Mohon tunggu...
daniswanda
daniswanda Mohon Tunggu... -

Seorang penulis amatir

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Perahu Bapak

30 Agustus 2016   12:55 Diperbarui: 31 Agustus 2016   01:27 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BUNYI kecipak ombak yang menampar-nampar lambung perahu tidak pernah membangunkanku dari tidur siang sebelumnya. Namun kali ini lain. Suara itu lebih dekat, lebih keras, dan aku terusik untuk mencari tahu. Pelan, kubuka kedua mata yang masih ingin terlelap, sampai akhirnya mendapati sosok Bapak sedang berjongkok di haluan. Badan dan rambutnya kuyup, berkilauan disengat matahari siang. Seekor kakap merah besar menggelepar-gelepar di depannya. Pasti suara ekor ikan yang menghantam geladak itulah yang membangunkanku.

"Selamat ulang tahun, Bujang," katanya menyapaku.

Aku terdiam sejenak sebab belum paham apa itu ulang tahun. Namun senyum Bapak yang mengembang mengisyaratkan bahwa itu adalah sesuatu yang menyenangkan. Terbukti dengan adanya kakap merah yang merupakan ikan kesukaanku. Bapak bilang, tepat pada hari ini enam tahun yang lalu, aku hadir di dunia. Maka itu sudah selayaknya kami rayakan, walau hanya dengan kakap merah bakar. Tak apalah.

Konsep ulang tahun betul-betul membuatku bingung. Apa itu tahun? Ada di mana aku dulu sebelum hadir di dunia? Dan —yang paling sering kutanyakan— di mana ibu dan rumah kita? Pertanyaan-pertanyaan itu kulancarkan kepada Bapak sehabis santap siang. Awalnya, ia hanya terdiam sambil memandang jauh ke cakrawala. Aku tahu ia sedang berpikir keras untuk menjawab.

"Kau lihat cakalang itu, Bujang?" Bapak menunjuk kawanan ikan cakalang yang berlalu-lalang di dekat perahu kami. "Kalau kau melihat cakalang beramai-ramai berenang ke selatan, itu artinya umur kau bertambah satu tahun."

Mendengar jawaban Bapak, aku langsung mengangguk, walau muncul pertanyaan baru di kepala: kenapa perilaku ikan bisa menentukan umur manusia? Tetapi buru-buru aku kunci mulut cerewetku begitu melihat Bapak yang tampak bangga setelah mampu memuaskan rasa ingin tahu anak semata wayangnya. Aku tak ingin dia tepekur memandangi lautan lagi.

"Dulu kau tinggal bersama ibumu di surga, Bujang. Di sanalah rumah kita. Sampai suatu hari Dara-laut menjemput kau untuk turun ke dunia, hingga ke perahu ini," sambung Bapak yang lagi-lagi bersambut anggukan dari anaknya. Bapak memang serba tahu, begitu aku membatin.

Hari beranjak gelap dan kami pun bersiap untuk tidur. Tikar bambu yang sudah kecokelatan tergelar rapi di buritan. Tangan Bapak mengalasi kepalaku, sedangkan kepalanya berbantalkan jala penjaring ikan. Bila langit sedang cerah seperti malam ini, biasanya Bapak akan bercerita tentang susunan bintang-bintang dan nama-nama mereka yang unik. Ini adalah saat yang paling kutunggu.

"Rasi bintang pari," cetus Bapak. 

Telunjuknya menuliskan dua garis yang saling menyilang antara empat bintang cemerlang di langit selatan. Aku terpukau pada kemiripan formasi bintang-bintang itu dengan ikan Pari. Bapak bilang, kalau empat bintang itu sedang benderang, maka ikan-ikan Pari akan keluar dari persembunyiannya di balik karang dan pasir dasar laut untuk mencari pasangan. Menarik bukan buatan. Khayalanku langsung menyelam ke dasar samudra untuk menyaksikan bagaimana tuan dan nyonya pari berjumpa. Namun Bapak belum berhenti di situ.

Ujung jarinya bergerak ke barat, mengacung ke arah sekumpulan bintang yang terlihat acak. "Rasi Pemburu," katanya lagi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun