Mohon tunggu...
Darwin Raja Unggul Munthe
Darwin Raja Unggul Munthe Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Berpikir seperti orang bodoh sehingga giat untuk selalu belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Imaji Si Ibu

5 Mei 2016   22:01 Diperbarui: 5 Januari 2017   11:12 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bekerja adalah integral kehidupan. Bekerja adalah hakekat kehidupan. Bekerja keharusan dalam menjalani kehidupan.

“Saya pikir, tidak ada hari yang panjang bagi orang yang sibuk bekerja. Kita harus lepas dari amnesia kerja. Keteguhan hati untuk bekerja, akan terhindar dari kompromi berleha-leha.”


Menjabarkan semua referensi yang ada, terkesan si Ibu ini adalah “bandel” bekerja.

Usia tua, semestinya masa tinggal beristirahat - masa menikmati hidup. Toh, tidak ada lagi yang harus ditanggulangi – dibiayai, apalagi diperjuangkan.

Satu waktu, satu “petisi” yang pernah disampaikan kepada beliau. Bagaimana, agar Ibu ini tinggal saja bersama dengan anak-anaknya, jadi tidak tinggal sendiri, karena tidak ada yang “mengawasi” kalau dia selalu “kabur” ke ladang dengan penuh aktivitas.

Argumentansi dengan penolakan halus pun sering dia sampaikan dengan sangat apik, aku kerja itu karena; “pikiranku menjadi sehat, tubuhku pun bergerak dan hatikupun terhibur.”

“Kalau dulu aku pergi ke ladang bekerja untuk mencukupkan kebutuhan, sekarang tidak, tidak untuk mencari uang lagi, tapi memang tidak bisa aku berdiam diri.”

Petisi itu pun runtuh.

Terkadang, seperti prasangka saudara dan koleganya pun sulit untuk dijawab, ketika mempertanyakan; “Kenapa si Ibu itu terus aja mau bekerja, sedikit pun tidak bisa diam.”

“Kalau aku berdiam diri, sepertinya badan sakit, dan akupun merasa seperti sibodoh-bodoh,” tuturnya.

Bekerja adalah rahmat jika ada keteguhan hati yang kuat, tulus dan jujur mengerjakannya. Bagi siapa pun, tentu kalimat ini menceritakan pada seseorang yang selalu semangat dan tak mudah menyerah.

Selalu dia berkata; “Jangan kalian larang saya pergi ke ladang, saya merasa lebih sehat kalau pergi ke ladang, saya tidak suka berdiam-diam diri dirumah. Dengan mengerjakan sesuatu di ladang, saya merasa lebih senang, bekerja itu obatnya sama aku, jadi jangan dilarang-larang ya!”

Salah satu kunci keberhasilan adalah mental kerja, jadi bukan bermental bersandar dan berdiam diri. Itu pasti. Dengan bekerja, seseorang akan dapat mengukur dinamika kemajuan dirinya. Dengan bekerja, seseorang akan pantas mendapat hak menikmati hasil kerjanya. Dengan bekerja, seseorang pasti lebih mengucap syukur karena merasakan berkat dan rahmatNya.

“Aku heran juga sama Ibu, usia sudah 78 tahun, terus..... aja sibuk, terus....aja kerja, apa pula lagi mau dicari ya.....?” tanyaku satu waktu.

“Ah....bisa saja kau ngomong begitu...., kau pikir aku pergi setiap hari ke ladang hanya untuk mencari uang seperti dulu? Tidaklah...., aku merasa lebih sehat saja kalau aku pergi ke ladang,” jawabnya.

Memang dapat dipastikan, tujuan kerja-kerja-kerja saat ini, bukan mencari uang. Tapi kan sudah tua, dan kalau terjadi sesuatu (tiba-tiba sakit) saat beraktivitas, tidak ada yang lihat, bagaimana?” kataku lagi.

“Kalian doakan saja, tidak ada yang perlu ditakutkan, biarpun sendiri.” tuturnya seperti menyakinkanku.

“Memang tidak ada yang perlu ditakutkan didunia ini, karena bukan kita juga yang atur dunia ini.” Kataku (rasa kecewa karena saran seperti tidak diterimanya).

Saya percaya; “Ada masa kehidupan - ada masa kematian. Saat kita masih hidup, hidup harus dijalani dan disemangati. Salah satu caranya adalah bekerja. Tak perlu kita pertanyakan kenapa harus bekerja, karena bekerja keharusan jika kita hidup. Bukan bekerja untuk hidup, tapi hidup untuk bekerja. Jika sudah tidak bekerja, seperti ada rasa kematian.”

Teguhkanlah hati dalam menjalani hidup, teruslah semangat dalam bekerja. Bekerjapun kemudian menjadi karakter hidup. Apa siklus ini yang “menghinggapi” dan “menghantui” diri si Ibu ini, sehingga tidak bisa berdiam diri?

Cobalah kau pikirkan, katanya; “Kalau bekerja karena satu tuntutan, itu sah-sah saja, lakukan saja terus. Tapi, jika sampai kalau terpaksa kita tidak bisa bekerja lagi, karena satu keadaan, apa yang kita rasakan dalam hidup ini, tentu sedikit mengalami kesulitan bukan?”

***

“Berilah aku kesempatan Suster.., kalau bisa, saya hanya di jadwal dinas malam sajalah ya Sus..?” Kata Ibu ini kepada Suster (kepala rumah sakit).

“Wah..., kenapa pula Ibu harus minta dinas malam terus, maksudnya bagaimana?” tanya suster (rasa penasaran).

“Itu kalau diijinkan oleh Suster..., saya ingin membuka penitipan bayi dan anak dirumah saya Sus....,jadi, dari pagi hari sampai siang saya dapat menjaganya (sampai orangtua mereka datang menjemput). Setelah itu, saya bisa pergi ke ladang lagi sampai sore Sus..” kata Ibu ini menambahkan.

“Hmmm...,” (berpikir dan tidak terucap apapun), suster itupun menatap si Ibu (tanda keprihatinan).

Suster sangat mengetahui persis pergumulan si Ibu, karena beliau sering mendengar dan melihat sendiri bagaimana perjuangan si Ibu ini membiayai empat orang anak sekolah dan duduk diperguruan tinggi. Dan, Ibu ini adalah seorang janda.

“Ibu saya ijinkan untuk dinas malam saja, ngak apa-apa....,” kata Suster.

“Terimakasih Suster....”jawabku, dalam hati aku berpikir, dan kataku; “apakah nanti teman-teman sekerja setuju ya, apakah ini bukan disebut pilih kasih, bagaimana ya Sus..?”

“Tak perlu kuatir Ibu....., saya yang akan menjelaskan jika ada yang bertanya, saya juga yang akan bertanggung jawab. Saya tahu perjuangan Ibu hanya untuk membiayai anak-anak sekolah, tidak lebih dari itu bukan?” tegas suster.

[Kala itu] Satu masa si Ibu ini menjalani 3 profesi dalam 1 hari selama 5 tahun. Ini memang tuntutan untuk bekerja dan benar-benar berjibaku. Seperti pil pahit harus ditelan.

“Semua ini pasti meringankan bebanku.” Pagi – siang: Menjaga bayi/anak, Siang – Sore: Bekerja di Ladang, Malam – Pagi: Dinas malam di rumah sakit. Jibaku!.

“Aku merasa sedih setiap pagi melihat berdatangan orangtua membawa bayi/anak-nya kerumah ini,” kata adiknya (sambari menghampiri si Ibu menitikkan airmata).

“Hehhh...., kenapa kau menangis didepanku...? Apa kau merasa aku malu dengan pekerjaan penitipan bayi dan anak ini, apakah kau merasa aku hina dengan menjaga bayi/anak, dengan “mengotori” tanganku membersihkan popok-popok ini, tidak-tidak.....saya senang mengerjakan ini semua?” tegasku padanya.

Sambil terus membenahi peralatan bayi/anak, kataku; “Jangan kau menagis disini, sudah, pergi saja kau bekerja, kerjakan kerjamu,”

“Bagaimana dengan kecukupan kiriman uang kepada anak-anak, apa cukup?” tanya adik ini lagi.

“Dicukup-cukupkanlah..., maka, inipun harus dikerjakan, supaya semua cukup, kan lumayan ada tambahan, kenapa harus malu mengerjakannya, kan tidak mencuri....?” tegas si Ibu.

Siang menjelang sore, si Ibu ini bergegas lagi berangkat ke ladang. Berharap dengan waktu yang masih ada, sepanjang matahari masih bercahaya, waktu bekerja masih ada.

“Lakukan saja pekerjaan-pekerjaan yang ada dihadapan kita, lakukan pula dengan segenap tenaga, semangat dan kerja keras, tentu, pasti akan menambahkan hasil yang diharapkan.”

Kalkulasi anggaran - hitungan matematika – jurnal pembukan “kehidupan” yang si Ibu ini jalani, tak pernah tuntas dengan argumen ekonomi. Tetap tegak dalam ketidak-seimbangan prediksi ekonomi apapun.

“Angka minus (berkekurangan) tidak pernah saya anggap sebagai malapetaka. Yang saya lakukan; mencukupkandan dicukup-cukupkan. Aku hanya menjalani kehidupan dengan bekerja seutuh-utuhnya setiap hari.”

Konsep “mencukup-cukupkan” dan “men-sempat-sempat” bersinergi dan berjalan bersama dalam irama; bekerja-bekerja-bekerja, maka, sedikit demi sedikit beban teratasi.

Semua ini mengitari pikiran si Ibu, menumbuhkan imajinasi kerja, terhindar dari bersandar dan berdiam diri dalam menghadapi realitas kehidupannya.

“Hei...ayo kita pulang, hari sudah mulai gelap”

“Apa lagi yang kau mau kerjakan...., besok juga masih ada waktu, seperti tidak ada hari lagi aja kau ini...,” kata tetangga diladang si Ibu mengajak pulang.

“Oh iya...sebentar lagi, masih terang aja aku lihat, hahahahaha....”jawabku (padahal matahari sudah terbenam, hanya ada terang awan putih yang semakin redup bercahaya).

“Hayolah.... ayo, sudahlah..besoklah itu,” ajak orang itu lagi.

“Iya, iya...sebentar lagi...aku sudah siap-siap ini,” jawabku lagi (padahal aku masih “memainkan” tanganku serasa tak mau henti, dan mata inipun seperti masih terang berderang).

Hidup harus dijalani, kesulitan harus dihadapi. Latar belakang seorang janda dengan menghidupi empat orang anak, saat itu, tidaklah mudah. mengandalkan penghasilan sebagai juru-rawat dan penerima pensiunan golongan muda II/a jauh dari garis kesimbangan neraca ekonomi yang dihadapi.

“Bekerja bagi saya adalah; autentisitas, keputusan antusiasme, dan juga satu otentitas. Aku menjalaninya setiap hari. Aku mungkin sinonim dengan kerja, ya, begitulah, karena aku senang bekerja.”

Harus selalu ada keyakinan; “bekerja pasti akan ada hasil, dan pasti menuju karya adiluhung.”

Dulu, berpikir dan bekerja selalu berjalan bersamaan, karena itu menuntut ketuntasan tinggi dalam mencapai sesuatu harapan. Imajinasi ini terpatri dibenaknya.

“Sekarang aku bersiul sambil bekerja, meraih hari-hari dengan hati, menjelang akhir hariku dengan senyum dan tawa.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun