NYTimes hanya memakai orang-orang pilihan yang memiliki kemampuan serta keterampilan berburu berita di atas rata-rata.
Kembali lagi ke persoalan media dalam negeri. Apakah masa kritis macam ini merupakan akhir dari segalanya? Saya katakan TIDAK. Keadaan genting saat ini, harusnya dijadikan cambuk semangat bagi wartawan cetak untuk terus memperbaiki mutu pemberitaan yang mereka sajikan.
Wartawan cetak tidak bisa menandingi kecepatan pemberitaan versi online. Meski demikian, bukan berarti tanpa celah dan kelemahan. Kekurangan itulah yang harus dimanfaatkan media cetak sebaik mungkin.
Menurut saya, pemberitaan media online hanya ‘menggaruk’ lapisan terluar suatu peristiwa. Banyak hal yang belum ter-cover atau diungkap. Di sinilah kesempatan media cetak untuk melengkapi kekosongan itu. Menyajikan berita lebih mendalam dan mendetail.
Begitu juga dengan bobot berita yang sedang digarap. Sebagai pembaca, saya tidak mau membaca artikel yang biasa-biasa saja. Pengen-nya yang pedas sekaligus nyelekit. Bongkar kasus pejabat maupun penguasa yang belum tersentuh.
Sekarang lah waktunya wartawan cetak menunjukkan kegarangannya berburu berita yang berkualitas. Tunjukkan taringmu! Ada pejabat nekat korupsi, sikat! Jangan malah mlempem berlindung di balik ketiak penguasa.
Selain mutu tulisan, kami para pembaca juga menuntut gaya penulisan yang luwes seperti bercerita (feature). Bukan jamannya lagi media cetak menyajikan berita dengan bahasa kaku. Tulisan baku (hardnews) serahkan saja ke bagian online.
Artikel yang disajikan dengan gaya bahasa luwes seperti bercerita, terbukti ampuh menyamankan mata para pembaca. Tulisan terasa lebih bernyawa. Kalau sudah begitu, saya rasa, mau dibuang pun sayang. Tidak menutup kemungkinan akan disimpan untuk dibaca ulang dilain waktu.
Kalau sudah menyangkut pemberitaan yang mendalam dan detail serta ditulis dengan gaya bahasa bercerita, saya yakin, media online langsung angkat tangan. Terlalu kompleks bin njelimet.
Sekarang bayangkan saja, mencatat lewat smartphone dengan seabrek materi, kemudian membaca lantas menyusun ulang, memangnya gampang? Ujung-ujungnya, notes dan pena tinta lah sahabat paling nyaman untuk dipergunakan.
Berlebihan kah tuntutan kami para pembaca? Saya rasa tidak.