"Katakan, darimana kau bisa menangkap seekor babi dengan sekali tombak?" Tanya si turis.
"Aku dulu pernah tinggal di hutan yang banyak babinya. Jadi aku sering melihat orang -- orang disana menangkap babi." Kata si pemandu.
"Jadi karena itu kau menjadi seorang pemandu?"
"Bisa dibilang begitu. Meski tidak semuanya, aku kadang berjalan -- jalan di daerah gunung ini dan sekitarnya. Jadi aku tahu sedikit -- sedikit."
"Baguslah. Jadi aku tidak rugi menyewamu."
"Meski begitu, bukan berarti kau harus mengandalkan aku saja. Karena selain kita, orang lain juga menginginkan air terjun itu."
Si turis dan si pemandu menaruh tas dan barang mereka. Di sekeliling mereka, terdapat banyak pohon rimbun dan sepetak tanah kosong. Mereka memutuskan untuk bermalam dan mendirikan tenda kecil disana.
"Besok, kita akan menyeberang danau." Kata si pemandu.
"Danau? Sudah lama aku tidak melihat danau." Kata si turis.
"Tapi ini bukan untuk senang -- senang. Karena di danau itu ada siluman."
"Siluman apa?"
"Siluman buaya. Makhluk itu suka menghisap darah manusia dengan gigitannya. Konon, kalau seseorang kena gigit sekali saja, maka dia akan mati kehabisan darah."
Kedua orang itu kini mencari kayu bakar. Setelah terkumpul, mereka menyalakan api unggun.
"Celaka. Bekal kita hampir habis. Cuma ada satu roti."
Lalu mereka membagi sepotong roti itu dan memakannya. Saat mereka melahap roti itu, tiba -- tiba terdengar suara kemeresek dari semak -- semak.
"Kau dengar sesuatu?"
"Ah, paling -- paling seekor babi. Babi itu tak akan berani kesini karena ada api unggun."
"Apinya mau padam. Kau tunggu disini dulu. Aku mau mencari kayu bakar lagi."
Lalu si pemandu beranjak dan pergi ke dalam pepohonan yang gelap. Setelah beberapa saat, terdengar suara teriakan dari sana. Si pemandu kembali dengan menyeret dua orang tak dikenal.
"Hei. Aku dengar teriakan seseorang. Ada apa?" Tanya si turis.
"Teriakan itu dari kedua orang ini. Mereka telah membuntuti kita selama ini. Jadi aku tadi pura -- pura cari kayu untuk menyergap mereka dari belakang."
Si pemandu masih menodongkan pisaunya di balik punggung kedua orang itu. Ia meminta si turis untuk mengambil tali dan mengikat mereka berdua.
"Jadi, kalian siapa?" Tanya si turis.
"Tak perlu bertanya. Mereka ini orang gunung. Kita pernah tertangkap oleh mereka saat di bawah." Kata si pemandu.
Kedua orang itu hanya diam sambil menahan marah.
"Seingatku kami sudah tak punya hutang kepada kalian. Lalu kenapa kalian membuntuti kami?"
Salah seorang dari mereka menjawab.
"Kami diutus pemimpin kami untuk mengikuti kalian. Karena kami pikir kalian tahu tempat air terjun itu berada."
Orang gunung itu melanjutkan.
"Kami juga melihat kemampuan kalian saat menjelajah gunung ini. Jadi kami pikir akan lebih mudah membuntuti kalian dari belakang."
Si turis berkata.
"Benar. Dan sekarang kalian jadi semakin tahu kan, kalau kami memang bisa diandalkan. Buktinya kami bisa menangkap penguntit seperti kalian."
"Kami bukan penguntit! Kami hanya ingin menemukan air terjun itu agar kami selamat dari serangan kerajaan lain!"
Kedua tawanan itu meronta ingin dilepaskan, namun ikatan tali terlalu kuat.
"Kita sudah berjalan seharian. Kau istirahatlah dulu. Aku duluan yang mengawasi mereka ini." Kata si pemandu kepada si turis.
**
Keesokan harinya, si pemandu dan si turis akan melanjutkan perjalanan. Dua orang tawanan itu tidak terikat tali lagi. Si pemandu membolehkan mereka ikut mencari air terjun, asal mereka tidak berbuat macam -- macam.
"Apa mereka bisa dipercaya?" Tanya si turis.
"Tentu. Mereka orang yang punya satu tujuan dengan kita. Lagipula, mereka bukan orang usil. Mereka ingin air terjun itu hanya untuk bertahan hidup."
Keempat orang itu pun berjalan ke arah pepohonan. Di balik rimbunnya pohon itu, ada sebuah danau kecil. Airnya tampak jernih dan tenang.
Untuk menyeberangi danau itu, mereka butuh rakit. Jadi mereka memotong beberapa pohon dan membuat sebuah rakit sederhana.
Setelah jadi, keempat orang itu naik dan mengarungi danau. Namun baru mendayung beberapa kali, rakit mereka terhenti.
Rakit itu seakan menabrak sesuatu. Membuatnya tak bisa maju. Saat seorang dari mereka mencari tahu, tiba -- tiba dari dalam danau muncul punggung berduri. Punggung itu lama -- lama membesar. Dan sekarang tampaklah seekor buaya di depan rakit mereka.
"Kalian pergilah!" kata salah satu orang gunung.
Ketiga orang itu melompat dari rakit dan berenang menuju seberang. Sedangkan orang gunung tadi berjuang melawan buaya dengan sebilah tombaknya. Ia terjun ke danau untuk menyerang buaya. Saat siluman itu menyerang, orang itu berlari ke daratan tempat mereka berangkat.
Jadi ia terus menusuk buaya itu lalu berlari mundur ke belakang. Sampai akhirnya buaya itu keluar darah dan geraknya melambat, namun masih sempat menggigit kaki orang gunung. Setelah beberapa hujaman tombak, orang gunung berhasil menaklukkannya.
Namun itu harus dibayar dengan luka di kakinya. Kakinya mengeluarkan darah. Ia tak bisa berjalan. Malah, darah juga keluar dari mulutnya. Gigitan siluman tadi menyedot darahnya sedikit demi sedikit.
Tahu bahwa dirinya tak bisa diselamatkan, ia hanya pasrah. Ia gagal menemukan air terjun yang diimpikan warga gunung, namun setidaknya ia lega karena di seberang sana terlihat kawan -- kawannya yang meneruskan perjuangan.
Tamat
Cerita sebelumnya:
Sang Penjaga Gunung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H