Mohon tunggu...
Dani Ramdani
Dani Ramdani Mohon Tunggu... Lainnya - Ordinary people

Homo sapiens. Nulis yang receh-receh. Surel : daniramdani126@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pilkada, Putusan MK, dan Teatrikal Politik Senayan

26 Agustus 2024   09:56 Diperbarui: 6 September 2024   10:13 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Putusan MK soal ambang batas pilkada menjadi angin segar di tengah maraknya calon tunggal. | Foto: KOMPAS.COM

Media sosial riuh. Warganet hingga pemengaruh kompak mengunggah logo burung garuda berlatar warna biru dengan tulisan "peringatan darurat." Ada satu pesan yang ingin disampaikan dalam postingan tersebut yaitu matinya demokrasi dan hilangnya marwah hukum di Indonesia.

Setelah pemilu serentak, Indonesia akan menghadapi pesta demokrasi lain yaitu pilkada serentak. Setidaknya ada 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota yang akan melaksanakan pilkada.

Keriuhan pilkada dimulai jauh-jauh hari. Masyarakat terpusat pada pilkada Jakarta. Tak heran karena Jakarta merupakan pusat pemerintahan saat ini. Apa yang terjadi di Jakarta bisa menentukan daerah lain.

Sejak bulan Juli, PKS dengan gagah berani mengusung pasangan Anies-Sohibul Iman sebagai cagub dan cawagub Jakarta. Akan tetapi, ada syarat yang harus dibayar oleh Anies yaitu harus menggandeng koalisi.

Apa yang dilakukan PKS dinilai bunuh diri. Seharusnya PKS hanya mengusung cagub dan posisi cawagub bisa ditawarkan pada partai lain. Akibatnya hingga jeda waktu yang ditentukan PKS belum mendapatkan koalisi.

Arah politik berubah. Isu lawan kotak kosong mengemuka tak kala terbentuk koalisi gemuk KIM Plus. PKS dan Nasdem yang awalnya mendukung Anies kini balik arah mendukung Ridwan Kamil yang diusung KIM Plus. Anies kehilangan kendaraan politik.

Adanya koalisi gemuk tentu tidak sehat dalam demokrasi. Hal itu karena akan memunculkan kotak kosong. Di sisi lain, melawan kotak kosong tak selamanya kemenangan di tangan.

Di Pilkada Makassar 2018 justru kotak kosong yang menang. Untuk itu, maka dibuat skenario lain yaitu calon independen atau istilah kasarnya calon boneka. Ini jauh lebih efektif ketimbang melawan kotak kosong.

Hal itu bisa dilihat dari hasil pilkada Solo. Gibran yang diusung koalisi gemuk menang mutlak dari calon independen yang berprofesi sebagai tukang jahit itu. Skenario sama digunakan di Jakarta.

Dharma Pongrekun-Kun yang tak terdengar tiba-tiba muncul ke permukaan publik sebagai calon independen. Ia dinyatakan lolos verifikasi faktual oleh KPU. Akan tetapi, ada intrik di balik lolosnya Dharma. Yaitu pencatutan KTP warga.

Apa yang terjadi di Jakarta bisa terjadi di daerah lain. Akal bulus politikus untuk mengeliminasi lawan tanpa bertanding berpotensi terjadi di banyak daerah. Ini menjadi alarm jika proses demokrasi tidak sehat. 

Putusan MK

Menjamurnya fenomena kotak kosong tak lepas dari threshold yang berlaku di pilkada. Untuk bisa mengusung cakada setidaknya partai harus memiliki 20 persen kursi di DPRD atau 25 persen suara sah dalam pemilihan DPRD di wilayah yang bersangkutan.

Bagi partai yang tidak memiliki kursi 20 persen, pilihan yang diambil tentu berkoalisi dengan partai lain. Akan tetapi, adanya threshold semacam ini akan membuat koalisi gemuk dan pilihan masyarakat menjadi kurang bervariasi. 

Di sisi lain, threshold menjadi akal-akalan politisi untuk mengeliminasi lawan sedini mungkin dengan menciptakan koalisi besar. Fenomena borong tiket akan menciptakan calon tunggal yang tidak sehat.

Berangkat dari itu, Partai Buruh dan Gelora mengajukan gugatan Pasal 40 UU Pilkada ke Mahkamah Konstitusi. Hasilnya MK beri angin segar. Putusan itu mencegah praktik kotor politisi dan mencegah menjamurnya kotak kosong serta calon boneka.

MK memberi angin segar lewat Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024. Ada poin penting dalam putusan tersebut, yakni MK menyebut partai politik atau gabungan partai politik dapat mengajukan pasangan calon kepala daerah meski tidak memiliki kursi DPRD.

Sebagai gantinya, dalam putusan itu MK memodifikasi threshold dengan perolehan suara sah partai yang disesuaikan dengan DPT di wilayah yang bersangkutan.

Untuk ketentuan gubernur misalnya, DPT yang berjumlah 2 juta maka perolehan suara sah partai politik adalah 10 persen di pemilu DPRD Provinsi.

DPT dengan 2-6 juta minimal 8,5 persen. Lalu DPT dengan 6-12 juta minimal 7,5 persen. Serta DPT di atas 12 juta paling sedikit memperoleh 6,5 persen suara sah.

Sedangkan untuk pemilihan bupati/wali kota beserta wakilnya, parpol atau gabungan parpol dapat mendaftar dengan perolehan suara sah minimal 10 persen di Pemilu DPRD pada provinsi dengan DPT lebih dari 250 ribu jiwa.

Kemudian DPT dengan 250-500 ribu minimal 8,5 persen. Lalu DPT dengan 500 ribu hingga sejuta minimal 7,5 persen. Serta DPT di atas satu juta jiwa paling sedikit memperoleh 6,5 persen suara sah.

Pertimbangan MK memodifikasi threshold ke dalam suara sah adalah agar suara yang masuk ke partai tidak terbuang sia-sia. Bagaimanapun juga suara yang masuk merupakan aspirasi masyarakat yang masuk lewat partai politik.

Di sisi lain, MK juga menilai hal tersebut bertentangan dengan Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 yang menghendaki pilkada demokratis membuka peluang selebar-lebarnya untuk partai politik peserta pemilu yang memiliki suara sah untuk mengajukan calon kepala daerah.

Putusan ini tentu menjadi game changer karena pilihan calon pemimpin masyarakat menjadi lebih beragam. Praktik borong tiket dan fenomena calon tunggal memang memprihatinkan.

Sejak tahun 2015, calon tunggal dengan koalisi gemuk hanya satu kali kalah yaitu pada Pilwakot Makassar 2018. Saat itu kotak kosong yang menang.

Setelah itu, tren calon tunggal terus meningkat dan peluang menang bisa mencapai 90 persen lebih. Tentu putusan ini bukan hanya menguntungkan satu partai atau menyelamatkan Anies Baswedan. Akan tetapi, dengan adanya putusan ini setiap partai bisa mengusung kadernya sendiri.

Putusan kedua yang tak kalah penting adalah Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 tentang batas usia calon gubernur dan wakil gubernur. Dalam putusan itu, MK menafsirkan usia 30 tahun bagi cagub dan cawagub adalah saat pendaftaran.

Dengan adanya putusan ini, langkah Kaesang Pangarep yang disebut akan berkontestasi di Pilgub tertutup rapat. Dua putusan ini menjadi angin segar di tengah merebaknya dinasti politik yang kental selama ini. 

Teatrikal Politik Senayan

Setelah putusan MK terbit. DPR melakukan akrobatik. Idealnya DPR menaati putusan MK karena bersifat final dan mengikat. DPR seharusnya menindaklanjuti putusan MK dengan undang-undang.

Hal itu termaktub dalam Pasal 59 ayat 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 yang mewajibkan DPR untuk menindaklanjuti putusan MK dengan peraturan perundang-undangan.

Akan tetapi, sejumlah siasat dilakukan DPR untuk mengakali putusan MK. DPR memang menindaklanjuti putusan MK dengan undang-undang. Tapi, secara garis besar revisi UU Pilkada tidak mengakomodir putusan MK.

Dalam revisinya, DPR tidak mengakomodir Putusan MK Nomor 60. DPR tetap menetapkan partai yang memiliki kursi harus memenuhi ketentuan 20 persen kursi di DPRD atau 25 persen suara sah dalam pemilihan DPRD di provinsi yang bersangkutan.

Sementara itu, bagi partai politik yang tidak memiliki kursi dapat mengajukan cagub dan cawagub yang disesuaikan dengan DPT sebagaimana putusan MK.

Menurut hemat penulis, DPR di sini memisahkan seolah-olah ketentuan modifikasi threshold tersebut hanya berlaku bagi partai yang tidak memiliki kursi. Padahal ketentuan tersebut berlaku bagi partai yang memiliki kursi di DPRD maupun tidak.

Di sisi lain, untuk putusan MK Nomor 70 tentang batas usia cagub dan cawagub DPR tidak mengakomodir sama sekali. Dalam rapat baleg yang ditayangkan di siniar itu, DPR justru memilih putusan MA. Tentu ini lucu karena tidak ada perdebatan hukum. Ahmad Baidowi selaku Ketua Baleg pada saat itu memberi opsi putusan MA dan putusan MK. Lalu dalam forum itu semua sepakat untuk mengikuti putusan MA.

Bagi saya ini lucu. Hal itu karena dari sisi hierarkis saja sudah berbeda. MK adalah penafsir UUD 1945 sehingga putusannya setara undang-undang. MA menafsirkan peraturan perundang-undangan yang kedudukannya di bawah UUD 1945. Oleh karena itu, putusan MA berimplikasi pada peraturan yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah bukan DPR.

Dari sini saja sudah terlihat jika pembahasan yang dilakukan DPR tergesa-gesa. Apalagi dilakukan secara kilat yang mana ruang partisipasi publik tidak ada. Apa yang dilakukan DPR jelas membegal konstitusi. DPR menghidupkan kembali calon tunggal dan memberi karpet merah pada Kaesang.

Akan tetapi, masyarakat tidak tinggal diam. Sehari setelah pembahasan revisi UU Pilkada, seluruh masyarakat turun ke jalan menentang revisi itu. Unjuk rasa terjadi di seluruh Indonesia. Hasilnya, DPR membatalkan revisi UU Pilkada.

Di sisi lain, KPU selaku penyelenggara pilkada telah menetapkan bahwa Peraturan KPU akan manut dengan dua putusan MK.

Apa yang terjadi akhir-akhir ini begitu dinamis. Kita diperlihatkan bagaimana DPR secara telanjang bulat mengakali putusan MK. Di sisi lain, untuk melakukan perubahan dibutuhkan kekuatan masyarakat secara luas.

Akibat tidak adanya kontrol yang stabil di parlemen, maka masyarakat yang mengambil posisi itu. Setidaknya hingga detik ini masyarakat telah menang dan menjadi oposisi yang sempurna dari gemuknya koalisi di pemerintah.

Putusan MK tidak hanya berbicara PDIP, Kaesang, atau Anies Baswedan. Putusan MK adalah cara agar demokrasi kembali ke jalur yang benar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun