"Permintaan udang di pasaran naik drastis minggu ini," lapor seorang karyawan.
"Tetap tunggu sampai masa panen tiba agar kualitas tambak kita tetap bagus. Kepercayaan konsumen lebih utama dari pada ngejar laba sesaat, Pak."
"Baik, Mbak. Ikan di tiga tambak kita siap panen tiga hari mendatang."
"Tolong untuk menyortir ikan yang benar-benar layak kirim sebab pabrik pengolahan ikan sempat komplain."
Mengurus tambak milik bapak tidak serepot pikiran Juleha. Bahkan, pekerjaannya tergolong ringan sebab urusan lapangan sudah ada karyawan tersendiri. Dia hanya datang ke tambak yang terletak di pesisir pantai utara setiap dua pekan sekali. Emak pun kadang-kadang ikut, sementara bapak lebih memilih jaga rumah. Sejak pertengkarannya dengan Mak Linik, bapak memutuskan kembali ke rumah Juleha.
Wika telah berdamai dengan keadaan. Meskipun sulit, dia menerima kehadiran Pak Atmojo sebagai bapak kandungnya. Hal itu membuat Juleha ikut lega. Setelah enam bulan berlalu, kakak tirinya tersebut telah memiliki kekasih lagi.Â
"Percuma juga kamu berhenti kerja, Ha. Malah jadi hobi keluyuran ke tambak," omel emak.
"Kerja salah, nganggur keliru, ke tambak nggak ada benarnya. Maunya gimana sih, Mak?"
"Lihat tuh Wika! Dia lepas dari buaya dapat calon anaknya pak lurah. Kamu kapan dapat gebetan, Ha?"
Emak menyampaikan orasinya dengan nada berapi-api. Juleha hanya melengos sambil mengharap pembelaan bapak yang terus tersenyum.
"Jodoh nggak akan lari, Nah. Biarkan dia menikmati masa mudanya," sambung bapak.
"Menikmati sampai jadi pera .... Hih, amit-amit jabang demit!"
"Ngomong pakai spion, doa yang baik-baik."
"Bener tuh, Mak. Mana jones masih dibully emak sendiri pula. Kasihan bener nasibku," celoteh Juleha sambil cekikikan.
Juleha dan bapak kompak terbahak ketika emak memonyongkan bibirnya.Â
Sebenarnya, Juleha tidak terlalu ambil pusing dengan perkataan emak. Usianya masih muda, belum mencapai angka perunggu untuk dikatakan perawan kasep. Namun, dia memahami kepanikan emak karena gadis-gadis di kampung ini rata-rata sudah berumah tangga.
Kehebohan emak makin menjadi manakala mendengar kabar pernikahan Wika sudah dekat. Bahkan, beberapa tetangga seakan mengompori emak agar lebih getol mempromosikan anak semata wayangnya.
"Jangan lebih dari angka 25, Yu Pinah. Pokoknya Juleha segera carikan jodoh."
"Lah, menurutku umur 23 juga sudah ketuaan. Si Feli aja umur segitu anaknya udah mau dua."
"Aku aja cucunya mau enam, Yu. Masa kamu satu aja belum sih."
Kalau mengutuk tidak sekadar fantasi, Juleha sudah membuat tiga tetangganya jadi tokek. Lumayanlah, harga jual tiga ekor tokek gemoi bisa tembus ratusan dolar.Â
Sayangnya, emak mudah sekali terprovokasi. Pendiriannya sangat labil hingga kerap kali jadi korban adu domba.
"Pokoknya besuk pas Wika nikah, kamu dandan yang cantik."
"Untuk apa, Mak?"
"Anaknya pak lurah kan koleganya banyak dan pastinya terhormat. Pepet salah satu biar tertarik sama kamu."
"Emak ini persis emak tirinya Cinderella, loh."
"Besuk emak cari info yang tajir melintir dan masih single biar hidup kamu enak. Emak sama bapak kan tenang kalau kamu bahagia."
Perkataan emak terlalu dramatis untuk sebuah kebahagiaan. Juleha sudah bahagia karena masalah demi masalah dapat terselesaikan dengan baik. Dia dapat memiliki keluarga yang utuh meskipun bapak berpoligami. Dia lega dan ikut gembira karena asal-usul Wika sudah jelas. Dia ikut bahagia saat mengetahui kakak tirinya dapat kekasih baru yang baik hati apalagi akan segera menikah.
"Bapak akan datang kan pas Mbak Wika nikah?"
Juleha menunggu jawaban bapak yang tengah memotong cabang bonsai.
"Tentu, Ha. Dia kan anak bapak juga meskipun yang jadi walinya tetap Atmojo."
"Bapak nggak ada niat pulang ke rumah Mak Linik?"
Belum sempat bapak menjawab, emak sudah menyentil telinga anak gadisnya dengan keras hingga terasa pedih.
"Kamu ngusir bapak? Bener-bener nih anak harus tak masukkan perut lagi!"
"Ampun, Mak! Aku cuma bertanya, lagian bapak mau tinggal di mana juga haknya. Kita nggak bisa egois."
"Bapakmu tetap di sini! Titik!"
Niat hati ingin bercanda, emak justru terbawa serius. Juleha ingin melayangkan protes, tetapi bapak melarangnya.
"Untuk saat ini aku berada di sini, Nah. Tapi, kalau kamu bikin sepet mata mending aku tinggal di rumah tambak."
"Kok gitu, Bang?" protes emak.
"Yo, wis. Aku tak mbojo neh ae."
Tidak perlu menunggu pergantian menit, emak langsung mencubit bapak dengan geram. Bapak menjerit kesakitan, tapi emak justru makin bertenaga menjepitkan dua jarinya. Juleha terbahak melihat kelakuan orang tuanya. Kalau boleh menawar, dia ingin orang tuanya bersatu selamanya. Namun, ada hati Mak Linik dan Wika yang harus dijaga. Dia tidak akan menghalangi jika bapak ingin pulang ke rumah keluarga yang satunya.
***
"Pak, Ka--mi minta doa restu untuk menikah dengan Mas Bayu."
Wika datang ke rumah Juleha bersama Mak Linik dan Bayu. Situasi dan kondisi berubah penuh emosional saat Wika meminta doa restu kepada bapak. Juleha larut dalam suasana haru, begitu pun dengan emak.
"Semoga kalian bahagia. Bapak, emak, dan Juleha pasti akan datang. Kamu tenang saja, Ka."
"Pak, masalah Pak Atmojo ...."
Juleha menyerahkan tisu kepada Wika. Dia sangat memahami perasaan kakak tirinya yang kacau.Â
"Dia adalah bapak kandungmu yang berhak jadi wali saat ijab kabul."
"Ta ... tapi aku ingin ada bapak saat akad nanti."
"Kamu tetap anakku, Ka. Percayalah! Bapak dan semuanya pasti datang."
Air mata membasahi pelupuk mata Wika, bapak pun ikut terisak. Bagaimanapun rasa sayang bapak terhadap anak sambungnya tidak akan pernah hilang.
"Maafin aku juga, Bang."
Mak Linik menubruk lutut bapak sambil tersedu. Bapak membelai kepala istri pertamanya, Juleha bisa melihat emak sangat kikuk.
"Tahan, Mak. Jangan bikin ribut kalau masih ingin bapak di sini," bisik Juleha lirih.
"Emang pandai cari muka tuh Yu Linik, besuk juga bikin khilaf lagi."
Juleha memberi isyarat agar emak diam. Dia tidak ingin kecemburuan emak merusak suasana yang sedang berlangsung hikmat.
Bapak terus termenung sepeninggal Wika, Mak Linik, dan Bayu. Emak menyikut Juleha yang sedang beres-beres meja makan.
"Pelet Yu Linik sudah bereaksi, Ha. Lihat bapakmu mulai oleng."
"Mau ngomong sendiri apa aku yang ngomong nih, Mak? Biar ramai sekalian."
"Kamu lom tau aja watak emaknya Wika, Ha."
Tidak ada jalan lain untuk memutus kejulidan emak kecuali bergabung dengan bapak. Juleha pun mendekati bapaknya.
"Sedih amat, Pak?"
"Begini rasanya seorang bapak kalau anak perempuannya mau menikah, Ha. Dua kali bapak merasakannya, semoga tidak ada lagi aral melintang."
"Aamiin. Pakde Atmojo besuk nginap di mana?"
"Dia langsung berangkat dari rumahnya sebelum akad. Rencananya, dia datang bersama keluarga."
Emak ikut nimbrung sambil membawa teh dan bala-bala kesukaan bapak. Juleha masih saja menggoda emak.
"Tadi tepungnya diuleni pakai jampi-jampi apa, Mak?"
"Sekali lagi ngeledek, emak bikin jadi perkedel!"
"Ih, sereeeeeem!" sahut Juleha dan bapak serempak.
***Bersambung***
Dilarang copas tanpa mencantumkan nama penulis aslinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H