"Coba dipikirkan, sama-sama cari makan kan lebih enak jika saling menerima. Kasihan tuh tukang soto datang langsung dari Madura untuk mencari makan di sini. Kenyataannya dagangan Bapak dan 2 temannya  selalu habis pk. 11.00 siang. Lah tukang soto baru habis pk. 13.30 dan tukang mie ayam baru habis saat Maghrib."
Saya lanjutkan,
"Gak usah main ilmu hitam buat jungkir balikin gerobak temannya. Kasihan mangkoknya pecah semua. Lagian kalau pakai dukun gitu berarti mengabdi setan. Lah buat apa rajin beribadah?"
Pedagang itu hanya menunduk dengan raut muka terkejut. Saat saya ceritakan ke adik, dia terkejut, "Kakak bilang gitu? Ngeri ah ntar disantet lagi."
"Lah kamu kok gak yakin kalau manusia kedudukannya lebih tinggi dari mahluk-mahluk lain?" jawab saya.
Semenjak kejadian tersebut situasi sudah kondusif, tukang mie ayam dan tukang soto selalu menolak uang saya tiap kali membeli di tempat mereka. Jadi selalu ada drama dorong-dorongan uang karena saya tetap membayar pembelian.
Tak lama setelah itu kehadiran Covid-19 diumumkan Pemerintah disusul dengan kebijakan PSBB. Pembeli surut dari kulineran di portal, saya mendatangi tukang soto dan menanyakan kabarnya, dia membanting topinya seraya mengeluhkan,
"PSBB...PSBB."
Saya segera membawakan beras kemasan 5 kg, "Nih pakai saja biar tak perlu beli beras."
Dia kaget dan terharu, mungkin tidak menyangka. Dari 5 pedagang kuliner portal hanya dia yang tidak menerima bansos dari Pemerintah karena warga perantauan. Ada 3 kali saya memberikan beras setelah menanyakan padanya, "Beras dah habis."
Ketika kali ke 3 pemberian, dia mengatakan, "Kak, saya harus bayar beras ini."