Padahal, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, dua wartawan senior Amerika, dalam bukunya berjudul “The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect (2001)” menulis, esensi dari jurnalisme adalah disiplin dalam melakukan verifikasi.
Saya ambil contoh lain, Tribun Bali. AA Gde Putu Wahyura menurunkan berita, “Mangku Pastika Keluarkan Edaran Turunkan Baliho Ormas di Bali”, Selasa (29/12) pk 9.38 Wita.
Terdapat ketidak-berimbangan pada artikel tersebut. Wahyura hanya berfokus pada satu sisi, yakni instansi pemerintah. Pernyataan dari masing-masing ketua Ormas tidak ter-cover. Begitu pula dengan suara masyarakat. Artinya, Wahyura tidak melakukan cover both sides.
Kembali lagi ke artikel Bre Redana. Pada paragraf ke-6, ia menulis, “Inilah era baru dunia media masa, dengan sifat bergegas, serba cepat, tergopoh-gopoh. Mereka berilusi menampilkan informasi yang pertama, yang tercepat, sekaligus lupa, bahwa yang pertama belum tentu yang terbaik”.
Berkaca dari dua pemberitaan di atas, apa yang ditulis wartawan senior Kompas, menurut saya, BENAR.
Akan tetapi, saya tidak yakin dengan tulisan Bre pada paragraf ke-7 yang mengatakan: “Seorang teman yang berkecimpung sejak lama di dunia public relations menuturkan, enak menghadapi wartawan sekarang. Tinggal sediakan press release. Mereka melakukan copy paste dari press release tadi apa adanya. Tidak perlu pusing menjawab pertanyaan, karena mereka tidak bertanya. Dalam press tour ke luar negeri untuk peliputan masalah tertentu, pertanyaan hanyalah kapan free time atau waktu senggang. Mereka ingin jalan-jalan, belanja.”
Benarkah hal itu hanya dilakukan oleh wartawan online? Saya rasa wartawan cetak pun memiliki kesempatan sama.
Meski demikian, kecil kemungkinan jurnalis online bisa bersantai, jalan-jalan, apalagi belanja. Redaksi bisa ‘teriak-teriak’ kalau jumlah tulisan yang disetor tidak memenuhi kuota. Artinya, mau tidak mau, jurnalis online harus menempel ketat narasumber yang sedang diberitakan.
Lantas, apakah salah jika wartawan online mengandalkan alat rekam? Saya rasa tidak.
Dengan alat rekam, kita bisa mendokumentasikan tiap perkataan yang dilontarkan narasumber secara detail. Seumpama narasumber menyangkal dengan apa yang ditulis, hasil rekaman tadi bisa dijadikan bukti kuat yang tak terbantahkan. Beda halnya dengan mencatatat, narasumber masih bisa berkilah. “Ah itu kan kamu yang menambahkan”.
Dengan merekam pula, wartawan online bisa melakukan pengamatan terhadap sumber berita yang ditemui. Memperhatikan ekspresi atau bahasa tubuh narasumber sewaktu memberikan statement, melakukan kontak mata, dan lain sebagainya. Dari pengamatan itulah seorang jurnalis online bisa menambahkan unsur humanis ke dalam tulisan sehingga terasa lebih hidup.