Perempuan itu, Emak Menor, mengangkat dagu, menoleh sedikit ke samping dan menarik bibirnya, menanti beberapa detik hingga kamera merekam gambar. Dia, tentu saja, sudah menghafalkan dalam pose dan sudut kemiringan kepala berapa derajat wajahnya akan tampak indah tercetak dalam foto nanti.
Ditariknya sedikit ke atas rok pendek yang dipakainya. Bahasa tubuhnya mengundang.
Gambar- gambar itu dibuat untuk disebarkan pada para penggemarnya. Terutama para lelaki, yang dengan kehausan akan melumat setiap lembar gambar dirinya. Para lelaki yang akan dengan segera lupa daratan dan terbalut nafsu begitu melihatnya.
Termasuk…
Emak Menor tersenyum senang. Sehari- hari berada di rumah berkutat dengan urusan suami dan anak- anak tak mencukupi kebutuhan batinnya. Dia perlu disanjung. Dikagumi. Dia perlu letupan api gairah untuk membuatnya hidup. Letupan yang berasal dari mata para lelaki kelaparan dengan hasrat yang tak dapat disembunyikan. Letupan puja puji yang memabukkan.
Dari banyak lelaki, yang sebagian bahkan tak bisa dia ingat namanya. Sebab dia tak perduli. Sepanjang mereka memujanya, apa pentingnya untuk tahu dan mengenal mereka? Tak ada hubungan timbal balik dimatanya bagi kebanyakan lelaki itu. Mereka penggemar. Titik.
(Tentu saja, apa yang dirasakannya dalam hati itu tak perlu diketahui oleh para lelaki yang sudah kehilangan akal itu. Di muka mereka, dia akan bermanis kata… )
Kecuali, ada satu dua yang memang penggemar istimewa. Yang patut mendapatkan perhatian lebih.
Selama ini, yang disebut istimewa itu juga akan berganti dalam rentang waktu yang berbeda. Semua semu, sementara.
Sementara, itu dulu. Tapi kini, ada satu yang ah.. Emak Menor terenyum senang. Yang satu ini, sepertinya ini penggemar sejati. Emak Menor merasakah debar di dadanya.
Aku, pikirnya, begitu memikat sehingga bisa menarik penggemar istimewa ini. Yang ganteng. Yang kaya. Yang begitu memujanya dan membanjirinya dengan kata- kata yang menyanjung begitu rupa, yang senantiasa bisa membuatnya melayang ke langit ketujuh.