"Malam tahun baru cuma terjadi setahun sekali kok di rumah saja." Senin menimpali. Napasnya masih terlihat stabil. Tidak sepertiku.
"Iya. Keluarlah. Melihat keramaian kota, kemeriahan kembang api. Atau jangan-jangan sekarang kamu percaya kalau merayakan tahun baru itu haram?" Kata Minggu lebih agresif. Senin tertawa.
Aku tersenyum kecut. Mereka sepertinya memang tidak mampu menyelami diriku yang sebenarnya. Mereka seakan tak pernah curiga mengapa selama ini aku tidak pernah ke masjid, gereja, pura, ataupun kelenteng. Tapi tak mengapa, pikiran mereka kupikir memang sudah terlampau penuh oleh urusan pekerjaan dan keluarga. Aku memakluminya.
"Bukan gitu. Males aja, di mana-mana macet. Terlalu ramai." Aku memberikan jawaban praktis.
Aku memang tak terlalu menyukai keramaian yang berlebihan. Terlebih kemacetan yang aku sendiri sebenarnya sudah tahu kalau itu bakalan terjadi. Berada di sana, sering kali aku merasa seperti orang bodoh.
"Ya namanya tahun baru. Wajarlah kalau ramai dan macet." Sanggah Minggu.
Kami sudah berlari mungkin lebih dari satu kilometer. Aku sudah semakin dapat mengontrol diri. Napasku mulai stabil.
"Siapa tahu nanti ketemu jodoh." Senin menambahkan dengan pernyataan basinya. Dibanding Minggu, Senin memang lebih intens membujukku ntuk segera menikah.
"Kalian bagaimana, malam tahun baru pasti lembur ya?" Aku melontarkan pertanyaan yang sangat bodoh. Kalau suasana hati mereka sedang sensitif, pastilah akan tersinggung.
"Itu jelas. Mereka pasti lembur!" Kutukku dalam hati. "Kau sudah tahu jawabannya!"
Mereka berdua terdiam. Tak ada yang langsung menjawab pertanyaanku. Aku mulai khawatir, kalau-kalau mereka benar-benar tersinggung.