Mohon tunggu...
David F Silalahi
David F Silalahi Mohon Tunggu... Ilmuwan - ..seorang pembelajar yang haus ilmu..

..berbagi ide dan gagasan melalui tulisan... yuk nulis yuk.. ..yakinlah minimal ada satu orang yang mendapat manfaat dengan membaca tulisan kita..

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kata Siapa Penerima Beasiswa Harus "Bungkam" dan Tidak Boleh Kritik Pemerintah?

13 Agustus 2020   06:54 Diperbarui: 13 Agustus 2020   19:18 3103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sederhananya permasalahan tagihan LPDP pada VKL

Diskursus kasus tagihan kembali beasiswa LPDP yang diterima VKL terjadi pada milis LPDP, ada yang mampu memahami dengan jernih, namun banyak pula yang tampaknya bingung memahami. Narasi yang dibangun dipahami berbeda, bahwa ada pembungkaman suara keras orang yang mengkritik Pemerintah. 

Ini nampaknya keluar dari esensi permasalahan yang ada. Permasalahan tagihan yang membelit VKL ini memang muncul di media, pada saat dia aktif bersuara dan mengadvokasi permasalahan pelanggaran HAM di Papua yang menjurus pada arah separatisme yang mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Tak ayal muncul pendapat yang menghubung-hubungkan persoalan ini dengan munculnya tagihan LPDP tersebut.

Padahal ini dua hal yang terpisah: Permasalahan pro separatisme adalah masalah pidana. Sedangkan penagihan dana beasiswa adalah masalah perdata. Tidak bisa dicampur-adukkan. Penyelesaiannya pun berbeda.

Menanggapi ramainya diskursus di ruang publik, LPDP akhirnya buka suara pada rilis resmi yang terbit 12 Agustus 2020 bahwa VKL usai menyelesaikan studi di Australia, belum menunaikan janjinya untuk kembali dan berkarya di Indonesia. Konsekuensinya harus mengembalikan dana yang dikeluarkan LPDP selama studi. 

LPDP juga menegaskan bahwa kewajiban penerima beasiswa setelah menyelesaikan studi untuk kembali ke Indonesia serta berkontribusi di Indonesia ini berlaku untuk seluruh penerima beasiswa.

Pun ini sudah ditandatangani oleh penerima beasiswa pada surat pernyataan yang menjadi kesepakatan para pihak.

Ibaratnya ini kan semacam kontrak dua pihak, antara LPDP dan penerima beasiswa. Perjanjian dua belah pihak bahkan lebih tinggi dari regulasi Pemerintah atau Undang-Undang.

Jika memang (calon) penerima beasiswa berkeberatan dengan syarat-syarat LPDP, tentunya dia berhak tidak menandatangani surat pernyataan tersebut. Tidak pula LPDP pernah memaksa seserorang untuk menjadi penerima beasiswanya. Banyak beasiswa lainnya yang bisa di-apply.

Perlu dipahami bahwa pada saat seseorang memutuskan melamar beasiswa tertentu, lalu terpilih menjadi penerima beasiswa dengan kontrak tertentu, dia sudah mempelajari ketentuan beasiswa tersebut dan konsekuensi yang diterima jika wanprestasi, cidera janji. 

Apakah surat pernyataan penerima beasiswa sebagai kontrak VKL dengan LPDP melanggar HAM?

Jika melanggar, pasti VKL yang mengklaim diri sebagai pengacara HAM tidak akan menandatangani sejak awal.

Apakah VKL sendiri saja yang ditagihkan pengembalian dana beasiswa? Tidak!

LPDP dalam siaran persnya mengatakan ada 4 orang lainnya dalam proses penagihan. 60 orang dalam kategori peringatan, 51 lainnya dalam proses penerbitan sangsi. Jadi ini hal biasa saja. 

Lagi pula VKL sudah mengakui hutangya, buktinya dari total tagihan Rp. 773,8 juta pun VKL sudah mulai membayar sebesar Rp. 64,5 juta pada April 2020 sebagai cicilan awal. 

Jika merasa tidak bersalah, tidak ada janji yang diingkari, mengapa kemarin bersedia membayar? Lalu mengapa pula baru sekarang bersuara di media sosial. Berupaya playing victim? Ada agenda apa?

Ini sederhana saja, berani berbuat berani tanggungjawab. Ingkar janji terhadap LPDP, terima konsekuensi pengembalian dana beasiswa. Sederhana kan!

Kata siapa harus bungkam jika dapat beasiswa atau dana dari negara?

Opini yang mengaitkan tagihan LPDP pada VKL adalah upaya pembungkaman pada orang-orang yang bersuara lantang mengkritik Pemerintah jelas-jelas tidak berdasar.

Apakah seseorang yang digaji atau disekolahkan dari uang rakyat tidak boleh mengkritik Pemerintah?

Kebebasan berpendapat dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945, berikut bunyi pasalnya:

Pasal 28E ayat (3) UUD 1945: 

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat“(perubahan kedua UUD 1945). 

Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 : 

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”. 

Jelas kalimat dalam pasal tersebut menjamin kebebasan mengemukakan pendapat warga negara Indonesia, tidak terkecuali mengkritik kebijakan pemerintah. Setiap orang boleh, kok, mengkritik pemerintah. Termasuk penerima beasiswa LPDP, yang sering disebut 'awardee LPDP'.

Apakah ada awardee LPDP lainnya yang mengkritik Pemerintah? Ah, mana mungkin! Demikian dalam pikiran sebagian pembaca. Tidak satu dua orang, banyak awardee LPDP yang mengkritik Pemerintah dan tidak ada yang namanya pembungkaman.

Sebagai contoh, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira, salah satu awardee LPDP, berani dengan lantang mengkritik Pemerintah karena dianggap lambat dalam memutuskan besaran anggaran darurat virus corona, sebagaimana diberitakan oleh laman cnnindonesia pada Maret 2020. 

Juga di waktu lain, Bhima menyoroti program kartu prakerja yang digagas Pemerintah karena sama sekali tak sesuai dengan harapan. Bahkan menantang Adamas Belvara, stafsus Presiden, yang juga awardee LPDP untuk debat publik. Lalu apakah Bhima dibungkam? Silahkan dijawab sendiri.

BHIMA Yudhistira Adhinegara dari INDEF menantang debat Stafsus Presiden Adamas Belva Syah Devara (pikiranrakyat.com)
BHIMA Yudhistira Adhinegara dari INDEF menantang debat Stafsus Presiden Adamas Belva Syah Devara (pikiranrakyat.com)

Atau jika ingin tahu kritik lainnya dari Awardee LPDP, cobalah berkunjung ke www.theconversation.com, atau media publikasi lainnya. Ada banyak publikasi tulisan awardee LPDP, juga penerima beasiswa lainnya, dosen pun ada. Banyak tulisan yang mengkritik Pemerintah secara akademik, bukan opini belaka. 

Yang menarik disana, kritik itu selalu disampaikan dengan berbasis data, analisis akademik, dan dibarengi rekomendasi solusi penyelesaian. Ini suatu cara pendekatan yang bijak.

Pun apa gunanya kita punya wakil rakyat di DPR/DPRD jika mereka tidak boleh mengkritik Pemerintah? Mereka kan digaji dari uang rakyat dalam APBN.

Mengapa pula Fahri Hamzah dan Fadli Zon, yang sebelumnya rajin mengkritik Pemerintah sedemikian keras, malahan mendapatkan penghargaan Bintang Mahaputera Nararya? Mengapa mereka tidak dibungkam saja seperti zaman orde baru?

Jadi bisa dikatakan, pun saat ini Pemerintah tidak anti-kritik. Namun perlu diingat kritik dalam upaya makar yang membahayakan keutuhan NKRI ada konsekuensi pidana. Tidak hanya di Indonesia, di negara manapun, upaya makar itu dilarang akan ditindak tegas bagi pelanggarnya.

Pemerintah Indonesia masih terus berbenah, ada saja kekurangan disana sini. Ayolah kita bantu dengan kritik yang beretika dan membangun. 

Kritik Pemerintah sekeras-kerasnya, namun bantulah pula sekuat-kuatnyaSetuju?

Tulisan ini dibuat bukan untuk membela LPDP atau menyudutkan VKL. Sekedar berbagi pikiran atas diskursus yang terjadi. Salam! 

Referensi: 1, 2, 3, 4 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun