DAN separuh jiwa itu mengembara...
Di kursi pesakitan, raga makhluk itu ada. Separuh jiwanya ada di situ. Separuh jiwanya, terbakar amarah, pergi meninggalkan badan.
Dia melangkah menjauhi gedung berlangit- langit tinggi dengan pilar- pilar besar berukir itu. Tapak kakinya kadang menyentuh tanah, kadang melayang, tak menjejak bumi.
Makhluk itu kini bingung. Dia antara ada dan tiada. Dan sungguh tak tahu, dia ini tergolong pada jenis makhluk apa sebenarnya? Dan juga.. filsufkah dia.. atau, badut ?
Selama ini keangkuhannya membuat dia percaya bahwa derajatnya lebih tinggi dari semua makhluk di dunia. Dia bicara dengan bahasa yang dipikirnya akan bisa menunjukkan itu. Dia biasa berkata- kata dengan dagu yang terangkat tinggi dan kepongahan luar biasa. Dan kini tiba- tiba dia terbanting. Dibanting, tepatnya. Begitu saja.
Dia pecah. Retak.
Dia adalah jiwa yang retak. Yang melayang tak berjejak. Tak kuasa terbang menjangkau awan tapi tak pula hendak menjejak bumi.
Melangkah tak tentu arah, jiwa yang retak itu menyusuri jalan sempit yang dingin, panjang dan berangin, dia tiba di suatu tempat yang sungguh dia sendiri tak tahu apa. Surgakah itu, atau neraka?
Dia melihat api di sekeliling tempat itu. Api yang menjilat, membakar. Yang tapi, oh.. api itu tertutup oleh dekorasi dinding tipis bergambar indah yang membuat persepsi seakan itu tempat yang damai dan menyenangkan.
Kamuflase yang menjebak.
Itu tempat dimana kebusukan akan mudah disembunyikan. Tempat dimana nafsu akan disangka cinta. Tempat menakutkan sekaligus.. menantang dan menggairahkan.
Jiwa yang retak mendekati tempat tersebut. Melongok- longok dan melihat keramaian disana.
Oh, ini tepi pantai di suatu belahan dunia, rupanya. Ada ombak berdebur. Ada cahaya mentari berlimpah.
Pantai... Laut?
Ah tapi bukan.. bukan pantai. Ini kaki gunung. Jelas, sebab tak jauh dari situ tampak sebuah gunung besar berdiri nyata.
Membingungkan. Membingungkan. Jiwa yang retak semakin bingung. Bahkan membedakan gunung dan lautpun kini dia tak bisa.
Jiwa yang retak berdiri diam mengamati…
***
Di tepi pantai berlatar gunung yang menjulang, lidah air menjilat butiran pasir. Disana, di hamparan pasir itu terlihat seorang perempuan bertopi dan berkacamata gelap sedang berpose.
Dia berputar kesana- kemari, dan seseorang mengambil gambarnya.
Klik.. klik.. klik..
Perempuan itu, Emak Menor, mengangkat dagu, menoleh sedikit ke samping dan menarik bibirnya, menanti beberapa detik hingga kamera merekam gambar. Dia, tentu saja, sudah menghafalkan dalam pose dan sudut kemiringan kepala berapa derajat wajahnya akan tampak indah tercetak dalam foto nanti.
Ditariknya sedikit ke atas rok pendek yang dipakainya. Bahasa tubuhnya mengundang.
Gambar- gambar itu dibuat untuk disebarkan pada para penggemarnya. Terutama para lelaki, yang dengan kehausan akan melumat setiap lembar gambar dirinya. Para lelaki yang akan dengan segera lupa daratan dan terbalut nafsu begitu melihatnya.
Termasuk…
Emak Menor tersenyum senang. Sehari- hari berada di rumah berkutat dengan urusan suami dan anak- anak tak mencukupi kebutuhan batinnya. Dia perlu disanjung. Dikagumi. Dia perlu letupan api gairah untuk membuatnya hidup. Letupan yang berasal dari mata para lelaki kelaparan dengan hasrat yang tak dapat disembunyikan. Letupan puja puji yang memabukkan.
Dari banyak lelaki, yang sebagian bahkan tak bisa dia ingat namanya. Sebab dia tak perduli. Sepanjang mereka memujanya, apa pentingnya untuk tahu dan mengenal mereka? Tak ada hubungan timbal balik dimatanya bagi kebanyakan lelaki itu. Mereka penggemar. Titik.
(Tentu saja, apa yang dirasakannya dalam hati itu tak perlu diketahui oleh para lelaki yang sudah kehilangan akal itu. Di muka mereka, dia akan bermanis kata… )
Kecuali, ada satu dua yang memang penggemar istimewa. Yang patut mendapatkan perhatian lebih.
Selama ini, yang disebut istimewa itu juga akan berganti dalam rentang waktu yang berbeda. Semua semu, sementara.
Sementara, itu dulu. Tapi kini, ada satu yang ah.. Emak Menor terenyum senang. Yang satu ini, sepertinya ini penggemar sejati. Emak Menor merasakah debar di dadanya.
Aku, pikirnya, begitu memikat sehingga bisa menarik penggemar istimewa ini. Yang ganteng. Yang kaya. Yang begitu memujanya dan membanjirinya dengan kata- kata yang menyanjung begitu rupa, yang senantiasa bisa membuatnya melayang ke langit ketujuh.
Lebih memikat lagi, sebab penggemarnya ini agak misterius.
Namaku HJ, katanya suatu ketika.
HJ siapa?
Ya HJ. Cukup HJ saja.
Lalu data dirimu?
Ah, tak pentinglah itu. Yang penting kan hatinya. ( Dan tampangnya. Dan dompetnya. Ha ha -- lalu dia terbahak, seakan itu humor paling lucu sedunia ).
Lalu bagaimana aku bisa mengenalmu jika kau tak hendak mengatakan data dirimu?
Kau tahu Hugh Jackman?
Tentu, aku tahu.
Nah, bayangkan diriku serupa Hugh Jackman. Yang jantan. Dan gagah. Dalam Wolverine. Dan juga di Les Miserables.
Les Miserables? HJ narapidana disana.
Iya, narapidana ganteng yang lalu menjadi pemilik pabrik yang kaya raya dan walikota, kan?
Lalu terus.. dan terus.. mereka saling bicara. Saling membelai dengan kata- kata. Saling meraba, memercikkan gairah yang begitu membakar, melilit dan menarik keduanya ke pusat bumi dimana hanya kegelapan yang ada…
***
Makhluk dengan jiwa yang retak berdiri di tepi pantai.
Masih kadang menjejak, kadang melayang. Galau dan bingung dengan identitas dirinya. Entah ada atau tiada. Entah maya atau nyata. Entah filsuf atau badut.
Dia berdiri diam, menatap perempuan di mukanya, yang terus bergerak, merentangkan tangan, memiringkan kepala, mengangkat dagu dan berjingkat genit.
Lalu, disadarinya sesuatu.
Ahay ! Ada atau tiada, maya atau nyata, filsuf atau badutkah dia itu, ternyata dia masih memiliki hasrat. Nafsu. Lust.
Segera setelah dia melihat perempuan yang berputar ke kanan dan ke kiri, apalagi ketika perempuan itu menarik sedikit rok-nya ke atas ditambah lagi angin nakal mengembangkan rok itu, jiwa tersebut mulai terbakar.
Ah, pikirnya. Aku menyusuri jalan yang panjang dan berangin, meninggalkan raga dan separuh jiwaku yang lain di gedung berlangit- langit tinggi berpilar besar itu untuk akhirnya tiba disini.
Disini. Dimana kehangatan menanti.
Dimana ini, tak lagi dia peduli.
Neraka yang dibungkus dengan kertas bergambar surgakah ini, tak lagi penting baginya.
Hasratnya meluap.
Nafsunya membanjir.
Dan dia bergerak. Masih dengan kadang menjejak, kadang melayang, dia bergerak maju. Mendekat, makin mendekat, ke arah dimana Emak Menor berada.
Tak lagi bisa menguasai diri, dia sungguh ingin mendekap dan menyerah pada sumber hasrat, nafsu dan gairahnya itu.
Dan jiwa yang retak itu dengan segera turut terserap. Tertarik dan tersedot ke pusat bumi, dimana hanya kegelapanlah yang ada.
Kegelapan.
Hasrat.
Nafsu.
: Dan mereka.
Bertiga.
~ Ini nafsu segitiga.
* Kisah sebelumnya ada disini:
- Kerajaan Ular dan Para Pecundang
- Narcissus dan Sang Narapidana Tampan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H