Mohon tunggu...
Darul Azis
Darul Azis Mohon Tunggu... Administrasi - Wirausahawan

Wirausahawan yang terkadang menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cerpen| Melihat Senin dan Minggu Menyiapkan Diri Untuk Tahun Baru

30 Desember 2017   15:28 Diperbarui: 30 Desember 2017   15:28 781
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Malam Tahun Baru di Jogja [Foto via mamikos.com]

Kamis, 28 Desember 2017

Beberapa hari belakangan ini, tetangga kontrakanku Minggu dan Senin jadi terlihat semakin rajin berolahraga. Ini di luar kebiasaan mereka. Karena biasanya, jangankan berolahraga, pergi ke warung dekat kontrakan saja mereka selalu naik motor. Padahal kalau ditempuh dengan jalan kaki pun, tak butuh waktu lebih dari tiga menit. Atau kalau itu terlalu melelahkan, mereka bisa memakai sepedaku yang memang lebih sering menganggur.

Tapi meski demikian, aku tak mau menyalahkan mereka. Karena selama 8 jam di tempat kerjanya, mereka harus berjalan mondar-mandir atau berdiri mengawasi orang-orang kota ini, yang karena sudah semakin berpendidikan dan maju, mereka minta untuk terus diawasi, dan tentu saja dilayani.

Selama 8 jam itu pula, mereka tidak boleh duduk beristirahat. Kecuali ketika masuk waktu salat. Dari cerita-cerita mereka aku pun jadi tahu, di tempat kerja, datangnya waktu salat menjadi waktu yang sangat mereka tunggu-tunggu. Tidak seperti ketika mereka di kontrakan.

Pagi tadi, selepas orang-orang pulang dari masjid untuk salat subuh, Minggu dan Senin sudah bersiap untuk lari pagi.  Aku yang memang belum tidur semalaman menyaksikan mereka begitu bergairah untuk berolahraga pagi.

"Tumben kalian lari pagi?" Aku menegur mereka berdua yang tengah melakukan peregangan badan.

"Biar sehat Bro," Minggu menjawab singkat. Disusul oleh anggukan kepala Senin. Tentu itu bukan jawaban yang kuinginkan, karena kalau cuma itu aku sudah tahu.

"Ayo ikut!" Senin mengajakku.

Aku langsung menggeleng. Semalaman aku tidak tidur, mana mungkin aku akan lari pagi. Lagi pula, pekerjaanku belum selesai. Mungkin aku harus lembur sampai nanti siang, sebagaimana aku telah berjanji pada klienku bahwa pekerjaanku akan selesai hari ini.

"Lain kali saja." Jawabku singkat.

"Ya sudah kalau gitu, kami berangkat dulu." Kata Senin berpamitan.

Sesaat kemudian mereka berangkat. Meninggalkanku seorang diri di teras kontrakan. Kopiku sudah dingin, tapi kepalaku semakin panas.

****

Jumat, 29 Desember 2017

Sore tadi, sepulang dari mengurus NPWP kantor dan membayar tunggakan pajak, tiba-tiba terbersit dalam pikiranku untuk mampir ke tempat Minggu dan Senin bekerja. Sudah lama aku ingin melakukan ini, namun baru sempat tadi. Itu pun tanpa rencana, karena kebetulan tempat Minggu dan Senin bekerja berdekatan dengan kantor pajak.

Dalam perjalanan aku berpikir pasti asyik juga bisa menyaksikan teman-temanku bekerja. Aku bisa mengamati, menyelami, atau berpura-pura menjadi seorang pengawas yang mengintai dan menilai kinerja mereka. Ini juga akan menjadi bahan yang baik untuk kami ngobrol nanti. Sehingga aku bisa memberikan tanggapan yang lebih bernilai ketika mereka menceritakan pekerjaannya. Tidak seperti yang dulu-dulu, hanya mendengar dan manggut-manggut karena memang aku begitu paham.

Meski cukup dekat, namun ternyata aku membutuhkan waktu kurang lebih tiga puluh menit untuk mendekati area kerja kedua temanku itu. Lalu lintas hari ini begitu padat. Tak hanya itu, aku pun begitu kesulitan mencari tempat untuk memarkir kendaraanku. Sampai kemudian aku harus masuk ke sebuah pusat perbelanjaan dan memarkir kendaraan di sana. Ini merupakan pilihan paling praktis dan masuk akal.

Selesai urusan parkir, aku kemudian menuju tempat kerja kedua temanku itu. Dan walhasil, tanpa mereka ketahui, aku bisa menyaksikan dari dekat bagaimana mereka bekerja. Dari pojok sebuah kedai kopi modern, aku bisa melihat dengan jelas kesibukan mereka. Dan benar, mereka tak memperoleh kesempatan untuk duduk istirahat sejenak, kecuali ketika waktu salat tiba. Melihat mereka bekerja, aku jadi berpikir bahwa mereka benar-benar tipe manusia pekerja keras, dan kuat. Seketika rasa banggaku terhadap mereka muncul, lebih kuat.

Tapi sesaat kemudian, aku juga merasakan betapa beratnya beban kerja mereka. Selama ini aku hanya bisa membayangkan--dan kemudian turut merasakan-- semua itu dari keluhan masing-masing, ketika kami berbincang di teras kontrakan. Ya, rasanya memang benar. Beban kerja mereka terlampau berat.

Kota ini sudah kian ramai oleh manusia-manusia lemah dan manja, yang tampaknya tidak begitu peduli bahwa mereka saat ini hidup di zaman yang begitu cepat serta melelahkan. Mereka, manusia-manusia lemah dan manja itu, sedikit-sedikit ingin dilayani dan diberi kenyamanan seolah mereka lupa bahwa semua itu justru akan membuat mereka terlena. Untuk manusia-manusia semacam itulah kedua temanku itu bekerja.

Mereka nyaris bekerja setiap hari. Tanpa jeda libur, kecuali ketika badan dalam kondisi sakit. Mereka harus ada setiap waktu, melayani orang-orang (yang berdatangan ke) kota ini dengan sebaik-baiknya. Undang-undang ketenagakerjaan hampir tak berlaku bagi mereka. Mereka bekerja tiada henti, karena tuntutan atasan, pelanggan, dan juga zaman.

Tunggu. Sampai di sini kau jangan salah kira dulu. Aku tidak sedang mengasihani mereka berdua, karena aku yakin mereka tidak akan suka untuk dikasihani. Aku sangat mengenal mereka. Dikasihani, bagi mereka adalah sama dengan sedang direndahkan martabatnya.

Ketahuilah, aku bercerita begini sekadar untuk berbagi. Itu saja, tidak lebih. Toh aku yakin, Minggu dan Senin juga sangat berterima kasih dan merasa beruntung karena sudah diberi kesempatan untuk bekerja di sana. Perkara beban kerja yang terlampau berat, kukira itu merupakan persoalan lain. Yang jelas, anak dan istri mereka bisa makan tiap hari karenanya. Itu lebih penting bagi mereka berdua.

Selain itu, aku bercerita begini juga karena tuntutan. Tulisan ini nanti akan kukirim pada sebuah grup WA bernama Dakwah Cinta. Di sana aku harus mengirim tulisan setiap hari. Tanpa libur, kecuali kalau badan dalam kondisi sakit. Cuma itu.

****

Sabtu, 30 Desember 2017

Kalau bukan karena demi ingin mengetahui sebab mengapa Senin dan Minggu belakangan ini rajin lari pagi, barangkali aku pagi tadi tidak akan turut lari bersama mereka. Kalau bukan karena aku sudah telanjur bercerita padamu tentang mereka, barangkali pagi tadi aku masyuk bekerja dan kemudian baru tidur pada pukul 6 paginya.

Semenjak hidup di kota, aku berubah menjadi orang yang payah dalam berolah raga. Tidak seperti waktu hidup di kampung dulu, yang pekerjaan sehari-hariku memerlukan tenaga lebih sehingga setiap hari secara langsung aku juga berolah raga.

Di kota ini, aktivitas fisikku sangat kurang. Ditambah lagi aku terlampau sering bergadang, dan tentu saja kopi dan rokok selalu menemani. Terkadang bahkan diselingi oleh bir dan beberapa minuman suplemen. Pagi hari aku baru tidur, bangun pada siang hari dan kemudian berangkat ke kantor menjelang jam istirahat siang. Begitu terus setiap hari, bahkan kadang kalau pekerjaanku sedang menumpuk, pagi sampai siang aku tidak tidur. Melainkan melembur pekerjaan.

Tadi sebelum berangkat lari pagi, aku menyempatkan diri bertelanjang di depan cermin. Kuamati tubuhku secara lebih detail dan lama. Aku baru sadar, ternyata tubuhku terlihat begitu ringkih dan kurus. Seperti badan yang tak pernah diurus. Seketika itu niatku sedikit berubah, tak hanya ingin tahu alasan kedua temanku jadi rajin berolah raga, tapi juga karena aku pun sepertinya memang butuh olah raga.

Pukul 05.00, kami bertiga akhirnya berangkat.

"Tahun baru ada rencana ke mana, Dab?" Minggu bertanya padaku yang sudah kesulitan mengatur napas walau kami baru berlari beberapa ratus meter saja. Sepertinya aku terlalu bersemangat.

"Tidak ke mana-mana. Di rumah saja." Jawabku sambil terangah-engah.

"Malam tahun baru cuma terjadi setahun sekali kok di rumah saja." Senin menimpali. Napasnya masih terlihat stabil. Tidak sepertiku.

"Iya. Keluarlah. Melihat keramaian kota, kemeriahan kembang api. Atau jangan-jangan sekarang kamu percaya kalau merayakan tahun baru itu haram?" Kata Minggu lebih agresif. Senin tertawa.

Aku tersenyum kecut. Mereka sepertinya memang tidak mampu menyelami diriku yang sebenarnya. Mereka seakan tak pernah curiga mengapa selama ini aku tidak pernah ke masjid, gereja, pura, ataupun kelenteng. Tapi tak mengapa, pikiran mereka kupikir memang sudah terlampau penuh oleh urusan pekerjaan dan keluarga. Aku memakluminya.

"Bukan gitu. Males aja, di mana-mana macet. Terlalu ramai." Aku memberikan jawaban praktis.

Aku memang tak terlalu menyukai keramaian yang berlebihan. Terlebih kemacetan yang aku sendiri sebenarnya sudah tahu kalau itu bakalan terjadi. Berada di sana, sering kali aku merasa seperti orang bodoh.

"Ya namanya tahun baru. Wajarlah kalau ramai dan macet." Sanggah Minggu.

Kami sudah berlari mungkin lebih dari satu kilometer. Aku sudah semakin dapat mengontrol diri. Napasku mulai stabil.

"Siapa tahu nanti ketemu jodoh." Senin menambahkan dengan pernyataan basinya. Dibanding Minggu, Senin memang lebih intens membujukku ntuk segera menikah.

"Kalian bagaimana, malam tahun baru pasti lembur ya?" Aku melontarkan pertanyaan yang sangat bodoh. Kalau suasana hati mereka sedang sensitif, pastilah akan tersinggung.

"Itu jelas. Mereka pasti lembur!" Kutukku dalam hati. "Kau sudah tahu jawabannya!"

Mereka berdua terdiam. Tak ada yang langsung menjawab pertanyaanku. Aku mulai khawatir, kalau-kalau mereka benar-benar tersinggung.

"Itu sudah pasti," Minggu akhirnya berkata, "Malam tahun baru dan tanggal 1 Januari akan menjadi hari yang paling melelahkan."

"Karena itulah, kami berlatih fisik dalam beberapa hari belakangan ini." Senin menegaskan.

Gol! Aku sudah mendapatkan jawabannya. Seketika aku berpikir untuk langsung pulang saja dan segera menuliskan cerita ini. Tapi setelah kupikir-pikir lagi, itu bukan keputusan yang pantas. Kalau sekadar untuk menulis cerita, aku bisa menyimpannya dulu dalam kepala. Dalam tempo yang sangat singkat aku segera mampu menguasai diri dan memutuskan untuk melanjutkan lari pagi bersama mereka.

"Atasan kalian pasti bangga punya pegawai seperti kalian." Aku memuji. Membesarkan hati mereka berdua.

"Tahun ini kami dinobatkan sebagai pegawai terbaik." Kata Minggu bergembira.

"Sungguh?"

Senin mengangguk mantap sambil melempar senyum penuh wibawa.

"Selamat.....selamat!" ujarku seraya menyalami mereka berdua dengan mantap. "Aku bangga punya teman seperti kalian." Minggu dan Senin hanya mengangguk dan tersenyum.

Kami terus berlari. Dadaku mengembang. Udara pagi kota ini kurasakan begitu segar dan cuaca terlihat sangat cerah dan menyenangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun