“Apa ini neraka?” tanyanya memecah kesunyian yang ada diantara kalian.
Senyummu kembali merekah pada pertanyaan yang sama.
“Apa yang membuatmu berkata seperti itu?” Kamu kembali menanyakan pertanyaan pamungkasmu itu sembari meraih cangkir kopi di meja. Asapnya masih mengepul tanpa henti.
“Saya sudah berjalan berhari-hari ditempa terik dan panas. Saya bisa rasakan betapa letih dan lelahnya tubuh saya ini. Tapi saya tak merasa lapar dan haus sedikitpun. Keanehan ini bukan milik dunia fana. Ini pasti neraka.” Ujarnya meyakinkan diri sendiri.
Seteguk kopi kembali membasahi kerongkonganmu.
Manis.
“Istirahatlah dulu sejenak disini. Setelah tenagamu kembali, kamu bisa teruskan perjalananmu. Di persimpangan sana, ambilah jalan ke tenggara menyusuri bibir lembah itu. Di dasarnya akan kamu temukan rumahmu.”
Keramahan yang tergambar di kata-kata tadi sedikit mengejutkanmu.
“Terima kasih, Kek. Tapi lebih baik saya melanjutkan perjalanan sebelum gelap.”
Ia melengkungkan sebuah senyum kaku di bibirnya lalu melangkah pergi ke satu-satunya petunjuk arah yang diketahuinya, meninggalkan kamu dan kesunyian yang masih betah berlama-lama diam disitu.
Matahari sudah menyingkir ke peraduan sambil menanggung malu karena tahtanya dikudeta sang rembulan. Namun kamu masih saja duduk di depan rumah, menunggu dan terus menunggu tanpa tahu apa yang kamu tunggu. Selentingan omong kosong pernah mampir di telingamu yang berkata kalau kamu sedang menunggu ajal. Kamu selalu tertawa sendiri kalau mengingatnya, karena sudah jelas ajal takkan berani datang menjemputmu.