Membungkus Kenangan Ramadan - part 1
"Bagi jatah laukmu! Awas kalau kagak!"
"Ini buat buka sama-sama di rumah, Ko."
"Gosah banyak omong! Sini!"
Rozan melepas bungkusan lauk pemberian Bu Barkah sedangkan Niko berlalu begitu saja tanpa mau peduli urusan perut orang lain.
"Sudah, biarkan saja anak bandel itu. Kamu ambil lagi, Zan."
"Tapi, Bu...,"
"Ambil sekalian buat sahur. Yang banyak biar cukup buat bibimu juga."
Adalah Rozan, anak kelas tiga SMP yang menyandang status yatim piatu setelah kedua orang tuanya wafat karena kebakaran rumah beberapa tahun lalu. Sejak saat itu, dia dirawat oleh bibi kandungnya yang tidak lain juga ibunya Niko.
Beranjak remaja, Rozan semakin tahu kerasnya kehidupan sang bibi-janda beranak satu-yang bekerja sebagai buruh pabrik rambut palsu. Kendati tidak pernah mengeluh, Rozan sangat tahu beban yang dipikul oleh adik mendiang bapaknya.Â
Awal masuk SMP, dia pun menawarkan tenaganya  ke warung Bu Barkah. Beruntungnya, pemilik warung menerima dengan senang hati.
"Yang penting kamu tetap harus mengutamakan belajar, Zan. Saya tidak mau zalim sama kamu." Kata Bu Barkah waktu itu.
"Insyaallah, Bu. Terima kasih sebelumnya."
Binar kebahagiaan terpancar dari wajah Rozan. Dia tidak henti-hentinya mengucap syukur pada Allah karena telah dimudahkan untuk sekadar meringankan beban sang bibi.
"Zan, bibi masih mampu membiayai hidup kita bertiga. Bibi hanya ingin kalian sekolah yang benar terus punya masa depan yang bagus."
"Aku akan berusaha bagi waktu, Bik. Lagian aku di sana juga cuma sampai sore. Kerjaanku juga ringan, la wong cuma bersihin meja sama cuci piring tok, kok."
"Apa kamu nggak betah di rumah karena sering dijahilin sama Niko?"
"Nggaklah, aku cuma ingin belajar mandiri. Ridai aku ya, Bik."
Akhirnya luluh juga hati sang bibi. Kini, sudah hampir tiga tahun, Rozan bekerja di warung makan kelas menengah ke bawah itu. Dia pun mampu membuktikan bahwa belajarnya juga tidak terganggu.
Ketika ramadan tiba, warung Bu Barkah justru buka 24 jam. Namun Rozan tetap diberi porsi kerja seperti hari biasa yaitu sepulang sekolah hingga menjelang magrib.
"Bu, semuanya sudah bersih. Pamit dulu, nggih."
"Terima kasih, Zan. Hati-hati, ya. Pemudik mulai ramai, jalan mulai padat. Sepedaan lewat pinggir saja, loh."
"Nggih, Bu."
Seperti biasanya, Rozan pasti mencium tangan Bu Barkah setiap datang dan pulang. Sang juragan jadi terharu pada sikap santun lelaki remaja tanggung tersebut.
Sementara di rumah, Niko dengan cueknya makan dengan lauk hasil dari merebut paksa tadi.
"Astaghfirullah, Ko. Sampai kapan kamu akan seperti ini? Nggak mau puasa, ogah salat, malas ngaji. Mbok kamu kayak Rozan yang...,"
"Sssst! Rozan lagi! Rozan lagi! Di sini yang anak kandungnya ibu siapa, sih?"
"Dia itu sepupumu tapi lebih menghormati ibu!"
"Bagus, dong! Sukses benar jadi penjilat, tuh, anak kudet!"
Wanita setengah baya tersebut akan melayangkan tamparan tapi segera dicegah oleh Rozan. Niko tersenyum sinis lalu meludah persis di wajah Rozan. Setelah itu, dia keluar rumah sambil membanting pintu.
"Sabar, Bik."
"Apa dosa dan salah bibi, ya, Zan? Sampai sepupumu itu bandel nggak ketulungan?"
Tangan Rozan mengelus bahu bibinya yang tengah tersedu. Dia juga tidak tahu harus berkata apa untuk menghibur hati bibinya. Azan magrib sudah berkumandang. Rozan segera membersihkan diri sejenak lalu bergabung dengan sang bibi yang masih terlihat murung.
"Kalau Niko datang ke warung dilawan saja, Zan! Kebiasaan jadi tukang palak! Bibi jadi nggak enak sama Bu Barkah kalau dia seperti itu melulu."
"Kata Bu Barkah biarkan saja daripada bikin ribut."
"Dia itu keterlaluan banget. Hatinya sudah jadi batu kali, ya?"
"Doakan saja terus agar Niko segera menyadari kesalahannya, Bik. Kata ustaz  doa seorang ibu itu mustajab, loh, Bik."
Bibi menatap Rozan dengan sendu. Betapa pemikiran remaja di depannya ini begitu dewasa dan setiap perkataannya sangat menenteramkan. Tidak pernah neko-neko, rajin beribadah dan patuh padanya sebagai pengganti orang tuanya. Ada beribu penyesalan sebab anaknya sendiri justru senang memancing neraka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H