“Apa lagi yang kau mau kerjakan...., besok juga masih ada waktu, seperti tidak ada hari lagi aja kau ini...,” kata tetangga diladang si Ibu mengajak pulang.
“Oh iya...sebentar lagi, masih terang aja aku lihat, hahahahaha....”jawabku (padahal matahari sudah terbenam, hanya ada terang awan putih yang semakin redup bercahaya).
“Hayolah.... ayo, sudahlah..besoklah itu,” ajak orang itu lagi.
“Iya, iya...sebentar lagi...aku sudah siap-siap ini,” jawabku lagi (padahal aku masih “memainkan” tanganku serasa tak mau henti, dan mata inipun seperti masih terang berderang).
Hidup harus dijalani, kesulitan harus dihadapi. Latar belakang seorang janda dengan menghidupi empat orang anak, saat itu, tidaklah mudah. mengandalkan penghasilan sebagai juru-rawat dan penerima pensiunan golongan muda II/a jauh dari garis kesimbangan neraca ekonomi yang dihadapi.
“Bekerja bagi saya adalah; autentisitas, keputusan antusiasme, dan juga satu otentitas. Aku menjalaninya setiap hari. Aku mungkin sinonim dengan kerja, ya, begitulah, karena aku senang bekerja.”
Harus selalu ada keyakinan; “bekerja pasti akan ada hasil, dan pasti menuju karya adiluhung.”
Dulu, berpikir dan bekerja selalu berjalan bersamaan, karena itu menuntut ketuntasan tinggi dalam mencapai sesuatu harapan. Imajinasi ini terpatri dibenaknya.
“Sekarang aku bersiul sambil bekerja, meraih hari-hari dengan hati, menjelang akhir hariku dengan senyum dan tawa.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H