Adalah sulit menepis hipotesis bahwa Revolusi Industri Keempat (RI4) manifest dalam Kebijakan Pendidikan Merdeka Belajar kendati tidak secara eksplisit terumuskan dalam bentuk klausul-klausul tersendiri, setidaknya karena tiga alasan. Pertama, narasi RI4 dalam pidato-pidato Presiden Joko Widodo di beberapa kesempatan; kedua, Projek Making Indonesia 4 dalam satu kementerian dan terkomunikasikan sebagai bahasa kabinet; dan ketiga, persona Nadiem Anwar Makaraim sebagai Mendikbud.
Dalam kesempatan meresmikan Indonesia Industrial Summit 2018 dan dalam beberapa kesempatan menjelang dan sesudah pembentukan kabinet jilid 2, Presiden Joko Widodo mengemukakan keprihatinannya terhadap  karakter birokrasi serba rutin dan linier; menyitir industri Tesla, digital intelligence, cybernetics, dll.; dan menyebut perlunya pembaruan besar-besaran dalam dunia pendidikan. Kata kunci narasi ini adalah logika industri 4 seperti disinyalir Schwab (speed, scope, impact).
Selaras dengan narasi ini, Kementerian Perindustrian membuat draft roadmap Making Indonesia 4; roadmap ini merealisasikan visi pimpinan eksekutif. Mungkin belum sepenuhnya mengusung "revolution in the making of Indonesia 4" namun dengan menjadikan beberapa karakter industri 4 bagian dari algoritma proses bisnis yang meliputi lima aspek, yakni  Artificial Intelligence, Human-Machine Interface, Internet of Things, Teknologi Robotik dan Sensor, serta Teknologi 3D Printing, dalam lima sektor manufaktur (industri makanan dan minuman, industri tekstil dan pakaian, industri automotif, industri kimia, serta industri elektonik) Kementerian Perindustrian telah membuat antisipasi strategis.
Dalam hal ini Presiden menunjuk Kementerian Perindustrian untuk menjadi leading sector; Kementerian Perindustrian mempelajari komponen-kompenen utama industri 4, menerjemahkan, dan mengkomunikasikannya sebagai baseline kebijakan-kebijakan. Kata komando yang diberikan Presiden untuk misi ini adalah "kuasai teknologi" dan "menangkan persaingan global". Dalam konteks ini, Kemendikbud menjadi salah satu kementerian yang harus cepat belajar dan membuat proyeksi untuk kebijakannya.
Kabinet jilid 2 menghadirkan persona Nadiem Anwar Makarim dalam perspektif ini. Latar belakang keberhasilannya dalam mendirikan industri decacorn pertama dengan bertumpu pada kemampuan membaca peluang pasar dan menerjemahkan cybercloud service ke dalam algoritma bisnis yang dibangunnya cukup menyuguhkan bukti kepada Presiden bahwa diperlukan kapasitas ini untuk merombak sistem pendidikan, langsung atau tidak langsung.Â
Dalam satu-dua kesempatan wawancara dengan media tokoh ini pun secara terang-terangan mengakui kemampuannya "membaca" masa depan; membaca masa depan dimaknai memahami tingkah-laku industri 4 menggelinding seperti bola salju, dan kini bola salju memasuki universum pendidikan Indonesia.
Artikel ini berfokus pada prefigurasi Revolusi Industri 4 dalam pendidikan yakni kaitannya dengan kebijakan Pendidikan Merdeka Belajar. Pertanyaan pembukanya adalah: Bila revolusi industri 4 manifest dalam konstruksi kebijakan merdeka belajar maka bagaimana mengenali penciri awal industri 4 secara nilai untuk diusung ke dalam konstruksi kebijakan?
Untuk menjawabnya izinkan tulisan ini mengunggah poin-poin utama dari wacana yang digulirkan Prof Klaus Schwab (pendiri World Economic Forum, pencetus istilah Revolusi dalam Industri 4, penggagas Revolusi Industri Keempat) seputar "The Fourth Industrial Revolution" (harap pembaca membuka artikel beliau di website dengan judul ini di weforum.org dan britannica.com). Tulisan Schwab adalah satu di antara artikel-artikel berpengaruh di antaranya karena posisinya dalam World Economic Forum, tempat istilah tersebut dilahirkan. Memahami istilah ini akan lebih bernilai dengan merujuk pada penggagas utamanya.
Ada beberapa pelajaran yang dapat dipetik dari tulisan Schwab. Dalam tulisannya, Schwab menyebutkan bahwa industri 4 berbeda dengan industri sebelumnya karena dua hal. Pertama, meleburnya matra-matra fisik, biologis, dan digital. Diakuinya bahwa perubahan cepat pada ketiga matra ini sudah terjadi di zaman industri sebelumnya namun kini ketiganya seperti membentuk entitas baru: batas-batas tradisional seperti geografi, geopolitik, dapat ditembus dengan teknologi cyber-phyical system; dan kinerja mesin-mesin bukan hanya otomatis namun juga hubungan antara super mesin satu dengan yang lain terjadi serba digital dan nirkabel.
Kedua, lebih dari itu, industri 4 memperlihatkan tiga karakter berbeda dibandingkan industri-industri sebelumnya, yakni velocity (speed), scope (extent), system impact (power). Kunci dari perbedaan ini ditengarai terletak pada perangkat phyisical-cybercloud computing system.Â
Perkembangan baru, kombinasi antara data science dan cloud service, menyebabkan proses-proses kuantifikasi informasi dan pembuatan keputusan untuk kerja mesin-mesin berjalan dengan kecepatan yang tak terbayangkan sebelumnya. Fenomena ini tidak pernah terjadi pada zaman-zaman dahulu, dan hal ini mengubah hampir semua lini kehidupan--politik, bisnis, dan sosial; sebegitu masifnya sehinga mengubah semua tatanan nilai: Â individu, industri, institusi--ready or not, for better or worse.
Namun yang menarik bagi penulis dari artikel tersebut adalah bagaimana nada bahasa (tone, attitude) Prof Klaus Schwab menyikapi perkembangan industri 4 lebih dari sekedar konten bahasannya.
Meskipun disampaikan dengan nada yang netral, dalam arti tidak secara khusus menyematkan evaluative adjectives pada entitas industri, attitude tersebut tetap dapat dikenali dari penggunaan first-person-plural-generik pronoun (untuk menggambarkan humanity dan commonsense) dan ekspresi process (untuk menggambarkan kemampuan dan komitmen) dalam artikel tersebut. Mari perhatikan pernyataan-pernyataannya dalam artikel yang mengandung bagian-bagian berikut:
...how we think about, invest in, and deploy...
...how we can use and influence the brain as...
...how we communicate, learn...
...how we understand ourselves as human beings...
kemudian perhatikan pennyataan transisi:
...how we engage with the technologies...
Dan kemudian, dan ini terpenting, pernyataan pemuncak berikut, berturut-turut hingga pernyataan ketiga sebagai kesatuan:
...but rather we have the opportunity and even responsibility to give it structure and purpose...
...we can take the steps to align common human values with...
...we have the opportunity to proactively shape...
Mari lihat lagi dan susun bangunan thesisnya, kali ini dengan tekanan pada kata kerja non-finite (to give..; to align..; to shape..), kita akan mendapati karakter manusia SUBJECT dan industri PREDIKAT. Karakter ini mengunci proses induksi sejak "THINK":
Pertama, menyiapkan landasan untuk nilai-nilai (think.., invest.., deploy..);
kedua, menggunakan human brain sebagai power (use.., influence..);
ketiga, menjadikan concern bersama (communicate.., learn..);
keempat, menjadikan manusia episentrum (understand..);
kelima, menjadikan industri sebagai aspek predikatif (engage..);
keenam, menjadikan manusia sebagai subjek (dalam episentrum, GIVE..);
ketujuh, mencermati nilai-nilai dasar kemanusiaan sebagai operatives (dalam episentrum, ALIGN..);
kedelapan, mendudukkan hubungan dan peran manusia-industri (dalam episentrum, SHAPE..).
Bila ditarik isunya ke perspektif pedagogi, kita mengenali tiga komponen konten utama kompetensi pembelajaran, yakni knowledge, skill, attitude. Dan bila agregat knowledge (pengetahuan) dan skill (keterampilan) disebut ability (kemampuan) dan agregat attitude terpisah maka manusia memiliki ability dan attitude dengan operasi terpisah. Dalam hal ini asumsi dasarnya attitude adalah bagian denominator yang menggerakkan dan mengarahkan ability; attitude mengemban setiap nilai (positif, negatif) pada setiap hasil belajar karena tidak ada attitude bernilai nol.
Dari sini kita memahami, sebagaimana ditekankan Scwab dalam artikelnya, mengapa attitude demikian penting dalam mencermati industri 4. Tanpa pemihakan yang jelas (positivity), HOW+WE+[PROCESS] industri 4 akan dipenuhi oleh abilities with no attitude; lantas market attitude masuk dan mengambil alih sedangkan market attitude berorientasi pro-capital values.Â
Bila skenario market attitude terjadi maka industri 4 akan tunduk semata-mata pada kehendak pasar, dalam artian pro-capital values menyetir enterprise industri 4. Pada gilirannya pro-capital values akan melihat institusi pendidikan sebagai industri; lebih runyamnya, pasar mensubordinasikan pendidikan menjadi mesin industri itu sendiri.
Scwab menekankan:
Adanya keyakinan bahwa industri 4 bisa dikendalikan;
Perlunya kepastian tentang apa yang baik untuk diperjuangkan bersama terkait industri 4;
Adanya imperatif bagi seluruh umat untuk menyatukan pikiran tentang nilai-nilai kebaikan bersama;
Pentingnya komitmen untuk melembagakan dalam platform-platform baik politik, bisnis, sosial, nilai-nilai kebaikan bersama menghadapi industri 4;
Pentingnya mendorong keyakinan bahwa manusia adalah episentrum seluruh perubahan terkait industri 4;
Episentrum itu strategisnya adalah bahwa manusia menguasai industri 4: by humans for humans;
Prediction or call: tidak peduli apakah ini industri 4 atau apa pun namanya, yg penting manusianya.
Bagaimana merelokasi sikap ini ke dalam Kebijakan Pendidikan Merdeka Belajar? Sebelumnya, mari periksa metafor-metafor, baik metafor pada artikel Schwab maupun pada media massa.
Sekedar untuk mengingat, metafor (dalam hal ini conceptual metaphor, cognitive linguistics) adalah cara berpikir dengan membuat asosiasi dua domain dalam model hubungan yang disebut mapping of corresponces, yakni antara domain source dan domain target.Â
Menurut litaratur, penggunaan metafor bukan hanya bermanfaat dalam pendidikan untuk menghadirkan model-model hubungan ketika menjelaskan kepada siswa (mahasiswa) dalam proses didaktik yang melibatkan konsep-konsep abstrak dan intangible sehingga memudahkan pemahaman, daya kritis, dan pemecahan masalah, penggunaan metafor juga membantu merepresentasikan realitas-realitas sosial dan proses-proses budaya.Â
Tentu diperlukan sejumlah besar data, kalkulasi dan analisis rinci, untuk sampai pada kesimpulan tertentu tentang bagaimana pikiran publik bekerja dengan metafor. Tulisan ini menelisik hanya beberapa saja dari teks-teks yang dapat diikuti tentang RI4 untuk keperluan artikel.
Mencermati media headlines sejak World Economic Forum (WEF Davos 2016) dan Making Indonesia 4.0 (Industrial Summit Jakarta 2018), terutama berita-berita dan artikel dengan tajuk Revolusi Industri 4 kita menemukan satu metafor mainstream, yaitu "combat metaphor".Â
Tiga ekspresi yang mewakili combat tersebut adalah: "menyambut" (menyongsong kehadiran, tamu), "menyiapkan" (SDM), "menghadapi" (persaingan). Tiga ekspresi lainnya adalah "memasuki" (era), "menguasai" (strategi), Â "menaklukkan" (conquer). Dan satu classifier plus epithet penyerta: "Making Indonesia 4.0 sebagai jurus jitu" (untuk menaklukkan).
Dalam metafor combat ekspresi-ekspresi yang bermain di antaranya: "lawan" atau "kawan" (combatant, character), "medan tempur" (domain), "alat tempur" (device), Â "strategi" (mechanism), "memperebutkan" (struggle), "menguasai" (power), "menang vs kalah" (result), "kemenangan atau kekalahan" (values).
Bila metafor ini dibawa ke ranah pendidikan maka kita akan mendapati "knowledge of combat" (what and how is combat), "skill of combat" (engagement in the process of combat resulting in win or lose), dan "attitude of combat" (achieving values of victory and honor and/or otherwise).
Bila alam pikir ini benar, meskipun bawah sadar, maka sebenarnya kenyataan ini tidak bisa dihindari karena trajektori psikologis masyarakat Indonesia lekat dengan adagium perjuangan (mis. "perjuangan kemerdekaan", dari bangsa terjajah menuju bangsa merdeka; "perang melawan kemiskinan", terentas dari masyarakat miskin; "perang melawan kebodohan", beranjak dari masyarakat peringkat rendah dalam pendidikan; "perang melawan korupsi", dan lain-lain.). Alam pikir tercermin pada perilaku. Dalam konteks metafor combat, perilaku masyarakat menghadapi revolusi industri 4 adalah perilaku yang beresiko, bergegas, keras, dan lelah (struggles to win over).
Untuk melihat ragam metafor ini lebih jauh, penulis membuat quiz ringan (memanfaatkan Google Form) tentang revolusi industri 04 di Indonesia yang melibatkan 80 orang mahasiswa. Memanfaatkan liberty sebagai pengajar, quiz tersebut disampaikan dalam kesempatan perkuliahan online. Pertanyaan-pertanyaannya dasar, sebagai berikut:
Apakah kata pertama yang terbayang ketika disebutkan istilah: "Revolusi Industri 4"?
Apakah kata pertama yang terbayang ketika disebutkan istilah: "Revolusi Industri 4 di INDONESIA"?
Sebutkan tiga kata yang paling mewakili fenomena "Revolusi Industri 4"
Jika Anda senang dengan kehadiran Revolusi Industri 4, sebutkan tiga kata sifat untuk menggambarkannya.
Jika Anda tidak senang dengan kehadiran Revolusi Industri 4, sebutkan tiga kata sifat untuk menggambarkannya.
Apa yang seharusnya disiapkan oleh sekolah dan universitas agar Indonesia berhasil mengarungi Revolusi Industri 4?
Peluang/kelebihan/kekuatan apa yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia dalam menghadapi Revolusi Industri 4?
Tantangan/hambatan/kesulitan apa yang dialami oleh Bangsa Indonesia dalam menghadapi Revolusi Industri 4?
Pada quiz tersebut, dalam stem pertanyaannya, Revolusi Indonesia 4 diistilahkan sebagai "fenomena" (terbayang), juga terdapat "tamu" (hadir), "lawan" (menghadapi), dan "samudra" (mengarungi) untuk memberi pilihan-pilihan ekspresi.
Dari pembacaan awal atas respon mereka temuan yang menarik adalah meskipun didapati combat metaphor (mis. "menghadapi", "lawan"), yang lebih dominan adalah "growth" and "movement" metaphors (perubahan, perkembangan; gerakan, kemajuan). Selain itu, terkait peluang dan tantangan yang dihadapi menyikapi Revolusi Industri 4, jawaban mahasiswa terbagi menjadi 3 kategori: dismissive (tidak yakin: mis. "tidak [akan] maju", "tidak siap"---karena tidak sedikit hambatan-hambatan), concessive (yakin dengan syarat: mis. "namun [saya] ragu", "masih kurang"), dan commissive (yakin: mis. "memiliki kelebihan [SDM]", "peluang yang sangat besar").Â
Secara konten, temuan umumnya adalah bahwa terdapat optimisme yang cukup baik (yakin) terkait peluang tapi sebagian tenggelam oleh kegamangan (tidak yakin) lantaran hambatan yang besar.
Secara ikhtisar dengan meninggalkan dismissive response (karena hanya beberapa), maka gambaran kasarnya kira-kira sebagai berikut:
Pertama, concessive (but)
Memiliki potensi (readiness, potency; to learn), tapi apakah potensi dapat berkembang?
Mau belajar (talent, capacity; to acquire), tapi apakah arah pendidikan sudah benar?
Bisa maju (craft, skill; to compete), tapi apakah mampu  menyusul (negara-negara lain)?
Kedua: commissive (and)
Memiliki potensi, dan dapat berkembang (to learn)
Mau belajar, dan pendidikan akan mengantarkan (to acquire)
Bisa maju, dan bisa menyusul (to compete)
Lepas dari konten, respon mahasiswa tersebut menarik karena menampilkan industri 4 dalam konteks perkembangan/pertumbuhun dan kemajuan. Kedua metafor ini berbeda dalam pendekatan berpikir. Metafor perkembangan dalam masyarakat kita lekat dengan common-sense dan nilai-nilai ketimuran yang menampilkan manusia dengan lingkungannya sebagai dua persona yang sama-sama eksisten dan saling melengkapi dalam dialog alam yang satu.
Metafor kemajuan, dibanding dengan perkembangan, mungkin agak belakangan tampil karena keberadaanya seiring dengan hadirnya entitas modernisme (industrialisasi) dalam pikiran manusia baru masyarakat Indonesia yang sedang membangun; oleh karenanya nuansanya berbeda.Â
Sementara perkembangan/pertumbuhan (growth) merepresentasikan keseimbangan dan kedamaian (manusia-alam), kemajuan (movement) menampakkan aura kompetisi (manusia-industri) dalam ekspresi-ekspresi seperti maju (march), mengejar ketertinggalan (pace, distance), menyusul (catch-up) dan menyamai negara-negara lain (equalize), mencapai tujuan (finish, reach an end). Yang pertama cenderung terdorong oleh motivasi "togetherness", yang kedua oleh motivasi "otherness". Kedua metafor ini memperkaya khasanah alam pikir terkait wacana industri 4 dan kehadirannya sebagai fenomena baru dalam masyarakat.
Bila kembali pada artikel Prof Schwab dan menyimak metafor yang digunakan kita juga akan mendapati metafor perkembangan/pertumbuhan dan kemajuan namun tidak dominan. Juga terdapat metafor "menguasai" namun bukan dalam artian "combat" atau "perang" melainkan dalam artian alat, atau persisnya sebagai "ways" (method). Jadi metafornya adalah "menguasai cara" (to master the ways of industry). Mari perhatikan:
...how we think about, invest in, and deploy... (control: berinteraksi dengan merenungkannya, with an eye of positivity);
...how we can use and influence the brain as... (control: mengerahkan kemampuan fikiran untuk dapat menggunakan);
...how we communicate, learn... (control: membangun unity dan kolaborasi, mencermati bersama);
...how we understand ourselves as human beings... (control: memahami diri sendiri agar bisa memahami industri);
...how we engage with the technologies... (control: berinteraksi namun berposisi mengendalikan teknologi);
...but rather we have the opportunity and even responsibility to give it structure and purpose... (control: memiliki tanggung-jawab untuk mengarahkan);
...we can take the steps to align common human values with... (control: mengelola sesuai nilai-nilai kemanusiaan);
...we have the opportunity to proactively shape... (control: menentukan wujud/bentuk industri).
Di sini poin besarnya adalah, sekali lagi, "attitude of having control of industry in terms of ways". Mengingat bahwa artikel tersebut ditulis oleh pencetus dan penggagas Revolusi Industri 4, maka kiranya bijak mencermati bagaimana penggagasnya sendiri menyikapi fenomenanya.
Bagian attitude, sebagaimana diperlihatkan metafor dalam artikel, adalah bagian penting sebuah alam pikir. Dengan tetap memandang perlu metafor-metafor yang berkembang di tengah masyarakat tentang Industri 4, apakah metafor combat, metafor movement atau growth, atau yang lainnya, penulis ingin mengadopsi metafor pemikian Prof Schwab, yakni bahwa Industri 4 adalah alat atau ways (tepatnya "ways"; alat digunakan untuk memudahkan diskusi singkat), dan bahwa revolusi industri 4 adalah revolusi alat, yaitu revolusi dalam cara-cara.
Alat dipahami sebagai perpanjangan fungsi-fungsi. Dalam konteks bahasa, alat mencerminkan model-model simbolis untuk beroperasinya fungsi-fungsi hubungan manusia dengan alam. Semakin kompleks kaidah-kaidah operasi dengan desain protokol yang panjang dan ekstra hati-hati bahasa manusia berkembang untuk menciptakan teknologi dan mesin-mesin pintar.
Metafor alat memiliki logika tujuan (goals), langkah-langkah (strategies), kondisi (circumstances), penggunaan (function), dan prinsip-prinsip pengembangannya (cycle). Dalam artefak teknologi, metafor alat memenuhi asumsi dasar yang meliputi adanya kapasitas (potential, capacities), aktivitas (process, activities), dan produk (impact, products). Kapasitas yang dimiliki alat memungkinkan terjadinya proses-proses (to enable); selanjutnya proses-proses memberi hasil (to produce); dan hasil-hasil kemudian dikembangkan lagi (to expand); demikian seterusnya sehingga terjadi produktivitas dengan siklus (cycle).
Metafor alat, bila diterapkan pada industri 4, oleh karena hakikatnya sebagai bagian atau perpanjangan manusia, maka tidak seyogianya penguasaan atas teknologi dan industri menyebabkan bangsa satu menguasai bangsa lain atas nama kemajuan; tidak juga mempertentangkan bahwa akan terjadi kompetisi antara manusia dengan alatnya; atau bahwa manusia akan tersubordinasikan pada alat yang diciptakannya. Namun sebagaimana ditekankan Schwab, hal ini tergantung sikap kita hari ini.
Pada poin ini Indonesia c/o Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu didorong untuk berani mengetengahkan  inisiatif pemikiran nilai kemanusiaan di tengah pergulatan pemikiran global dalam ketidak-pastian akan pesatnya perkembangan industri 4 (exponential growth) dan tarik-menarik manusia dan teknologi, komunitas dan industri, atau masyarakat dan pasar. Tentu hal ini terdengar seperti ambisi besar, namun bukan sesuatu yang tidak masuk akal karena selaras dengan argumen-argumen penggagasnya. Selain itu, bukankah memang demikian yang dikehendaki Pendidikan Merdeka Belajar (yakni pentingnya karakter)?
Sebagai penutup bagian ini ingin disampaikan bahwa metafor apapun yang dominan bagi sebagian anggota masyarakat atau yang alternatif bagi sebagian yang lain, ia berperan merepresentasikan alam pikir tentang satu fenomena. Sebagai produk budaya, kekuatannya terletak pada kemampuan metafor tersebut dalam memahami dan mengelola hubungan-hubungan antara fenomena satu dengan fenomena lain seiring dengan berjalannya waktu; sehingga tergambar dengan jelas realitas yang terjadi dan bagimana bersikap terhadapnya.Â
Dalam kaitan ini, Revolusi Industri 4, oleh karena magnitude dampak yang ditimbulkannya di hampir seluruh penjuru bumi tidak terkecuali Indonesia maka Pendidikan Merdeka Belajar cepat atau lambat, tersirat atau tersurat, harus memperlihatkan sikap dalam kebijakannya. Bagaimanakah Kebijakan Merdeka Belajar menyikapinya?
Bersambung
Ditulis oleh: Sudarsono M.I., Dosen Senior di Prodi Pendidikan Bahasa Inggris FPBS Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI