Mohon tunggu...
daniswanda
daniswanda Mohon Tunggu... -

Seorang penulis amatir

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Persimpangan Terakhir

13 Mei 2016   13:43 Diperbarui: 31 Agustus 2016   12:55 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesunyian masih bersemayam di tanah itu. Bersembunyi di balik karang-karangnya yang berpasir, enggan pergi bersama anginnya yang berdesir. Cuma ada suara derit kursi goyang yang setia menemani keheningan, kepayahan menanggung bebanmu. Pandanganmu juga masih saja mengarah ke barat, ke batas cakrawala di mana luasnya langit bertemu dengan hamparan pasir. Terus menunggu dan menunggu, sampai yang kamu tunggu muncul dari batas ketiadaan.

Mendadak matamu menyipit. Ada sebentuk bayangan kecil bergoyang bersama uap panas padang pasir yang mengambang di udara. Lama-kelamaan titik hitam itu kian membesar, mewujud jadi manusia. Seorang laki-laki setengah baya sedang berjalan ke arahmu. Rambutnya berantakan, pakaiannya compang-camping dan ia bertelanjang kaki.

“Maaf, Kek, tempat apa ini?” Suara paraunya bergabung dengan jeritan kursi goyang, menyemarakkan siang itu.

Kamu tak menjawab. Mulutmu yang keriput semakin mengerut saat mengulum pipa tembakau kuat-kuat dan menghembuskan asapnya keluar, bergelung-gelung sampai ke atap gubuk yang berlubang.

“Kek, bisa beritahu saya tempat apa ini?” Kali ini terlontar lebih keras dan tegas. Mungkin dia pikir yang diajaknya bicara itu tuli.

Bunyi berderit mendadak hilang seiring perhatianmu yang sekarang tertuju pada tamu tak diundang itu.

“Apa yang membawamu kesini?” Tanyamu, tak kalah paraunya.

Laki-laki itu kelihatan bingung, “Sebetulnya, saya tidak tahu.”

Kamu menatapnya lekat-lekat, seakan meminta penjelasan lebih dari jawaban yang cuma sepotong.

“Saya sedang dalam perjalanan pulang ke rumah dari kantor, lalu tiba-tiba pandangan saya kabur. Setelah itu saya terjatuh dan semuanya jadi gelap. Begitu sadar, di sekeliling saya hanya ada pasir. Sejauh mata memandang pun hanya pasir dan pasir. Saya terus berjalan ke satu arah dan akhirnya saya sampai kesini. Tempat apa ini, Kek?”

Orang itu pun masih mengharapkan sebuah jawaban. Mereka selalu bertanya hal yang sama, tapi kamu seperti tidak tertarik untuk memberikannya. 

Asap tembakau semakin pekat.

“Masuk dulu kesini. Istirahat dan lepaskan dulu penatmu. Apa kamu haus?” katamu mencoba mengalihkan pembicaraan.

Orang itu menggeleng. Nyata-nyata sebuah paradoks menyusupi pikirannya, membikin dia tambah bingung. Kepalanya menoleh lagi ke arah barat tempat padang pasir yang baru dilaluinya terhampar. Lalu beralih ke timur di mana jalan setapak di depan rumahmu itu membelah jadi dua. Arah utara ke perbukitan tandus dan arah tenggara menghilang ditelan lekukan lembah. Bola matanya bergerak-gerak liar mencari-cari jawaban atas pertanyaan baru yang meletup-letup di kepalanya.

“Apa …saya sudah mati?” tanyanya dengan hati-hati.

Kamu tersenyum seperti sudah menunggu pertanyaan itu sedari tadi, memamerkan gusi yang hampir tak berpenghuni.

“Apa yang membuatmu berpikiran begitu?”

“Saya sudah berjalan berhari-hari tanpa makan dan minum melewati padang pasir itu. Namun saya tak merasa lapar dan haus. Bahkan, saya tidak berkeringat sama sekali. A …apakah tempat ini …” Ia tak sanggup menyelesaikan pertanyaannya. Lututnya gemetar.

Akhirnya kamu mengalihkan perhatian dari orang asing yang sekarang jatuh terduduk itu. Cangkir kopi di tanganmu masih mengepulkan asap, namun tak menjadi penghalang untuk mengecapnya.

Pahit.

Kamu mengangguk mengerti. Cangkir kopi itu kembali ke singgasananya di atas meja kecil dekat kursi goyang dan kamu beranjak berdiri. Rambutmu yang putih dan sedikit itu melambai-lambai tertiup angin gurun yang kering.

“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan orang benar,” hardikmu.

Lelaki itu tambah ketakutan.

“Berjalanlah terus ke timur. Di persimpangan sana, ambilah jalan ke utara, mendaki naik ke atas perbukitan karang itu. Di baliknya akan kau temukan rumahmu.”

Kaki-kakinya yang tadi lemas tiba-tiba terlecut tegang. Ia berdiri dan dengan setengah berlari mulai menyusuri jalan setapak menuju ke persimpangan itu, lalu berbelok ke kiri dan menghilang disembunyikan karang-karang.

Kursimu kembali bergoyang bersama gubuk yang doyong, sembari matamu menekuni lautan pasir di ufuk barat, entah untuk yang keberapa kalinya. Menunggu dan menunggu sampai kamu terlelap.

“Kek! Kek!”

Lagi-lagi suara lirih mengganggu tidurmu.

“Kek …”

Kelopak matamu masih terlalu lengket untuk membuka.

“Ini tempat apa, Kek?” 

Sebuah sosok kabur memenuhi pandanganmu yang masih mencoba untuk mencari titik fokusnya.

“Maaf saya sudah membangunkan kakek …”

Akhirnya terlihat jelas wujud si pemilik suara. Seorang perempuan yang tidak muda lagi sedang membungkuk di depan mukamu. Sama seperti orang asing sebelumnya, pakaiannya lusuh dan ia juga bertelanjang kaki. Kamu segera membetulkan posisi duduk dan memungut pipa rokokmu yang sekarang tergeletak di lantai.

Ia mundur satu langkah.

“Apa yang membawamu kemari?” tanyamu bosan. Seakan sudah ribuan kali kata-kata itu terangkai dari mulutmu.

“Entahlah, Kek. Yang terakhir saya ingat, saya sedang mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Saya dapat kabar bahwa suami saya kecelakaan saat pulang dari kantor. Karena itu saya ingin cepat-cepat menuju rumah sakit.”

Perempuan itu menggigit bibir sejenak sebelum melanjutkan ceritanya.

“Namun tiba-tiba ada orang yang menyeberang jalan dan saya tak sempat lagi untuk menginjak rem …”

Napasnya terisak.

“Setelah itu semuanya gelap. Saya kembali tersadar saat merasakan panas matahari yang menyengat kulit.”

Ia mengacungkan telunjuknya ke arah barat.

“Disana, saya terbangun di tengah padang pasir itu. Kemudian saya berjalan terus selama berhari-hari dan akhirnya saya menemukan tempat ini.”

Kamu menguap selebar-lebarnya tanpa menunjukan rasa tertarik sedikitpun pada cerita perempuan itu. Namun ia tak mengacuhkan reaksimu itu. Wajahnya malah semakin cemas.

“Apa ini neraka?” tanyanya memecah kesunyian yang ada diantara kalian.

Senyummu kembali merekah pada pertanyaan yang sama.

“Apa yang membuatmu berkata seperti itu?” Kamu kembali menanyakan pertanyaan pamungkasmu itu sembari meraih cangkir kopi di meja. Asapnya masih mengepul tanpa henti.

“Saya sudah berjalan berhari-hari ditempa terik dan panas. Saya bisa rasakan betapa letih dan lelahnya tubuh saya ini. Tapi saya tak merasa lapar dan haus sedikitpun. Keanehan ini bukan milik dunia fana. Ini pasti neraka.” Ujarnya meyakinkan diri sendiri.

Seteguk kopi kembali membasahi kerongkonganmu.

Manis.

“Istirahatlah dulu sejenak disini. Setelah tenagamu kembali, kamu bisa teruskan perjalananmu. Di persimpangan sana, ambilah jalan ke tenggara menyusuri bibir lembah itu. Di dasarnya akan kamu temukan rumahmu.” 

Keramahan yang tergambar di kata-kata tadi sedikit mengejutkanmu. 

“Terima kasih, Kek. Tapi lebih baik saya melanjutkan perjalanan sebelum gelap.”

Ia melengkungkan sebuah senyum kaku di bibirnya lalu melangkah pergi ke satu-satunya petunjuk arah yang diketahuinya, meninggalkan kamu dan kesunyian yang masih betah berlama-lama diam disitu.

Matahari sudah menyingkir ke peraduan sambil menanggung malu karena tahtanya dikudeta sang rembulan. Namun kamu masih saja duduk di depan rumah, menunggu dan terus menunggu tanpa tahu apa yang kamu tunggu. Selentingan omong kosong pernah mampir di telingamu yang berkata kalau kamu sedang menunggu ajal. Kamu selalu tertawa sendiri kalau mengingatnya, karena sudah jelas ajal takkan berani datang menjemputmu.

*****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun