Ya, hanya dengan kalimat sependek itu aku langsung tahu betapa girangnya hati Bapak. Hasil penjualan panenan kelapa dan berkilo-kilo ikan segar pastilah cukup untuk bekal kami melanjutkan petualangan ke pulau-pulau lain. Melihat tempat-tempat baru sampai ke ujung dunia. Itulah janji Bapak kepadaku dulu. Malam itu aku tidur pulas, tak sabar menunggu pagi. Malang, ternyata nasib bermaksud lain. Begitu fajar merekah, aku merasa ada sesuatu yang janggal.Â
Perahu kami telah bersandar dan terikat pada sebuah tonggak tambatan. Barisan pohon kelapa lagi-lagi menjadi hal pertama yang kulihat. Geladak yang semalam penuh sesak dengan keranjang ikan dan buah kelapa sekarang kosong. Orang asing yang menumpang perahu kami pun tak tahu kemana rimbanya. Menyisakan aku dan Bapak yang masih tertidur nyenyak.Â
Lekas aku menggoyang-goyangkan tubuh Bapak agar ia terbangun. Namun ia tidur terlalu dalam. Sangat dalam sampai-sampai tak tahu kalau ia telah ditipu mentah-mentah.
Bapak akhirnya terbangun setelah aku berteriak di dekat telinganya. Secepat kilat ia berdiri dan melihat ke sekeliling. Keranjang-keranjang penuh ikan hasil tangkapan semalam telah lenyap, dan ia segera sadar apa yang telah menimpanya. Air mukanya berubah murung dirundung mendung.
Aku memeluk pundak Bapak yang sekarang duduk tercenung. Pastilah memikirkan bagaimana kami bisa melanjutkan perjalanan tanpa bekal. Bapak adalah orang yang selalu melihat sisi terbaik dari kehidupan, dari manusia-manusia yang ia temui sehari-hari. Tak peduli seburuk apa pun penampilan dan riwayat manusia itu. Sayangnya, sifat Bapak membuatnya jadi sasaran empuk para penipu.Â
Perlahan, ia menoleh ke arahku. Ada ketenangan yang mendamaikan di sorot matanya. Bapak kemudian mengusap-usap rambutku sambil berkata, "Perkara kita menolong orang yang kesusahan adalah urusan kita dan Tuhan. Perkara orang mencuri juga urusan pencuri itu dengan Tuhan. Manusia hanya menjatuhkan pilihan. Tuhanlah yang membuat penilaian. Kau harus ingat itu, Bujang."Â
Lalu ia berdiri, mendayung perahu kami ke lautan lepas dan kembali menebarkan pukatnya ke air.Â
***
ROMBONGANÂ cakalang sudah berkali-kali hilir-mudik ke perairan selatan. Kalau hitunganku benar, sudah lima belas kali mereka migrasi, artinya umurku juga memiliki jumlah tahun yang sama.
Namun hidup tak banyak berubah. Cuma ada aku, Bapak dan laut yang membentang. Tiga hal yang masih menjadi kunci kebahagiaanku. Kami telah jauh merantau. Berbagai macam perairan telah kami lewati. Berpuluh-puluh teluk dan semenanjung telah kami sisir. Serta beratus-ratus pulau telah kami singgahi. Bapak telah menua. Uban dan guratan keriput telah menguasai kepala dan wajahnya. Alih-alih bertambah lemah, fisiknya malah masih belum mampu dikalahkan usia. Otot-otot di lengannya masih liat. Dan ia masih mampu berlama-lama menahan napas di air saat berenang. Bagiku, Bapak masih sama seperti dulu.
Aku pun telah tumbuh dewasa. Bapak telah banyak memberiku tugas yang biasanya hanya boleh aku tonton. Seperti menaikkan layar, melemparkan pukat ke air, memanjat pohon kelapa, bernegosiasi dengan juragan ikan di pasar dan tugas-tugas lainnya. Tetapi tugas yang paling kusukai adalah mengemudikan perahu, seperti yang kulakukan hari ini.