Mohon tunggu...
Danu Supriyati
Danu Supriyati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis lepas

Penulis pernah menempuh pendidikan jurusan Fisika. Dia menerbitkan buku solo Pesona Fisika, Gus Ghufron, Dongeng Semua Tentang Didu, Pantun Slenco, dan antologi baik puisi maupun cerpen. Semoga tulisannya dapat bermanfaat bagi pembaca. Jejak tulisannya dapat dibaca di https://linktr.ee/danusupriyati07

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sri Panggung

13 Februari 2024   14:25 Diperbarui: 13 Februari 2024   14:31 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sri Panggung

By Danu Supriyati

Dilarang keras untuk copas artikel. 

Teriakan simbok membuat Sri Panggung heran. Dia ingin bertanya, tetapi simbok sudah terbirit-birit keluar rumah. 

Ketika angin berembus kencang, aroma anyir memenuhi ruangan. Sri Panggung terhenyak saat melihat bayangannya di cermin meja rias. Wajahnya pucat pasi, sementara sekujur tubuh dipenuhi dengan belatung. Dia meratapi nasib sialnya.

***

Pernikahan antara Sri Panggung dan Rusli sudah berlangsung lima tahun. Keduanya sangat menantikan kehadiran sang buah hati. Ketika Sri Panggung telat datang bulan, Rusli justru meragukan darah dagingnya sendiri. Alhasil, pertengkaran pun tidak dapat dihindari oleh mereka.

"Kamu baca sendiri kan, Sri? Hasil tes lab itu menyatakan kalau aku mandul," kata Rusli lirih.

"Lab bisa salah, Kang. Lagian, aku nggak pernah berbuat serong. Sumpah, ini anakmu."

"Aku akan urus perceraian begitu anak itu lahir, Sri."

"Ta--pi ...,"

Tidak ada yang bisa mencegah kepergian Rusli, termasuk simbok. Keluarga dari kedua belah pihak sudah mencoba mediasi, tetapi hasilnya nihil. Pernikahan mereka pun berakhir secara agama, sedangkan secara hukum akan diurus setelah kelahiran si bayi.

Belum kelar masalah dengan Rusli, Sri Panggung harus berhadapan dengan gunjingan para tetangga saat awal-awal kepergian sang suami.

"Aku gak ngira kalau Sri ternyata gampangan."

"Lah, namanya juga bekerja dunia hiburan. Kalau nggak kuat iman ya mau-mau aja apalagi Rusli cuman nganggur. Hidup perlu uang, Yu."

"Lah ... dari dulu Sri kan udah paham kondisi suaminya. Meski pengangguran tetep punya harga diri."

"Iya, dasar Sri aja yang lower!"

"Kira-kira, siapa yang menabur benih di perutnya Sri?"

Saat itu, simbok hanya menyuruh Sri Panggung untuk diam. Akan tetapu, bagaimana hatinya bisa tenang? Para tetangga merumpi tepat di samping rumah yang kebetulan sebagai tempat mangkal tukang sayur keliling. Bukannya memelankan suara, mereka justru sengaja berbicara keras seolah ingin sang tuan rumah mendengar segala macam penghakiman sepihak.

Usia kehamilan Sri Panggung sudah memasuki minggu ke dua puluh empat. Dia tetap bekerja dari panggung ke panggung demi masa depan anaknya. Dia tidak pernah menyesali jalan hidupnya meskipun perjuangan semakin berat. 

Suara Sri Panggung sukses membuat penonton heboh. Goyangan demi goyangan menghasilkan saweran yang jumlahnya bombastis. Penyawer--yang kebanyakan para lelaki-- seolah tersihir hingga lupa bahwa api di dapur mereka sudah padam, sementara dompet melompong. 

"Kita nggak bakal bisa berkembang kalau Sri Panggung selalu tampil dominan." Vita mengepulkan asap rokoknya. "Padahal ... dia lagi bunting kok tetep dikasih job lebih lama dibanding kita, Is."

"Mau gimana lagi, Mbak? Honor di orkes dangdut milik Bos Umal paling tinggi dibanding orkes yang lainnya. Kalau kita pindah grup malah tidak bisa nutup kredit," sahut Dalis sambil mengunyah permen karet.

Obrolan mereka terjeda karena sang pembawa acara sudah memanggil berulang kali. Mau tidak mau, mereka harus bergegas ke panggung. 

"Semangat ya, Mbakku!"

Vita hanya melengos ketika Sri Panggung memberi semangat, sementara Dalis mengangguk ramah.

"Kayaknya, Mbak Vita makin benci aja ama aku. Bener nggak, Cek?" tanya Sri Panggung kepada Cek Upang, salah satu tim MUA.

"Gosah diambil hati, Sri. Kek nggak kenal Vita aja. Entar, kalo udah diketekin Bos Umal juga sembuh cemberutnya."

Para perias lain cekikikan saat mendengar celoteh Cek Upang. Skandal antara Bos Umal dan Vita bukan sekadar isapan jempol belaka, bahkan Sri Panggung memergoki sendiri saat seniornya tersebut dibawa oleh si bos ke hotel yang mahal.

"Lagian, Bos Umal nggak peka ama kode ane. Jelas-jelas ane yang tulus mencintainya ... dia justru ngekepin Vita mulu," sambung Cek Upang dengan nada kemayu.

"Soale Vita wadonan tulen, sedangkan Cek Upang kan masih abu-abu."

Kelakar demi kelakar sedikit mengalihkan kegalauan hati Sri Panggung. Persaingan antar penyanyi di setiap orkes dangdut sudah lazim terjadi, tetapi dia tidak ingin memantik permusuhan dengan siapa pun. Perkara ranjang antara seniornya dan si bos pun, dia lebih memilih buta tuli daripada tersandung masalah. Dia hanya ingin bekerja secara profesional, lalu menabung demi masa depan anaknya.

Sri Panggung bersiap untuk pulang ke kost setelah manggung. Dia sengaja menyewa kost harian karena secara perhitungan bisa lebih hemat. Selain itu, tempat manggung yang tidak tetap turut menjadi pertimbangan sehingga sangat sayang jika harus sewa bulanan atau kontrak rumah.

Seperti biasa, Sri Panggung diantar oleh tim orkes dangdut ke tempat kost. Di dalam mobil, dia menyantap jatah nasi dus hingga tandas. Tidak lama kemudian, dia merasa panas di area perut bagian bawah. Panas dan nyeri menjalar hingga ke dada, bahkan tenggorokannya pun seperti tercekik. Dia dalam kondisi sekarat ketika tubuhnya dilempar oleh sopir ke semak-semak. Dia pun masih bisa mendengar percakapan antara sopir dan seseorang yang dipanggil dengan sebutan Bos Rus.

"Lama sekali kamu datang! Habis tubuhku dimakan nyamuk hutan!"

"Reaksi racun itu lelet, Bos Rus."

"Pastikan dia sudah koit, Broh!"

"Aman, Bos. Napasnya sudah putus."

"Aku akan transfer lagi begitu asuransi kematian cair. Ayo, lekas pergi dari sini!"

Meski masih limbung, Sri Panggung berusaha bangkit dari semak belukar. Dia berteriak kepada siapa pun yang melintas di jalanan, tetapi usahanya sia-sia. 

"Maaf, Dik. Jalan menuju Waru Doyong lewat mana, ya?"

Beberapa remaja yang ditemuinya di pos ronda justru lari tunggang-langgang sambil menjerit ketakutan.

Sri Panggung terus menyusuri jalan yang terasa gelap sepanjang waktu. Sekali waktu, dia berpapasan dengan orang yang bereaksi sama. Orang itu akan berlari sambil berteriak tidak jelas. 

***

Akhirnya, Sri Panggung bisa kembali ke rumah setelah terombang-ambing keadaan yang serba membingungkan.

"Loh, kamu pulang sendirian?" tanya simbok sembari membuka pintu lebar-lebar. "Kamu kok sampai dua minggu ndak pulang, Nok? Simbok lak yo kuwatir banget."

"Ndilalah, job ramai. Aku kan harus nabung demi jabang bocah, Mbok." Sri Panggung memejamkan mata karena kepalanya tiba-tiba pusing.

"Setelah mitoni, kamu cuti dari manggung dulu yo."

"Kita liat besok, Mbok."

"Ya, udah. Simbok ngliwet sik, kamu istirahat saja."

Sebenarnya, Sri Panggung ingin membantu simbok di dapur. Namun, dia tidak tahan dengan aroma ikan asin yang sedang diperebutkan oleh dua kucing kesayangan simbok. Dia pun memilih rebahan di atas amben hingga simbok tiba-tiba berteriak histeris.

"Kuntilanak! Tolong, ada kuntilanak!"

Pekik pilu Sri Panggung memecah keheningan malam. Dia menatap kepergian simbok dengan hati yang luka. 

***Tamat***

Kebumen, 13 Februari 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun