Sebelum saat ini, kondisi penghasilan kecil selalu dijadikan alasan untuk menerima gratifikasi. Gratifikasi tersebut menciptakan lifestyle yang tinggi. Sampai saat waktunya sekarang penghasilan sudah dirasa besar, lifestyle tinggi tersebut masih dipertahankan karena sudah terbiasa dan dinikmati. Otomastis sadar gak sadar, budaya terima gratifikasi masih berlanjut hingga kini.
Saat rekan kita yang seruangan, sekantor, sewilayah, bahkan se-Indonesia masih terima gratifikasi, ada rasa pembenaran “Yang lain juga masih terima koq, kenapa saya gak? Why not?” Lanjut ah terima gratifikasi.
Pimpinan yang masih terima gratifikasi sangat dapat dijadikan pembenaran bagi bawahannya. “Ah pimpinan kami aja masih nerima koq, kenapa kami gak boleh?” Nah loh, jadi ribet kan kalau begini. Bagaimana mau menghilangkan gratifikasi?
Saat kita berkeputusan untuk tidak terima lagi gratifikasi, eh di lain pihak ada saja sesuatu yang mengharuskan kita mengeluarkan uang untuk kepentingan dinas atau minimal yang tidak langsung berhubungan dengan kegiatan dinas. Misal ada tamu dari kantor lain, masa sih sebagai tuan rumah kita tidak menjamu atau men-service-nya? Terus misal ada kegiatan tambahan kantor tapi tidak ada anggaran resminya dari kantor, dari mana dong uangnya? Silakan deh cari misal-misal lainnya. Banyak tuh sepertinya.
Ini nih yang paling susah menurut saya mah, kesadaran individu. Tidak mudah loh menciptakannya. Padahal justru faktor inilah yang paling kuat bila berhasil kita ciptakan. Memang berat sepertinya, terlebih bila sudah terbiasa, sudah menjadi pembenaran/tidak merasa salah, sudah menjadi tuntutan, sudah menjadi alasan, apalagi melibatkan keluarga. Istri anak sudah biasa hidup mewah, eh tau-tau tidak terima lagi gratifikasi, apa bisa mereka menyesuaikan? Sulit sepertinya.
X: “Faktor kesadaran individu dianggap paling kuat, bagaimana menciptakannya?”
Ada beberapa faktor yang mungkin bisa membuat orang mulai sadar bahwa gratifikasi itu salah dan tidak mau lagi menerimanya, yaitu:
- Sifat penakut;
- Paham, tunduk, dan patuh aturan agama; dan/atau
- Mengalami kejadian pribadi/keluarga.
Terkadang ada pegawai yang bawaannya penakut, ingin sih terima gratifikasi karena ingin seperti orang-orang punya ini punya itu, bisa berlibur ke mana-mana semaunya, bisa menyekolahkan anak di sekolah/kampus yang mahal dan lain sebagainya. Tapi dia ini penakut tidak berani ambil risiko, takut ditangkap internal control, pengawas kementerian, polisi, atau mungkin KPK. Rasa takutnya inilah yang membuatnya akhirnya tidak mau terima gratifikasi.
Idealnya artikel di http://www.rumahfiqih.com/konsultasi-1570-hadits-pejabat-yang-menerima-hadiah.html. ini bisa sih membuat kita paham bahwa dalam agama pun gratifikasi itu dilarang. Dengan buka hati, rasa takut, tunduk, dan patuh insya Allah bisa meninggalkan gratifikasi. Memang butuh proses, tapi insya Allah bisa. Kalau tidak salah, sebagai orang beriman pun kita diwajibkan patuh terhadap aturan yang telah disepakati/dibuat. Artinya bila negara, kementerian, dan/atau kantor telah membuat aturan gratifikasi tidak boleh ya kita harus ikut. Detailnya tanya saja deh ke ustadz yang mumpuni, saya bukan ustadz jadi tidak bisa beragumentasi lebih lanjut.
Ini nih yang seharusnya jangan sampai kita sadar karena sudah mengalami kejadian buruk yang menimpa kita atau keluarga kita. Misal meski sudah hati-hati bawa mobil, eh tau tau ada saja kejadian kalo tidak kita yang menabrak mobil orang, bisa jadi mobil orang yang menabrak mobil kita. Bisa jadi kita sakit parah, atau bisa jadi malah istri atau anak-anak kita yang sakit parah. Intinya ada saja uang kita keluar banyak atas musibah-musibah yang menimpa.
X: “Lah hubungannya apa antara gratifkasi yang diterima dan musibah-musibah tersebut?”