"Kok orang yang kita tanya tadi ilang ya? Terus kenapa lapangannya jadi kuburan gitu?"
Bulu kuduk Juleha meremang, dia menarik gas paling besar hingga emak hampir saja terjengkang. Selama perjalanan, dia memilih diam dan berkonsentrasi penuh pada jalan yang terasa gaib. Hatinya terus meminta perlindungan agar dia dan emak tidak tersesat ke dunia iblis.
Rumah pertama tepat di belokan pertama telah berada di depan mata. Asap keluar dari bagian samping rumah yang bisa disebut sebagai dapur.
"Masuklah! Sebentar lagi akan hujan angin."
Seorang perempuan tua mengajak Juleha dan emak yang masih terbengong di atas motor.
"Mak ... pulang aja, yuk."
"Langit mendung tebal, Ha. Udah deh berteduh dulu," tukas emak.
"Jangan khawatir, Nok. Akulah Mbah Mintardi yang kalian cari."
Mau tidak mau, Juleha mengikuti emak masuk rumah model joglo. Baru saja duduk di tikar yang terbuat dari mendong, hujan turun seperti air yang sengaja ditumpahkan dari atas.
Emak menceritakan maksud kedatangannya tanpa malu sedikit pun. Dia juga menceritakan pertemuan dengan makhluk gaib sekaligus peristiwa berubahnya tanah lapang menjadi kuburan.
"Nasib baik kalian tidak dibawa ke desa demit dekat kuburan tadi."