Mohon tunggu...
Deni I. Dahlan
Deni I. Dahlan Mohon Tunggu... Penulis - WNI

Warga Negara Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Penyihir Bunga Anggrek

23 Mei 2021   19:32 Diperbarui: 23 Mei 2021   19:36 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penyihir anggrek. (Sumber Ilustrasi: Pixabay)

Di sebuah halaman kastil yang luas, seorang nona muda berjalan menyusuri jalan setapak. Tempat itu dipenuhi oleh sulur -- sulur tanaman hijau. Si nona berjalan sambil menyentuh pucuk -- pucuk tanaman itu, dan seketika tumbuhan itu bergerak dan menggeliat.

"Nona! Nona!" sebuah suara memanggilnya dari kejauhan.

Sebuah umbi tanaman, berbadan gempal dan terlihat ketakutan, berlari menghampiri nona itu.

"Gawat!" katanya sambil terengah -- engah.

"Apa yang terjadi, pohon mandrake?" tanya nona itu.

"Kami gagal menyerang bunga -- bunga itu!"

"Gagal kenapa?"

"Bunga -- bunga itu menyelamatkan diri ke atas bukit. Kami hendak pergi kesana, tapi di tengah perjalanan ada benteng buah."

"Benteng buah?"

"Ya. Buah -- buah itu berjejer menghadang kami. Kami kesulitan menembus buah -- buah itu, dan akhirnya kami terseret banjir dan tenggelam!"

"Darimana buah dan air itu?"

"Aku sempat mendengar kabar, kalau buah dan air itu datang dari atas bukit. Disana ada seorang gadis yang menemani para bunga."

Nona itu berhenti memegang pucuk tanaman. Lalu ia melihat sekeliling tempat itu. Dia pikir, hanya dirinya yang tinggal di dunia bunga. Tapi setelah mendengar cerita dari mandrake, dia baru tahu kalau ada seseorang yang tak ia ketahui juga tinggal disana.

"Siapa gadis itu?" tanya si nona.

"Aku tak tahu. Tapi dia ada bersama bunga -- bunga itu di atas bukit."

"Apakah mereka masih ada disana?"

"Ya. Bunga -- bunga itu masih disana, tapi sebelum kesini, aku tak melihat gadis itu lagi."

Nona itu melihat mandrake. Umbi tanaman itu masih terengah -- engah setelah berlari menyelamatkan diri. Sebelum berangkat menyerang, dia bersama ratusan mandrake lain. Tapi sekarang ia berlari seorang diri. Kawan -- kawannya telah disapu banjir saat mereka melawan buah -- buah itu. Kejadian itu membuat si nona merasa terancam. Seseorang di luar sana berhasil menghentikan usahanya untuk menguasai tempat itu.

"Apakah kalian masih sanggup pergi ke atas bukit itu?" tanya si nona.

"Tidak, meski benteng itu sudah tidak ada, tapi aku pikir gadis itu akan memasang benteng lagi."

"Gawat."

Lalu si nona melihat sebuah bunga tergeletak. Bunga anggrek itu sudah layu. Ia mati dililit oleh sulur hijau.

"Anggrek. Dia punya reputasi bagus di dunia bunga."

Sang penyihir menyentuh anggrek yang sudah layu itu, dan setelah itu perlahan -- lahan bunga anggrek itu menjadi segar dan hidup lagi. Hanya saja, keceriaannya telah menghilang, diganti dengan aura ungu kegelapan.

"Anggrek, aku minta bantuanmu." kata sang penyihir, lalu ia mendekati anggrek itu dan membisikkan sesuatu di dekatnya. Setelah itu, anggrek meninggalkan tempat itu, dan pergi menuju ke atas bukit dengan tatapan meyakinkan.

"Apa yang kau lakukan?" tanya mandrake.

"Aku menghidupkan anggrek itu lagi."

"Kau lucu! Katamu ingin menguasai dunia ini dengan tanaman seperti kami. Tapi kenapa malah menghidupkan anggrek yang sudah kami bunuh?"

"Kau tak mengerti. Aku meminta bantuan anggrek bukan untuk menghalangi tujuan kita. Tapi aku memintanya untuk pergi ke atas bukit itu."

"Hah? Buat apa?"

"Aku memintanya untuk menemui para bunga, dan memintanya untuk menyebarkan cerita bohong."

"Cerita bohong?"

"Ya. Anggrek itu akan memberitahu bunga kalau di bawah bukit sudah aman. Jadi mereka tak perlu tinggal di atas bukit lagi. Saat mereka turun, kita bisa menyerang mereka dengan mudah."

Lalu sang penyihir menyentuh sulur -- sulur hijau di dekatnya. Dalam sekejap, tanaman hijau itu hidup. Tak hanya itu, dari dalam tanah tempat mereka berpijak, juga keluar umbi tanaman. Lalu si nona meminta kumpulan mandrake itu pergi menyusul si anggrek.

"Tapi, apakah mereka akan percaya dengan kabar palsu dari si anggrek?" tanya si mandrake.

"Entahlah. Anggrek adalah salah satu teman mereka, dan anggrek itu tak pernah bohong. Kupikir, kalau seorang pembohong bercerita, mereka akan mengabaikan berita itu. Tapi kalau cerita itu disampaikan oleh orang yang mereka anggap jujur, mereka akan takut untuk tidak percaya, karena rasa kenyamanan bersandar kepada kejujuran itu begitu besar, sehingga ujung -- ujungnya mereka akan berpikir kalau cerita itu benar -- benar nyata."

Lalu berangktlah tanaman itu menuju bukit. Mereka didorong oleh kelicikan seorang nona penyihir , dan dikawal oleh tipu muslihat dari sekuntum anggrek jujur yang telah mereka bohongi.

Tamat

Cerita sebelumnya:
Benteng Empat Buah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun