Tidak ada yang bisa mencegah kepergian Rusli, termasuk simbok. Keluarga dari kedua belah pihak sudah mencoba mediasi, tetapi hasilnya nihil. Pernikahan mereka pun berakhir secara agama, sedangkan secara hukum akan diurus setelah kelahiran si bayi.
Belum kelar masalah dengan Rusli, Sri Panggung harus berhadapan dengan gunjingan para tetangga saat awal-awal kepergian sang suami.
"Aku gak ngira kalau Sri ternyata gampangan."
"Lah, namanya juga bekerja dunia hiburan. Kalau nggak kuat iman ya mau-mau aja apalagi Rusli cuman nganggur. Hidup perlu uang, Yu."
"Lah ... dari dulu Sri kan udah paham kondisi suaminya. Meski pengangguran tetep punya harga diri."
"Iya, dasar Sri aja yang lower!"
"Kira-kira, siapa yang menabur benih di perutnya Sri?"
Saat itu, simbok hanya menyuruh Sri Panggung untuk diam. Akan tetapu, bagaimana hatinya bisa tenang? Para tetangga merumpi tepat di samping rumah yang kebetulan sebagai tempat mangkal tukang sayur keliling. Bukannya memelankan suara, mereka justru sengaja berbicara keras seolah ingin sang tuan rumah mendengar segala macam penghakiman sepihak.
Usia kehamilan Sri Panggung sudah memasuki minggu ke dua puluh empat. Dia tetap bekerja dari panggung ke panggung demi masa depan anaknya. Dia tidak pernah menyesali jalan hidupnya meskipun perjuangan semakin berat.Â
Suara Sri Panggung sukses membuat penonton heboh. Goyangan demi goyangan menghasilkan saweran yang jumlahnya bombastis. Penyawer--yang kebanyakan para lelaki-- seolah tersihir hingga lupa bahwa api di dapur mereka sudah padam, sementara dompet melompong.Â
"Kita nggak bakal bisa berkembang kalau Sri Panggung selalu tampil dominan." Vita mengepulkan asap rokoknya. "Padahal ... dia lagi bunting kok tetep dikasih job lebih lama dibanding kita, Is."