Tangan Rozan mengelus bahu bibinya yang tengah tersedu. Dia juga tidak tahu harus berkata apa untuk menghibur hati bibinya. Azan magrib sudah berkumandang. Rozan segera membersihkan diri sejenak lalu bergabung dengan sang bibi yang masih terlihat murung.
"Kalau Niko datang ke warung dilawan saja, Zan! Kebiasaan jadi tukang palak! Bibi jadi nggak enak sama Bu Barkah kalau dia seperti itu melulu."
"Kata Bu Barkah biarkan saja daripada bikin ribut."
"Dia itu keterlaluan banget. Hatinya sudah jadi batu kali, ya?"
"Doakan saja terus agar Niko segera menyadari kesalahannya, Bik. Kata ustaz  doa seorang ibu itu mustajab, loh, Bik."
Bibi menatap Rozan dengan sendu. Betapa pemikiran remaja di depannya ini begitu dewasa dan setiap perkataannya sangat menenteramkan. Tidak pernah neko-neko, rajin beribadah dan patuh padanya sebagai pengganti orang tuanya. Ada beribu penyesalan sebab anaknya sendiri justru senang memancing neraka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H