Belanda-Prancis (Napoleon) yang lebih dahulu menguasai Jawa- Yogyakarta, maka Raffles-Inggris menghukum Belanda-Prancis-Sultan Yogyakarta dengan kekerasan. 

Dan tindakan kekerasan penghukuman yang dilakukan oleh pasukan Raffles-Inggris itu telah berhasil, karena memang pasukan-pasukan Inggris memporak-porandakan kekuatan pasukan Belanda-Prancis dan Kesultanan Jawa-Yogyakarta. (Baca Anhar Gonggong, Kolonialis -- Imperialis Raffles -- Inggris VS Belanda -- Prancis Memperebutkan Jawa Nusantara : Sebuah Catatan dalam Rangka 30 Tahun Hamengku Buwono X Sebagai Sultan Gubernur DIY Yogyakarta)

Sejatinya, kita tidak bisa memberikan perbandingan baik atau buruknya dijajah antara Negara A dan Negara B, dijajah Belanda juga tidak selalu buruk, karna pada saat itu tetap adanya hubungan antara pemerintahan Belanda dengan raja-raja lokal, pembangunan jalan raya pos Anyer sampai Panarukan yang panjangnya 1000 sekitar kilometer, atau hadirnya penulis terkenal Multatuli dengan bukunya Max Havelaar, atau pada saat Jepang sebagai negara yang akhirnya memberikan kemerdekaan bagi Indonesia, meskipun juga banyak tindakan yang tidak mengenakan dari Jepang kepada Indonesia.

Referensi
Bernard H.M. Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2018, hal. 238

G.J Resink, Bukan 350 Tahun Dijajah, Depok, Komunitas Bambu, 2013.

Major William Thorn, Memoir of the Conquest of Java, Yogyakarta, Indoleterasi, 2015.

Peter Carey, Inggris di Jawa 1811-1816, Jakarta, Kompas, 2017.

Proceeding International Symposium On Javanese Studies and Manuscript of Keraton Yogyakarta.

Tim Hannigan, Raffles dan Invasi Inggris Ke Jawa, Jakarta, Gramedia, 2017.

Penulis
Davit Yuliyanto adalah lulusan Ilmu Sejarah Universitas Sanata Dharma

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun