Mohon tunggu...
Darmawan bin Daskim
Darmawan bin Daskim Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang petualang mutasi

Pegawai negeri normal

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Antara Menyesal dan Tidak

9 Maret 2022   15:37 Diperbarui: 10 Maret 2022   08:29 286
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bukan pilihan cita-cita profesi

“Pap, nanti setelah Wawan lulus dari kampus ini, bakal jadi pegawai negeri ya?”

Pertanyaan nakal itu diajukan kepada bapak persis saat mengantri daftar tes masuk ke sebuah kampus plat merah pada tahun 1995 selepas lulus SMA.

Profesi pegawai negeri adalah profesi yang sama sekali tidak pernah diimpikan sebelumnya. Egonya jiwa muda saat itu menginginkan sebuah profesi layaknya seorang eksekutif muda yang sering dilihat di film dan sinetron.

Sebenarnya pertanyaan nakal tadi senada dengan kisah bapak saat mudanya setengah dipaksa kakek untuk bekerja pada sebuah instansi pemerintahan vertikal di akhir tahun 1960-an.

Dikisahkan waktu itu bapak sedang asyik bekerja sebagai loper di Jakarta. Karena kakek berstatus sebagai pimpinan pada sebuah instansi pemerintahan vertikal yang berkantor di Kota Cirebon, kakek memerintahkan bapak untuk datang ke Cirebon dan melamar kerja di kantor yang sedang kakek pimpin.

Dengan pertimbangan penghasilan loper di Jakarta lebih besar dari gaji dan/atau tunjangan pegawai negeri, bapak menolak perintah kakek melamar kerja di instansi pemerintahan vertikal tersebut.

Setelah dijelaskan kakek bahwa bekerja sebagai pegawai negeri memiliki masa depan alias tetap mendapatkan gaji dan/atau sampai pensiun, bapak setengah hati memenuhi perintah kakek.

Memang profesi pegawai negeri saat itu bukan suatu profesi yang diimpikan oleh banyak para pencari kerja. Jangankan di tahun 1960-an, di tahun 1995-an pun profesi pegawai negeri belum banyak diminati, bahkan di awal 2000-an pun demikian, terbukti adik yang enggan mendaftar ke kampus plat merah tersebut, meski secara kemampuan akademis dia mumpuni.

Berlalu waktu, kini minat para pencari kerja pada profesi pegawai negeri makin meningkat, seiring dengan kenaikan gaji dan/atau pegawai negeri meski perlahan. Menjadi sebuah debat jika bicara tentang cukup tidaknya gaji dan/atau yang diterima seorang pegawai negeri saat ini. Namun, setidaknya sudah mulai ada perbaikan dari masa ke masa.

Bila frasa “mempunyai banyak harta (uang dan sebagainya)” yang kita gunakan dalam mendefinisikan kata “kaya” berdasarkan KBBI, secara matematis gaji/dan tunjangan yang diterima seorang pegawai negeri tidak akan membuat dirinya kaya.

Kata “cukup” mungkin yang lebih tepat untuk menggambarkan besaran gaji/dan tunjangan pegawai negeri karena dalam KBBI kata “cukup” didefinisikan dapat memenuhi kebutuhan atau memuaskan keinginan dan sebagainya; tidak kurang.

“Kalau mau kaya, jangan jadi pegawai negeri!” kalimat yang sering terdengar. Pun banyak tersebar opini maupun artikel di media online yang senada mengatakan kalimat tadi.

Bagaimana menjadi pegawai negeri yang kaya?

Jika Anda yang sudah “terlanjur” jadi pegawai negeri, tetapi tetap ingin kaya, upaya apa yang akan Anda lakukan?

Satu upaya yang dapat dilakukan adalah mempunyai usaha bisnis dengan syarat ketentuan berlaku. Tak mudah memang sukses berbisnis, terlebih bila Anda berstatus pegawai negeri.

Sayangnya hanya itu yang mungkin dapat Anda lakukan sebagai pegawai negeri bila tetap ingin kaya. Ada sih upaya lain yang relatif “mudah”, tetapi sangat berisiko bagi karier dan keselamatan Anda sebagai pegawai negeri, yaitu korupsi.

Korupsi di sini tidak sebatas definisi “korupsi” berdasarkan KBBI, yaitu penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Definisi tersebut yang mungkin masih banyak dipahami banyak orang. Seakan-akan yang namanya korupsi itu hanya sebatas mencuri uang negara.

Korupsi yang seharusnya dipahami orang, khususnya Anda sebagai pegawai negeri adalah korupsi sebagaimana yang diuraikan ancamannya pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam UU tersebut dijabarkan ancaman hukuman korupsi terhadap tindak pidana korupsi berupa tindakan mencuri uang negara, penyuapan, pungutan liar, maupun gratifikasi terkait jabatan.

Penjabaran ancaman hukuman korupsi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut memang banyak, selain juga kepada pengguna layanan publik tentunya.

Peluang korupsi seorang pegawai negeri

Kondisi tersebut seperti membenarkan “kutukan” Presiden Amerika Serikat, Harold Wilson yang mengatakan bahwa birokrasi adalah salah satu solusi atas masalah administrasi publik yang dia anggap korup dan membingungkan. Kutipan yang diambil dari buku Birokrasi dan Governance (Teori, Konsep, dan Aplikasinya) karya Amy Y.S. Rahayu dan Vishnu Juwono tersebut memang tidak secara langsung menyebut bahwa pegawai negeri itu korup. Namun, administrasi publik yang disebutkan dalam pernyataan tersebut menuju kepada pegawai negeri sebagai birokrat pelaksana kegiatan administrasi publik.

Dengan kewenangan jabatan yang dimilikinya, pegawai negeri memang akan selalu dihadapkan pada perilaku korup. Untuk menghadapinya, setiap pegawai negeri mesti memiliki nilai integritas yang mumpuni.

Ketua KPK, Firli Bahuri mengatakan rumus korupsi, yaitu Korupsi = (Kekuasaan + Kesempatan) -  Integritas. Bila boleh kita tafsirkan rumus korupsi yang dikutip dari Berita KPK pada situs resmi KPK yang berjudul Akar Korupsi Sebab Minimnya Integritas tersebut, variabel kekuasan adalah seputar jabatan atau posisi seorang pegawai negeri atau penyelenggara negara (para birokrat), sedangkan variabel kesempatan adalah seputar sistem birokrasi yang masih membuka peluang korupsi ataupun lemahnya sistem pengendalian korupsi.

Rumus korupsi di atas mengingatkan Anda, para pegawai negeri dan penyelenggara negara sebagai birokrat bahwa nilai variabel Integritas Anda mesti lebih besar dari penjumlahan nilai variabel Kekuasaan dan Kesempatan. Bila nilai variabel Integritas Anda lebih rendah dari penjumlahan nilai variabel Kekuasaan dan Kesempatan karena adanya keserakahan, banyak keinginan materi dunia atau gaya hidup mewah, lemah mental atau pendirian, juga lemah iman, maka variabel Korupsi Anda bernilai positif yang berarti Anda melakukan korupsi.

Pada Berita KPK berjudul Akar Korupsi Sebab Minimnya Integritas tersebut pun disebutkan bahwa Ketua KPK Firli Bahuri mengingatkan tentang akar korupsi yang berawal dari minimnya integritas. “Kalau kita bicara tentang korupsi, orang bisa korupsi karena dia tidak berintegritas,” demikian ucap Ketua KPK, Firli Bahuri.

Banyaknya larangan korupsi bagi pegawai negeri

Sebenarnya sebagai pegawai negeri, larangan melakukan korupsi tidak hanya ada di UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, di Peraturan Pemerintah tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil pun diatur larangan tersebut.

Tertanggal 31 Agustus 2021 Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2021 Disiplin Pegawai Negeri Sipil sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Repubik Indonesia Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil yang ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 6 Juni 2010.

Pada PP No. 94 Tahun 2021 terdapat empat ketentuan yang redaksinya langsung menyebutkan kewajiban dan larangan bagi pegawai negeri sipil seputar korupsi, yaitu:

  • Pegawai Negeri Sipil wajib menolak segala bentuk pemberian yang berkaitan dengan tugas dan fungsi kecuali penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  • Pegawai Negeri Sipil dilarang melakukan pungutan di luar ketentuan;
  • Pegawai Negeri Sipil dilarang menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaan; dan
  • Pegawai Negeri Sipil dilarang meminta sesuatu yang berhubungan dengan jabatan.

Satu ketentuan larangan PNS pada PP No. 94 Tahun 2021 berupa larangan menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaan, sebenarnya pada PP No. 53 Tahun 2010 pun sudah disebutkan dengan redaksi PNS dilarang menerima hadiah atau suatu pemberian apa saja dari siapa pun juga yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya.

Tiga ketentuan lainnya, yaitu (1) wajib menolak segala bentuk pemberian yang berkaitan dengan tugas dan fungsi kecuali penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, (2) dilarang melakukan pungutan di luar ketentuan, dan (3) dilarang meminta sesuatu yang berhubungan dengan jabatan merupakan ketentuan yang baru ada di PP tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.

PP No. 94 Tahun 2021 jelas sangat membatasi ruang gerak pegawai negeri sipil untuk korupsi karena ketentuan larangan seputar gratifikasi terkait jabatan yang seringkali “dianggap sebagai jenis korupsi paling rendah tingkatan dosanya” pun diatur.

“Korupsi mah memang jelas merugikan negara, penyuapan juga jelas salah karena ada suatu pelanggaran prosedur yang disepakati dua pihak, pungutan liar pun dosa karena ada unsur pemaksaan, tetapi kalau gratifikasi kan (1) tidak merugikan negara, (2) tidak ada pelanggaran prosedur, dan (3) tidak ada unsur pemaksaan karena yang memberi ikhlas,” pembenaran yang seringkali dipakai.

Belum berbicara mengenai aturan larangan korupsi dari sisi agama, rasanya pasal demi pasal aturan negara yang melarangnya semestinya sudah dapat menghentikan niat pegawai negeri untuk menjadi kaya lewat korupsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun