Abstrak
Mahasiswa perguruan tinggi merupakan transisi remaja akhir menghadapi masalah kesehatan mental, salah satunya akibat bullying. Korban dari perilaku bullying, yang didefinisikan sebagai perilaku agresif yang berulang dan disengaja, dapat mengalami efek negatif yang signifikan, termasuk depresi, kecemasan, dan masalah tidur, serta mengganggu partisipasi sosial dan akademik mereka di kampus. Gereja Katolik memandang bullying sebagai pelanggaran martabat manusia yang bertentangan dengan ajaran kasih, sehingga menekankan pentingnya membuat lingkungan pendidikan yang aman, inklusif, dan mendukung. Gereja berusaha membantu pemulihan korban, membangun komunitas yang sehat, mewujudkan rekonsiliasi, membantu mahasiswa mengatasi trauma bullying, dan membangun lingkungan yang menghargai martabat manusia dengan menggunakan pendekatan nilai kasih, pengampunan, dan keadilan.
Kata Kunci: Bullying, Kesehatan Mental, Agama Katolik
PENDAHULUAN
    Mahasiswa, sebagai peserta didik di perguruan tinggi, termasuk dalam kategori remaja akhir dengan rentang usia antara 18 hingga 21 tahun (Hurlock, 1990). Pada fase ini, mahasiswa mulai belajar untuk beradaptasi dengan lingkungan yang lebih luas, mempersiapkan diri untuk menjalani berbagai peran sebagai orang dewasa (Rumini & Sundari, 2004). Namun, dalam proses ini, mereka sering dihadapkan pada tantangan yang signifikan, terutama terkait dengan kesehatan mental akibat pengalaman bullying.
    Menurut Priyatna, 2010, bullying adalah tindakan yang dilakukan secara sengaja oleh pelaku terhadap korban. Pendapat ini sejalan dengan pandangan Olweus, 1999, yang menyatakan bahwa bullying merupakan perilaku agresif yang dilakukan dengan sengaja oleh satu atau lebih pelaku dalam jangka waktu yang cukup lama terhadap korban yang tidak mampu membela dirinya sendiri.Â
Tindakan bullying antar sesama, terutama yang terjadi di lingkungan institusi pendidikan, telah menjadi keprihatinan mendalam bagi berbagai kalangan, termasuk orang tua, dosen, lembaga pendidikan, serta masyarakat luas.
    Permasalahan tersebut dapat mempengaruhi kesehatan mental seorang individu. Menurut WHO, kesehatan mental adalah kondisi yang dimiliki individu secara sadar, mencakup berbagai kemampuan untuk mengelola tingkat stres dalam kehidupan dengan cara yang wajar. Dengan kata lain, kesehatan mental adalah keadaan dimana seseorang mampu menjaga stabilitas dirinya saat menghadapi berbagai masalah (Wahani, 2022).Â
Remaja yang mengalami bullying secara terus-menerus dapat mengembangkan emosi yang tidak stabil dan mengalami penurunan kepercayaan diri dengan contoh mengurangi partisipasi aktif mereka dalam kegiatan kampus. Selain itu, perilaku bullying juga berdampak pada kondisi psikologis korban, seperti mudah menangis, cepat marah, dan merasakan ketakutan yang berlebihan saat berinteraksi dengan orang lain. Insiden bullying juga menciptakan lingkungan yang tidak kondusif.
    Dalam pandangan Agama Katolik, perundungan dianggap bertentangan dengan prinsip kasih, penghormatan, dan martabat manusia (Lohor & Nempar, 2021). Gereja menekankan pentingnya memperlakukan sesama dengan cinta, serta menghindari segala bentuk kekerasan, baik fisik, verbal, maupun emosional yang terjadi dalam bullying. Di kalangan mahasiswa, seperti juga kelompok lain, tindakan ini merusak hubungan antarindividu dan mengabaikan martabat manusia sebagai Ciptaan Tuhan.
    Oleh karena itu, ajaran Katolik dapat menjadi solusi dalam upaya mengatasi dan mencegah bullying dengan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, inklusif, dan mendukung bagi setiap individu. Bullying di kalangan mahasiswa terbukti memiliki dampak yang signifikan terhadap kesehatan mental mereka. Berdasarkan hal ini, penulis tertarik untuk menganalisis lebih dalam mengenai perilaku bullying dan dampaknya terhadap kesehatan mental di kalangan mahasiswa, serta bagaimana nilai-nilai Katolik dapat memberikan kontribusi dalam penanganannya.