"Jangan melawan ombak, Bujang. Ikuti saja ke mana angin bertiup." Bapak yang duduk di haluan memberikan arahan. Berlayar mengikuti arah angin memang menyenangkan. Perahu kami meluncur dengan kecepatan tinggi tanpa hambatan. Dengan angin seperti ini, seharusnya kami mampu mencapai perairan utara sebelum malam tiba. Sayang, manusia hanya bisa berharap. Angin kencang yang tadi menemani kami perlahan menghilang, dan perahu kami pun melambat.
Samar, aku menangkap sebuah garis hitam mengambang di kaki langit sebelah timur. Pastilah itu daratan. Kulihat Bapak pun sedang menimbang-nimbang untuk mengarahkan perahu ke sana. Tubuhnya naik-turun, berdenyut bersama perahu yang dimanja riak samudra. Bayangan di ufuk terlihat seperti kawanan pulau-pulau tak berpenghuni. Kecil kemungkinan kami bisa berdagang di sana. Lagi pula hari masih siang dan belum waktunya kami merapat ke daratan. Namun Bapak akhirnya menyuruhku membelokkan kemudi ke timur. Jika saja udara tidak pengap seperti sekarang dan angin tiba-tiba menghilang —pertanda badai akan datang— bisa kupastikan Bapak takkan memilih untuk berlabuh di kepulauan itu.
Gugusan pulau kecil itu membujur dari utara ke tenggara. Pasirnya masih putih bersih seperti belum tersentuh peradaban. Batu-batu apung yang tak kalah putihnya bertebaran di sepanjang pantai. Dan deretan pepohonan hijau yang rimbun berkerumun di kedalamannya. Perairan dangkal di sekitarnya pun sangat jernih, bening layaknya kaca. Aku bisa melihat ikan-ikan cantik yang berwarna-warni sedang bermain di balik bunga koral yang tak kalah menawan. Beberapa ekor cumi-cumi dan kuda laut pun tertangkap mata sedang asyik bercumbu dengan terumbu karang. Pulau-pulau kecil ini seperti surga, indah tak terperikan.
Perahu kami mengambang pelan menyusuri selat-selat kecil yang terbentuk di antara masing-masing pulau. Beruntung laut sedang pasang hingga kami bisa mengayuh dengan lancar. Kedalaman air yang agak dangkal memang hanya memungkinkan perahu kecil untuk menjelajah hingga pulau terdalam. Bahkan mungkin kami adalah manusia pertama yang menemukan nirwana ini. Kulihat Bapak menebarkan pandangan ke segala arah untuk mencari petunjuk kehidupan. Sejauh ini yang kudapati hanya koloni camar dan bermacam-macam serangga yang beterbangan dari daun ke daun. Rantai makanan terpendek yang pernah kutahu. Sampai akhirnya kami mendengar bunyi gemeresak di kanan-kiri.Â
Sosok-sosok berambut hitam panjang mulai bermunculan dari balik bayang-bayang pohon. Menyeruak di antara cabang-cabang ketapang dan cemara laut. Walaupun awan mendung sudah dekat, namun kami masih bisa melihat mereka dengan jelas. Penunggu pulau-pulau ini adalah para perempuan. Tua, muda, hingga anak-anak perempuan berjejer di bibir pantai, memperhatikan dua orang asing yang tanpa permisi memasuki teritorial rumah mereka.Â
Napasku tercekat. Gerakan Bapak pun melambat, seolah ada sesuatu yang menahannya di tempat. Hanya bola mata kami yang berputar-putar dalam rongganya, berusaha menangkap sinyal-sinyal bahaya yang mungkin sedang mengintai. Namun sejauh ini, tak kulihat adanya ancaman. Kenapa hanya ada perempuan di sini? Ke mana para lelakinya? Suami-suami mereka? Serbuan pertanyaanku akhirnya menguap tak terjawab.
Kaum hawa penghuni pulau-pulau ini pastilah belum pernah menemui orang asing sebelumnya. Terlihat jelas di sorot mata mereka yang polos sekaligus menyelidik. Kebanyakan dari mereka pun telanjang tanpa mengenakan apa-apa dari ujung kepala sampai ujung kaki. Aku menelan ludah. Ini adalah pertama kalinya aku melihat wanita tampil tanpa penutup badan sehelai pun. Menyadari hal yang sama, Bapak langsung melemparkan sarungnya ke arahku. Matanya mendelik, menyuruhku meringkuk di balik terpal yang menutupi bagian buritan perahu. Ia tak mau sesuatu mengejang di balik celana si bujang, dan aku menurut.
Masih dengan perlahan dan dengan gerakan yang teratur, Bapak mendayung perahu kami terus masuk ke pulau terdalam. Setelah air menjadi tenang dan deburan ombak tak terdengar lagi, barulah Bapak memanggilku keluar dari buritan. Sekarang di sekeliling kami hanya ada batu-batu karang. Tak kulihat lagi perempuan-perempuan penasaran yang tadi menyambut kami. Aku lantas mengambil tangkai dayung yang lain dan ikut mengayuh bersama Bapak.
Jika pengamatanku tepat, maka pulau-pulau kecil tadi fungsinya hanya sebagai pelindung pulau terbesar yang ada di tengahnya, pulau yang sekarang ada di depan mataku. Barisan bakau menyesaki sisi sebelah baratnya, membuat kami harus sedikit berputar untuk mencari pantai yang agak landai buat perahu kami bersandar.
Ketika kami berputar menyusuri tebing selatan, tiba-tiba aku melihat sesuatu yang berkilau di balik tebing sana. Bapak yang ikut penasaran mulai mempercepat kayuhannya, begitu juga aku. Lambat laun, tebing-tebing karang curam yang menutupi pandangan kami mulai menyingkir, dan sesuatu yang berkilauan di bibir pantai itu sontak membuat aku dan Bapak terkesiap.
Gundukan emas dan batu permata yang melimpah ruah terhampar di atas lusinan peti-peti kayu. Aku dan Bapak terpukau melihat kilauan logam mulia dan segala macam perhiasan yang menyilaukan. Zamrud, safir, mutiara, berlian, emas koin dan batangan teronggok tak terjaga. Lama kami memandangi harta karun itu tanpa berkedip. Tanpa berkata-kata. Barulah setelah lambung perahu menyentuh pasir yang dangkal, aku melompat turun, hendak mendekati kekayaan tak bertuan itu.