Mohon tunggu...
daniswanda
daniswanda Mohon Tunggu... -

Seorang penulis amatir

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Perahu Bapak

30 Agustus 2016   12:55 Diperbarui: 31 Agustus 2016   01:27 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bapak terlihat masih ragu dan memandang ke sekeliling. Kehati-hatian Bapak sekonyong-konyong membuatku bimbang untuk melangkah lebih jauh. Takut kalau-kalau ada pemiliknya yang sedang bersembunyi di balik pepohonan, menunggu makhluk-makhluk tamak yang ingin mengambil hartanya masuk perangkap, walau sejauh ini aku tak melihat siapa pun. Biarpun begitu, tetap saja Bapak tak mau menapakkan kaki ke pulau ini.

"Kembali ke sini Bujang! Kita angkat sauh," perintah Bapak.

Perhatian yang masih terpecah antara Bapak dan tumpukan harta karun di depan mata membuatku terlambat mencerna perintahnya.  Apa aku tak salah dengar? Bapak mau pergi dari tempat ini tanpa membawa emas permata sedikit pun?

Aku mendapatkan jawabannya begitu melihat lagi wajah Bapak. Bola matanya bulat hitam, menandakan ia tak main-main dengan perkataannya. Namun aku masih tak mengerti. Dengan segenggam emas ini, hidup kami akan jauh lebih mudah. Bapak tak perlu bersusah-susah menjala ikan atau memanjat pohon kelapa hanya demi memenuhi kebutuhan kami. Bahkan kami bisa membeli perahu baru untuk mengganti perahu kami yang lapuk. Kenapa Bapak malah mau pergi dari sini tanpa membawa apa pun?

Bapak sudah mulai memutar perahu untuk kembali menyusuri selat tempat kami datang. Sementara aku masih saja mendebat perintahnya yang tidak masuk logika itu. Hanya orang bodoh yang meninggalkan harta karun tak terjaga dan pergi begitu saja. Apa yang Bapak pikirkan? Segala macam alasan dan sanggahan aku utarakan pada Bapak. Namun ia tak bergeming dan tetap mengayuh perahunya dalam diam. Sedangkan aku hanya bisa memendam kesal melihat kilauan emas dan batu mulia kembali menghilang di balik tebing.

Sepanjang perjalanan menuju ke lautan lepas, aku dan Bapak tak saling bicara. Ia mendayung perahu sendirian di buritan dan aku masih meratapi keberuntungan yang hilang dari genggaman. Emosi yang memuncak membuatku tak acuh pada para perempuan telanjang yang tadi menyambut kami. Hanya segelintir dari mereka yang masih berdiri di antara semak belukar.

"Samudra adalah hidup, dan daratan hanya godaan. Kau harus ingat itu, Bujang," kata Bapak tiba-tiba. Aku tak menggubris ucapannya. Hati ini masih terlalu marah dan kecewa untuk menafsirkan maksud dari kata-katanya. Memasuki perairan lepas, Bapak mulai menaikkan layar dan perahu kami melaju ke arah pilar-pilar awan yang semakin hitam.

Selama belasan tahun hidup mengarungi lautan, aku dan Bapak telah mengalami berpuluh-puluh badai, dari yang kecil hingga yang dahsyat seperti ini. Pilihan pertama bagi para pelaut jika menghadapi badai adalah segera mencari daratan untuk bersandar sambil menunggu angin kencang reda. Akan tetapi keputusan Bapak sudah bulat. Ia tak mau berlama-lama tinggal di kepulauan tadi. Baginya, menghadapi badai di laut masih lebih baik dibanding menghadapi godaan di darat.

Gelombang setinggi rumah mulai bermunculan, sambung-menyambung menghempaskan perahu kami ke udara. Aku langsung membantu Bapak untuk menurunkan layar agar perahu kami tidak dihempaskan angin. Yang bisa kami lakukan sekarang hanya membiarkan diri terombang-ambing ombak sambil berharap badai segera berakhir. Harapan yang masih jauh dari kenyataan melihat awan semakin gelap dan hujan bertambah deras. Amukan badai pun semakin berkobar-kobar diselingi petir yang menyalak. Tak kulihat lagi daratan yang tadi begitu dekat. Kami dikepung riak air dan gelombang yang meradang.

Sebuah suara keras mengagetkan aku dan Bapak. Seperti bunyi kayu berderak. Dan dalam hitungan detik air mulai membanjiri geladak. Ternyata ada batang kayu sebesar tiang layar yang menghantam lambung perahu, membuatnya limbung. Tanpa banyak berpikir, Bapak langsung mengambil palu dan beberapa pilah kayu untuk menambal kebocoran. Sementara aku mengambil beledi dan membuang air yang berhasil menyusup masuk dari lubang itu. Sialnya, tak peduli seberapa banyak air yang kubuang, air yang menggenangi perahu tetap makin banyak. Belum lagi ditambah guyuran hujan yang tak reda-reda.

Di sela-sela kepanikan kami berdua, tanpa sadar sebuah gelombang setinggi rumah dua lantai mulai menggunung, menderu menuju arah kami. Beberapa meter sebelum menghantam perahu, ia pecah dan bergalon-galon air menghujani perahu. Aku yang tak siap langsung terlempar ke buritan. Kepalaku membentur tangkai kemudi. Sakit yang luar biasa langsung menyerbu, bertubi-tubi sampai kesadaranku hilang. Kegelapan yang pekat segera menyelimuti, dan aku tak ingat apa-apa lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun