Atmosfir politik Indonesia sepanjang tahun 2022 didominasi riak gelombang persiapan kontestasi pemilu 2024, baik Pileg maupun Pilpres.
Salah satu isu paling seksi, sensitif dan menyedot perdebatan kencang adalah wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Walau kemudian penundaan pemilu terbantahkan dengan dimulainya tahapan Pemilu oleh KPU lewat Verifikasi Parpol dan penetapan nomor urut Parpol, wacana ini di gelembungkan  kembali oleh Parpol tak lolos sebagai peserta pemilu 2024.
Awalnya penundaan pemilu diduga muncul sebagai kepentingan terselubung lingkaran istana Presiden untuk mempertahankan status quo, dan melindungi kepentingan sempit kalangan tertentu.
Namun kemudian bagaikan kotak pandora terbuka lebar menebarkan aroma busuk kepentingan pragmatis sebagian kecil kalangan yang meradang karena keinginannya sebagai peserta pemilu tidak terwujud.
Menggelindingkan wacana pemilu ternyata dijadikan komoditi politik mengandung unsur spekulasi me deskreditkan kredibilitas pemerintahan Joko Widodo. Padahal proses persiapan dan pelaksanaan pemilu merupakan domain KPU sebagai institusi independen.
Ironisnya tokoh politik sekaliber Susilo Bambang Yudhoyono, sebagai mantan presiden juga menabur isu asumsi pribadinya yang mengatakan tau persis  ada rencana kecurangan pelaksanan pemilu, serta kemungkinan muncul rekayasa menjadikan pasangan Capres yang ikut bertarung di Pilpres 20224 hanya ada dua pasangan calon.
Bola panas mendeskreditkan kredibilitas Presiden ternyata menjadi pola pilihan bagi elit politik oposisi sebagai salah satu cara membangun citra dan meningkatkan elektabilitas partai besutannya.
Fenomena ini merupakan hal mengkuatirkan jika tetap dilakukan di tahun 2023 sebagai tahun politik. Pokitik mencari kambing hitam sebagai korban sasaran tembak untuk meningkatkan posisi diri sendiri merupakan perilaku politik naif, karena menyalahkan pihak lain ditengah dirinya yang tidak mampu menawarkan nilai lebih sebagai keunggulan komperatif dan differensiasi modal kemenangan dalam kontestasi.
Perilaku politik "Belah Bambu", satu kaki menginjak belahan yang satu, dan belahan satu lagi ditarik oleh tangan ke atas diprediksi akan dilanjutkan oleh pihak-pihak tertentu di tahun 2023.
Jika hal seperti ini tetap berlangsung maka tahun politik 2023 akan diwarnai atmosfir kegaduhan politik yang tidak produktif, tidak mempertimbangkan kualitas pemilu tapi hanya mengutamakan pemilu prosedural demi kepentingan sempit menang atau kalah.
Pemilu seyogianya sebagai kanal dan sarana artikulasi harapan dan kepentingan masyarkat umumnya dilaksanakan dengan menawarkan ide atau nilai-nilai lewat visi dan misi menarik dan berorientasi kepada kemajuan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Namun karena kemiskinan ide dan prestasi para punggawa politik dewasa ini ternyata hanya mampu menawarkan wacana yang menimbulkan polarisasi dan fragmentasi politik mengandung unsur adu domba sesama warga negara.Â
Demikian juga partai politik pemilu yang tidak lolos proses verifikasi, salah satu diantaranya Amien Rais yang membidani kelahiran Partai Ummat, menjadikan pihak istana sebagai pihak tertuduh utama penyebab partainya tidak lolos verifikasi.
Tidak bisa dipungkiri cara berpolitik seperti ini diprediksi akan tetap berlangsung sepanjang tahun 2023, oleh karena itu dibutuhkan kesadaran bersama untuk memilah mana sebenarnya yang benar, dan mana yang salah.
Disisi lain perlu diberikan apresiasi kepada elit partai papan atas, dan partai papan menengah yang melakukan soft strategy menghadapi perhelatan pemilu 2024.
Partai Golkar dan Partai Gerindra tahun 2022 telah melakukan penjajakan format koalisi dan menggadang-gadang capres yang akan diusung namun dilakukan dengan tidak mengundang kegaduhan sebagai ekspresi jiwa kematangan berpolitik dan menunjukkan diri sudah banyak makan garam kehidupan politik.
PDI Perjuangan sebagai salah satu partai politik yang bisa mengusung dan mencalonkan pasangan Capres tanpa koalisi sampai hari ini tetap konsekuen tidak mau ikut latah mendeklarasikan Capres, padahal banyak publik sangat mengharapkan PDI Perjuangan memutuskan siapa calon presidennya sebagai salah satu barometer yang mempengaruhi warna kontestasi pilpres 2024.
Tidak dapat dipungkiri PDI Perjuangan merupakan salah satu instrumen politik yang harus diperhitungkan dalam mewarnai kontestasi pemilu 2024. Sikap PDI Perjuangan yang memilih sikap tidak mengumbar syahwat pilpres turut menjadikan atmosfir politik kondusif sepanjang tahun 2022.
Keputusan PDI Perjuangan memutuskan Capres usungannya di tahun 2023 sudah barang tentu akan mempengaruhi warna persaingan pemilu tahun politik 2023.
Uniknya Partai Nasdem yang secara konstitusional tidak memenuhi syarat mengusulkan Capres tanpa koalisi dengan partai lain justru tampil terdepan mendeklarasikan Capres besutannya sehingga format koalisi yang belum juga terwujud sampai penghujung tahun 2022 akan menyisakan melodrama bersambung hingga tahun 2023.Â
Ditetapkannya partai peserta pemilu 2024 dan dinamika pencapresan akan mewarnai panasnya tahun politik 2023.
Partai papan atas dan menengah atau partai yang memiliki kursi di parlemen sepanjang tahun 2023 akan menunjukkan kiprahnya karena sudah memasuki tahapan pemilu untuk pencalonan legislatif dan pendaftaran pasangan calon presiden, kemudian memasuki masa kampanye. Sehingga sepanjang tahun 2023 akan diwarnai oleh hiruk pikuk pemilu.
Atmosfir kehidupan politik sepanjang tahun 2023 akan dipanaskan kompetisi antar partai peserta pemilu dan pasangan Capres.
Berdasarkan riak politikyang terjadi sepanjang tahun 2023 partai parlemen umumnya  diprediksi tidak akan menimbulkan benih-benih kegaduhan berarti karena sebagian besar diantaranya merupakan bagian dari pendukung kepemimpinan pemerintahan saat inj.
Hanya saja Partai Nasdem yang mengusung Anies Baswedan diharapkan tidak terjebak untuk melanjutkan pokitik sektarian berbasis SARA seperti terjadi di Pilgub DKI Jakarta sebelumnya, dan Pemilu 2019.
Namun pencalonan Anies Baswedan oleh Partai Nasdem menyisakan tanda tanya atas posisi Partai Nasdem yang tak ubahnya bagaikan memainkan politik dua kaki.
Disatu sisi Partai Nasdem menyampaikan bahwa mereka tetap bagian tak terpisahkan dari Koalisi pemerintahan Presiden Joko Widodo, tapi disisi lain Partai Nasdem mengusung jargon "Perubahan" yang identik dengan sikap antithesis pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Rencana format koalisi yang akan dilakukan Partai Nasdem juga identik dengan partai oposisi yang berseberangan dengan pemerintahan Presiden Joko Widodo selama ini.
Partai Demokrat dan PKS rencana partai mitra koalisi Partai Nasdem selama merupakan partai yang berada di luar lingkaran kekuasaan Presiden Joko Widodo. Jadi, jika koalisi ketiganya terwujud maka merupakan sebuah pilihan sulit bagi Partai Nasdem apakah akan tampil sebagai koalisi antithesis  pemerintahan Presiden Joko Widodo, atau tetap tampil dengan selimut berposisi di tengah, atau berbalik arah sebagai oposan.
Sikap ambivalen Partai Nasdem ini juga merupakan dilema bagi  Anies Baswedan yang selama ini kadung dianggap sebagai pigur bertolak belakang dengan pemerintahan Presiden Jokowi.
Safari Politik Anies Baswedan yang dilakukan akhir-akhir ini juga dipandang banyak kalangan berlangsung biasa-biasa saja, tidak memiliki warna baru sebagai keunggulan komperatif dan tidak memiliki unsur differensiasi.
Keterkungkungan keberadaan Anies Baswedan karena sikap ambivalen partai Nasdem bisa jadi di dobrak Anies Baswedan di tahun 2023 demi kepentingan meningkatkan elektabilitasnya sehingga akan mempengaruhi ritme persaingan politik sepanjang tahun 2023.
Perubahan gaya politik yang dilakukan Anies Baswedan di tahun 2023 sah-sah saja sebagai sebuah strategi dan taktik politik untuk meningkatkan elektabilitas, hanya saja diharapkan tidak akan memainkan politik identitas yang rawan menimbulkan gesekan "fragile", gampang pecah jadi kerusuhan sosial.
Selain kuatir akan munculnya kembali politik identitas yang mengkuatirkan di tahun 2023. Berdasarkan dinamika politik yang berkembang di akhir tahun 2022, bibit kegaduhan politik juga bisa ditimbulkan oleh gugatan terhadap profesionalitas kinerja KPU RI dalam mengatasi kecurigaan partai politik tidak lolos verifikasi atas dugaan pelaksanaan verifikasi partai politik diduga tidak fair play.
KPU sebagai institusi independen dan lembaga yang paling bertanggungjawab dalam pelaksanaan pemilu yang baik dan benar sangat berisiko menimbulkan kegaduhan politik sepanjang tahun 2023 jika tidak bisa mengatasi dugaan perbuatan curang yang dialamatkan ke KPU.
Partai politik yang tidak lolos verifikasi faktual sebagai peserta pemilu 2024 sudah menunjukkan geliat menggugat kredibilitas KPU yang rawan menimbulkan kegaduhan politik dan memiliki potensi mengganggu kelancaran pelaksanaan Pemilu 2024.
Keleideskop politik 2022 ini hanya bagaikan sebutir pasir di tengah hamparan tepian pantai yang bertujuan bukan mengundang pesisisme, tetapi hanya sebagai sebuah wahana refleksi mengakhiri tahun 2022 diharapkan bermanfaat sebagai bingkai pemikiran mendukung lensa meneropong kemungkinan atmosfir tahun politik 2023 yang akan dimasuki Bangsa Indonesia di tahun depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H