Dinah masuk ke dalam kamar sementara aku dan ibu mengikutinya dari belakang. Dia tidak bicara apa pun, hanya meletakkan oleh-oleh yang dibawanya, kemudian pergi lagi.
“Biarkan saja dulu, Mut. Nanti juga baikan.” kata ibu menghiburku.
“Iya, Bu. Nggak papa.”
“Rama kok lama sekali?” tanya ibu sambil mencomot sebuah apel yang tadi dibawakan Dinah.
“Ya, Mas Rama memang biasa sih pulang malam kalau bulan-bulan gini. Banyak proyek. Ya semoga saja bikin keuangan lancar, lah, Bu.”
Kemudian aku dan ibu berbincang-bincang berdua. Membicarakan apa pun. Hal-hal yang menyenangkan. Mengingat betapa bahagianya aku dan ibu ketika terakhir kali kami pergi ke pantai. Nostalgia masa lalu dan rencana masa depan. Jam beranjak menuju angka sebelas, ketika kulihat pintu terbuka.
Sosok yang kunantikan akhirnya tiba. Rama datang. Ia mengenakan kemeja hitam bergaris abu yang kubelikan dua tahun lalu. Raut wajahnya lelah, pasti kerjaannya sedang banyak.
Aku segera berdiri, ingin memeluknya. Rinduku seperti tidak bisa dibendung lagi. Tapi aku segera berhenti ketika melihat seorang wanita di belakangnya.
Dinah.
Tanpa ragu, Dinah melingarkan tangannya di lengan Rama. Apa-apaan ini? Aku melangkah mundur dan menyandarkan diriku di tembok. Aku cukup yakin cahaya lilin tidak menjangkauku. Tampaknya ibu mengerti dan ikut bersembunyi di sebelahku.
Rama dan Dinah menuju meja tempat lilin. Diangkatnya bingkai foto yang berdiri di belakang setiap lilin. Rama dan Dinah bergantian mencium foto itu.