Mohon tunggu...
darwinarya
darwinarya Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Photographer Specialized Hotels and Resorts

Travel Enthusiast. Hospitality Photography Junkie

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Cobaan Berat Jurnalis Online dan Cetak Indonesia

3 Januari 2016   01:05 Diperbarui: 3 Januari 2016   08:06 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang kawan jurnalis media Bola, Dendy G Kusumah, beberapa waktu lalu mengirim pesan lewat Whatsapp ke saya, Minggu (27/12) malam. Tulisannya panjang, berupa artikel. Judulnya “Inikah Senjakala Kami”. Artikel tersebut ditulis oleh wartawan senior Kompas, Bre Redana.

Seusai membacanya, saya langsung protes ke Dendy, mengatakan bahwa hingga detik ini saya masih menggunakan notes sewaktu mencatat keterangan narasumber.

Sanggahan saya ditolak. Dendy justru ‘menantang’ saya untuk mengupas ‘isu panas’ tersebut. “Bikin tulisan dong. Analisa. Taruh di blog, he-he-he,” katanya.

Baiklah, saya terima tantangannya. Saya akan membahas artikel itu menurut pandangan saya pribadi.

Saya sudah menduga, apa yang ditulis Bre Redana bakal mengundang banyak komentar. Khususnya mereka yang berkecimpung di dunia jurnalistik.

Soal konsumsi informasi, orang jaman sekarang bisa dibilang rakus. Mulai dari berita aktual, gosip, menghasut sampai hoax, pun disantap. Hal itu dilakukan biar dibilang up to date. Malu dong, kalau ada orang ajak ngobrol isu terkini, kita tidak bisa meresponnya?

Itulah kenapa sekarang ini banyak bermunculan media online. Semata-mata untuk memenuhi permintaan pembaca akan informasi terkini. Kalau bisa, sekarang terjadi peristiwa, detik ini juga dimuat.

Masalahnya, untuk mengejar kecepatan pemberitaan ada faktor lain yang ikut dikorbankan, yakni keakuratan. Ignatius Haryanto dalam bukunya, “Jurnalisme Era Digital” sudah menjelaskannya secara gamblang tentang permasalahan ini. Dikatakannya, “Speed is not a friend of accuracy”.

Apa yang dikatakan Ign Haryanto terbukti. Sebagai contoh, saya kupas dua buah artikel media online berikut,

Bulan Desember lalu, saya menemukan kesalahan fatal yang dilakukan Tribun Surabaya. Mereka tidak melakukan verifikasi lebih dulu ke pihak Kebun Binatang Surabaya (KBS) mengenai isu kehamilan Marylin. Percaya begitu saja kepada media asing yang tidak jelas asal-usulnya maupun kredibilitasnya.

Tribun Surabaya tertimpa sial. Setelah ditelusuri, baik ‘korban’ maupun pelaku yang diberitakan ternyata fiktif. Habis lah mereka. Tidak hanya panen cemoohan banyak orang dan media lain, kredibilitas mereka juga ikut jatuh.

Padahal, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, dua wartawan senior Amerika, dalam bukunya berjudul “The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect (2001)” menulis, esensi dari jurnalisme adalah disiplin dalam melakukan verifikasi.

Saya ambil contoh lain, Tribun Bali. AA Gde Putu Wahyura menurunkan berita, “Mangku Pastika Keluarkan Edaran Turunkan Baliho Ormas di Bali”, Selasa (29/12) pk 9.38 Wita.

Terdapat ketidak-berimbangan pada artikel tersebut. Wahyura hanya berfokus pada satu sisi, yakni instansi pemerintah. Pernyataan dari masing-masing ketua Ormas tidak ter-cover. Begitu pula dengan suara masyarakat. Artinya, Wahyura tidak melakukan cover both sides.

Kembali lagi ke artikel Bre Redana. Pada paragraf ke-6, ia menulis, “Inilah era baru dunia media masa, dengan sifat bergegas, serba cepat, tergopoh-gopoh. Mereka berilusi menampilkan informasi yang pertama, yang tercepat, sekaligus lupa, bahwa yang pertama belum tentu yang terbaik”.

Berkaca dari dua pemberitaan di atas, apa yang ditulis wartawan senior Kompas, menurut saya, BENAR.

Akan tetapi, saya tidak yakin dengan tulisan Bre pada paragraf ke-7 yang mengatakan: “Seorang teman yang berkecimpung sejak lama di dunia public relations menuturkan, enak menghadapi wartawan sekarang. Tinggal sediakan press release. Mereka melakukan copy paste dari press release tadi apa adanya. Tidak perlu pusing menjawab pertanyaan, karena mereka tidak bertanya. Dalam press tour ke luar negeri untuk peliputan masalah tertentu, pertanyaan hanyalah kapan free time atau waktu senggang. Mereka ingin jalan-jalan, belanja.”

Benarkah hal itu hanya dilakukan oleh wartawan online? Saya rasa wartawan cetak pun memiliki kesempatan sama.

Meski demikian, kecil kemungkinan jurnalis online bisa bersantai, jalan-jalan, apalagi belanja. Redaksi bisa ‘teriak-teriak’ kalau jumlah tulisan yang disetor tidak memenuhi kuota. Artinya, mau tidak mau, jurnalis online harus menempel ketat narasumber yang sedang diberitakan.

Lantas, apakah salah jika wartawan online mengandalkan alat rekam? Saya rasa tidak.

Dengan alat rekam, kita bisa mendokumentasikan tiap perkataan yang dilontarkan narasumber secara detail. Seumpama narasumber menyangkal dengan apa yang ditulis, hasil rekaman tadi bisa dijadikan bukti kuat yang tak terbantahkan. Beda halnya dengan mencatatat, narasumber masih bisa berkilah. “Ah itu kan kamu yang menambahkan”.

Dengan merekam pula, wartawan online bisa melakukan pengamatan terhadap sumber berita yang ditemui. Memperhatikan ekspresi atau bahasa tubuh narasumber sewaktu memberikan statement, melakukan kontak mata, dan lain sebagainya. Dari pengamatan itulah seorang jurnalis online bisa menambahkan unsur humanis ke dalam tulisan sehingga terasa lebih hidup.

Atas kecanggihan gadget juga, jurnalis online bisa meminta keterangan narasumber tanpa mengenal batasan ruang dan waktu. Semisal pejabat yang ingin diwawancarai sedang berada di luar negeri, masa iya harus menunggunya sampai tiba di tanah air? Bisa kalah cepat dengan media lain kalau begitu caranya.

Intinya adalah, peran teknologi serta kemudahan akses dalam peliputan berita, telah banyak membantu dan mengubah dunia jurnalistik Indonesia jaman sekarang.

Walau demikian, media online juga harus banyak mengkoreksi diri. Jangan hanya fokus pada kecepatan semata. Keakuratan informasi justru dikorbankan. Cukuplah Tribun Surabaya saja yang termakan ‘jebakan betmen’.

Keterpurukan Media Cetak

Tulisan Bre Redana berjudul “Inikah Senjakala Kami” bisa jadi dipicu oleh banyaknya kantor berita yang gulung tikar akhir-akhir ini. Keputusan itu terpaksa diambil lantaran tak sanggup menanggung biaya produksi dan tenaga kerja.

Wartawan cetak pun terkena imbasnya. Bolaperjuangan menulis, sebanyak 18 karyawan Kompas Gramedia terkena PHK secara sepihak. Sementara 3 staf KompasTV, M. Iqbal Syadzali, Fadhila Ramadhona dan Rian Suryalibrata, dipaksa mengundurkan diri dari tempat mereka bekerja.

Runtuhnya media cetak, sebetulnya sudah lama diprediksi. Sejak meledaknya era digital dibarengi kecanggihan teknologi. Apa yang ditakutkan selama ini menjadi kenyataan. Kebiasaan membaca berita mulai bergeser dari versi cetak ke online.

Jangankan media nasional, media asing sebesar The New York Times dan The Washington Post, sudah diterjang badai kekalutan lebih dulu.

Coba anda tonton film dokumenter, “Page One: Inside The New York Times (2011)

Akhir tahun 2009, NYTimes merumahkan pegawai newsroom sebanyak 100 orang. Bill Keller, Executive Editor NYTimes (periode 2003 - 2011), mengatakan hal ini pada menit ke-42:

We are not a specialized newspaper, we're a general interest newspaper. And we try to be excellent at everything from foreign coverage, to education coverage, to arts, to sports. You know, we're large, but there's not a lot of slack in the system

NYTimes hanya memakai orang-orang pilihan yang memiliki kemampuan serta keterampilan berburu berita di atas rata-rata.

Kembali lagi ke persoalan media dalam negeri. Apakah masa kritis macam ini merupakan akhir dari segalanya? Saya katakan TIDAK. Keadaan genting saat ini, harusnya dijadikan cambuk semangat bagi wartawan cetak untuk terus memperbaiki mutu pemberitaan yang mereka sajikan.

Wartawan cetak tidak bisa menandingi kecepatan pemberitaan versi online. Meski demikian, bukan berarti tanpa celah dan kelemahan. Kekurangan itulah yang harus dimanfaatkan media cetak sebaik mungkin.

Menurut saya, pemberitaan media online hanya ‘menggaruk’ lapisan terluar suatu peristiwa. Banyak hal yang belum ter-cover atau diungkap. Di sinilah kesempatan media cetak untuk melengkapi kekosongan itu. Menyajikan berita lebih mendalam dan mendetail.

Begitu juga dengan bobot berita yang sedang digarap. Sebagai pembaca, saya tidak mau membaca artikel yang biasa-biasa saja. Pengen-nya yang pedas sekaligus nyelekit. Bongkar kasus pejabat maupun penguasa yang belum tersentuh.

Sekarang lah waktunya wartawan cetak menunjukkan kegarangannya berburu berita yang berkualitas. Tunjukkan taringmu! Ada pejabat nekat korupsi, sikat! Jangan malah mlempem berlindung di balik ketiak penguasa.

Selain mutu tulisan, kami para pembaca juga menuntut gaya penulisan yang luwes seperti bercerita (feature). Bukan jamannya lagi media cetak menyajikan berita dengan bahasa kaku. Tulisan baku (hardnews) serahkan saja ke bagian online.

Artikel yang disajikan dengan gaya bahasa luwes seperti bercerita, terbukti ampuh menyamankan mata para pembaca. Tulisan terasa lebih bernyawa. Kalau sudah begitu, saya rasa, mau dibuang pun sayang. Tidak menutup kemungkinan akan disimpan untuk dibaca ulang dilain waktu.

Kalau sudah menyangkut pemberitaan yang mendalam dan detail serta ditulis dengan gaya bahasa bercerita, saya yakin, media online langsung angkat tangan. Terlalu kompleks bin njelimet.

Sekarang bayangkan saja, mencatat lewat smartphone dengan seabrek materi, kemudian membaca lantas menyusun ulang, memangnya gampang? Ujung-ujungnya, notes dan pena tinta lah sahabat paling nyaman untuk dipergunakan.

Berlebihan kah tuntutan kami para pembaca? Saya rasa tidak.

Memang rumit. Perlu kemampuan, keahlian dan waktu tidak sebentar untuk menyusun itu semua hingga menjadi produk jadi. Tapi justru itulah tantangan berat yang harus dihadapi wartawan cetak jaman sekarang. Itu menurut saya pribadi.

Siapa yang tidak bisa mengikuti irama permainan, ya ditinggal pembaca. Siapa juga yang mau beli koran kalau isi beritanya ecek-ecek? Apalagi informasi yang disampaikan nyaris mirip dengan media online.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun