“Hehhh...., kenapa kau menangis didepanku...? Apa kau merasa aku malu dengan pekerjaan penitipan bayi dan anak ini, apakah kau merasa aku hina dengan menjaga bayi/anak, dengan “mengotori” tanganku membersihkan popok-popok ini, tidak-tidak.....saya senang mengerjakan ini semua?” tegasku padanya.
Sambil terus membenahi peralatan bayi/anak, kataku; “Jangan kau menagis disini, sudah, pergi saja kau bekerja, kerjakan kerjamu,”
“Bagaimana dengan kecukupan kiriman uang kepada anak-anak, apa cukup?” tanya adik ini lagi.
“Dicukup-cukupkanlah..., maka, inipun harus dikerjakan, supaya semua cukup, kan lumayan ada tambahan, kenapa harus malu mengerjakannya, kan tidak mencuri....?” tegas si Ibu.
Siang menjelang sore, si Ibu ini bergegas lagi berangkat ke ladang. Berharap dengan waktu yang masih ada, sepanjang matahari masih bercahaya, waktu bekerja masih ada.
“Lakukan saja pekerjaan-pekerjaan yang ada dihadapan kita, lakukan pula dengan segenap tenaga, semangat dan kerja keras, tentu, pasti akan menambahkan hasil yang diharapkan.”
Kalkulasi anggaran - hitungan matematika – jurnal pembukan “kehidupan” yang si Ibu ini jalani, tak pernah tuntas dengan argumen ekonomi. Tetap tegak dalam ketidak-seimbangan prediksi ekonomi apapun.
“Angka minus (berkekurangan) tidak pernah saya anggap sebagai malapetaka. Yang saya lakukan; mencukupkandan dicukup-cukupkan. Aku hanya menjalani kehidupan dengan bekerja seutuh-utuhnya setiap hari.”
Konsep “mencukup-cukupkan” dan “men-sempat-sempat” bersinergi dan berjalan bersama dalam irama; bekerja-bekerja-bekerja, maka, sedikit demi sedikit beban teratasi.
Semua ini mengitari pikiran si Ibu, menumbuhkan imajinasi kerja, terhindar dari bersandar dan berdiam diri dalam menghadapi realitas kehidupannya.
“Hei...ayo kita pulang, hari sudah mulai gelap”