Mohon tunggu...
Dara Ninggar Mentari
Dara Ninggar Mentari Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Suka menulis, kucing, buku-buku, dan Indomie ayam bawang. Tidak suka kecoa dan sambal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lilin

31 Maret 2023   09:36 Diperbarui: 31 Maret 2023   09:56 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 

Aku kembali lagi ke ruangan ini. Ruangan yang pernah menjadi tempat favoritku untuk melakukan berbagai aktivitas waktu senggangku. Aku ingat kamar ini. Kamar di mana aku dan Rama berbagi cinta setelah kami menikah empat tahun lalu. Aku melihat sekeliling, keadaannya masih saja sama seperti dulu sebelum aku memutuskan untuk pergi dari kamar ini. Dindingnya dicat putih tulang. Sebuah jendela berdesain vintage di sisi kirinya. Pintu bercat hijau toska. Kandelir kecil hadiah pernikahan dari ibuku yang menggantung di langit-langit juga masih utuh.

Tadi pagi, Rama memintaku untuk datang kembali ke kamar ini. Dengan senang hati aku mengiyakan ajakannya. Aku sangat mencintai suamiku itu. Aku bersedia melakukan apa pun untuknya. Aku duduk di tepi ranjang, mengingat-ingat masa laluku bersama Rama yang sangat menyenangkan.

Aku suka suasana kamar ini. Hanya dua batang lilin yang menyinari seluruh ruangan. Remang-remang dan cenderung gelap. Memang bukan jenis keremangan yang romantis, tapi tetap saja aku suka. Aku menenangkan diriku di sini, tersenyum-senyum sendiri.

Kamar ini menyimpan begitu banyak kenangan sampai aku tidak menyadari sudah 3 jam aku menunggu sendirian. Ke mana, ya, Rama? Apa dia begitu sibuk sampai terlambat dan tidak mengabariku dulu?

Tok ... tok ...

Seseorang mengetuk pintu. Itu pasti Rama! Aku buru-buru membuka pintu.

“Muti!” seseorang di balik pintu itu langsung memelukku.

“Ibu! Kok, Ibu ke sini juga?” aku membalas pelukan ibuku yang hangat.

“Ini, lho, adikmu bawa makanan sama buah-buahan segar buat kalian. Kan, lumayan toh”

Aku melongok ke belakang ibu. Ada Dinah di sana. Adikku. Wajahnya tertunduk dan tertutupi rambutnya. Aku dan Dinah memang sedang ada masalah dan belum ada dari kami yang cukup tegas untuk membuang gengsi dan meminta maaf.

Dinah masuk ke dalam kamar sementara aku dan ibu mengikutinya dari belakang. Dia tidak bicara apa pun, hanya meletakkan oleh-oleh yang dibawanya, kemudian pergi lagi.

“Biarkan saja dulu, Mut. Nanti juga baikan.” kata ibu menghiburku.

“Iya, Bu. Nggak papa.”

“Rama kok lama sekali?” tanya ibu sambil mencomot sebuah apel yang tadi dibawakan Dinah.

“Ya, Mas Rama memang biasa sih pulang malam kalau bulan-bulan gini. Banyak proyek. Ya semoga saja bikin keuangan lancar, lah, Bu.”

Kemudian aku dan ibu berbincang-bincang berdua. Membicarakan apa pun. Hal-hal yang menyenangkan. Mengingat betapa bahagianya aku dan ibu ketika terakhir kali kami pergi ke pantai. Nostalgia masa lalu dan rencana masa depan. Jam beranjak menuju angka sebelas, ketika kulihat pintu terbuka.

Sosok yang kunantikan akhirnya tiba. Rama datang. Ia mengenakan kemeja hitam bergaris abu yang kubelikan dua tahun lalu. Raut wajahnya lelah, pasti kerjaannya sedang banyak.

Aku segera berdiri, ingin memeluknya. Rinduku seperti tidak bisa dibendung lagi. Tapi aku segera berhenti ketika melihat seorang wanita di belakangnya.

Dinah.

Tanpa ragu, Dinah melingarkan tangannya di lengan Rama. Apa-apaan ini? Aku melangkah mundur dan menyandarkan diriku di tembok. Aku cukup yakin cahaya lilin tidak menjangkauku. Tampaknya ibu mengerti dan ikut bersembunyi di sebelahku.

Rama dan Dinah menuju meja tempat lilin. Diangkatnya bingkai foto yang berdiri di belakang setiap lilin. Rama dan Dinah bergantian mencium foto itu.

“Kenapa kita melakukan ini? Memangnya, Mas, yakin kalau arwah ibu dan Kak Muti bakal kembali?” tanya Dinah sambil memeluk pinggang Rama.

“Nggak yakin, sih. Tapi kalau kamu nggak mau, tahun besok nggak usah pake acara begini lagi.” Rama meletakkan bingkai foto itu di belakang lilin.

“Aku masih merasa bersalah, Mas. Kalau Kak Muti tidak memaafkanku karena sekarang aku menggantikan posisinya menjadi istrimu, Mas.” Dinah mengambil sebuah bingkai foto, kemudian memeluknya di dada.

“Dia pasti baik-baik saja. Bagaimanapun, kita tidak berselingkuh, kan. Ini semua terjadi setelah kecelakaan itu.”

Rama dan Dinah berpelukan. Di depanku dan ibu. Aku menyaksikan adikku memeluk suamiku sendiri. Tapi ternyata suamiku itu sudah menjadi suaminya. Aku mendengar mereka sepakat untuk tidak melakukan hal seperti ini lagi. Menyediakan jalan untuk arwah kembali. Sekelebat ingatan tentang kecelakaan yang membuatku dan ibu tewas sepulang dari pantai merasuki benakku. Tahun depan aku tidak akan berada di sini lagi. Mereka meniup lilin. Aku hanya bisa berharap yang terbaik untuk Rama dan Dinah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun